KOMPAS.com - Kementerian PPN/Bappenas mengaku kewalahan membenahi sistem logistik perikanan tangkap di Indonesia, terutama di kawasan timur.
Direktur Kelautan dan Perikanan Kementerian PPN/Bappenas, Mohammad Rahmat Mulianda, menilai sistem logistik perikanan tangkap saat ini belum efisien.
"Indonesia bagian timur produsen ikan, konsumen ada di barat, pengelolaannya di barat. Pengangkutannya membutuhkan biaya, sistem logistik kita tidak efisien," ujar Rahmat dalam Peluncuran Rencana Aksi Bersama Pengembangan Pangan Akuatik Indonesia, Rabu (10/9/2025).
Rahmat menegaskan, perbaikan logistik perikanan tangkap tidak bisa hanya mengandalkan APBN. Diperlukan pelibatan swasta, terutama dalam penguatan rantai dingin (cold chain).
"Emang tidak mungkin semuanya berasal dari dana APBN. Kami butuh waktu untuk memperbaiki dan meningkatkan rantai dingin. (Harga) mahal karena sistem logistik ini memang PR. Bagaimana caranya ketika ikan melimpah dan ketika ikan susah, harga itu masih bisa dikontrol dengan baik," katanya.
Salah satu solusi adalah sistem pemasaran digital agar ikan hasil tangkapan bisa langsung dijual ke konsumen tanpa perantara. Selain itu, kementerian/lembaga perlu berkoordinasi di bawah Kemenko Pangan untuk mengurus subsidi harga, resi gudang, hingga masalah logistik.
"Jadi, Kemenko Pangan menjadikan agenda penting ini untuk bisa di-speed up penyelesaiannya dalam waktu 2-3 tahun, tidak terlalu memakan waktu lagi," ujarnya.
Menurut Rahmat, sistem logistik perikanan erat kaitannya dengan urusan pangan karena berhubungan langsung dengan keterjangkauan bagi masyarakat.
Baca juga: 29 Izin untuk Budidaya Udang, Usaha Perikanan Terkendala Regulasi
Sementara itu, Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB University, Mala Nurilmala, mengungkapkan adanya perbedaan karakteristik perikanan tangkap di Indonesia bagian barat dan timur.
Hasil focus group discussion (FGD) di Medan, Surabaya, Makassar, dan Manado menunjukkan, ikan pelagis dari timur cenderung berukuran besar, sedangkan dari barat relatif kecil. Dari segi infrastruktur, wilayah barat juga lebih maju dibanding timur.
Terobosan di wilayah timur diperlukan. Mala mencontohkan kebijakan Pemerintah Kota Bitung, Sulawesi Utara, yang pernah memberi subsidi biaya pengemasan dan transportasi sehingga harga ikan lebih murah.
"Itu ada klien yang langsung ke Narita. Mereka diberikan keistimewaan harga transportasinya murah sekali, sehingga ikan-ikan bisa langsung diekspor. Tuna dari Bitung banyak diekspor ke Jepang dalam bentuk raw material untuk sashimi dengan grade A," jelasnya.
Namun, ia mengingatkan masih banyak nelayan yang lebih mementingkan kuantitas ketimbang kualitas hasil tangkapan. Padahal, kualitas sangat menentukan harga.
"Keuntungan itu kalau menangkap tuna sirip biru selatan, kata nelayan bisa berlimpah sampai bisa beli mobil. Tapi mutunya harus dijaga banget. Nelayan kita kadang bisa menangkap, tapi kurang memperhatikan mutu, misalnya tidak disiangi atau kurang es," ujar Mala.
Baca juga: Ironi Perikanan Indonesia: Produk Buruk, Penduduk Pesisir Stunting
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya