KOMPAS.com - Peta Jalan Nasional memperkirakan permintaan hidrogen di Indonesia akan mencapai 11,7 juta ton per tahun pada 2060. Bahkan, potensi produksinya diperkirakan lebih besar, yaitu mencapai 17,5 juta ton per tahun.
Potensi besar ini membuka peluang bagi Indonesia untuk tidak hanya memenuhi kebutuhan domestik, tetapi juga mengekspor hidrogen ke luar negeri.
Direktur Utama Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, menilai Indonesia berpeluang menjadi eksportir hidrogen hijau di masa depan.
"Nah, kalau sekarang Indonesia dikenal sebagai pengekspor batu bara, mungkin dalam waktu yang tidak terlalu lama, kita bisa dikenal sebagai pengekspor hidrogen bersih," ujar Fabby dalam webinar, Jumat (12/9/2025).
Namun hingga kini, pengembangan hidrogen hijau di Indonesia masih terkendala biaya produksi yang mahal. Padahal, hidrogen hijau merupakan faktor penting dalam dekarbonisasi industri, terutama sektor baja.
Penggunaan hidrogen hijau juga diproyeksikan meluas ke sektor kimia, pupuk, kaca, otomotif, hingga tekstil. Menurut IESR, kebutuhan nyata hidrogen hijau baru akan muncul pada 2030.
Fabby menekankan, Indonesia masih memiliki waktu untuk mengakselerasi pemanfaatan energi terbarukan agar harga listrik menjadi lebih kompetitif. Dengan begitu, hidrogen hijau dapat diproduksi dengan biaya yang lebih terjangkau.
Baca juga: Sederet Upaya Keberlanjutan Astra Group, Bangun PLTS hingga Kembangkan Bahan Bakar Hidrogen
Berkaca dari pengalaman global maupun nasional, Fabby menyebut ada empat faktor utama yang menentukan keberhasilan proyek hidrogen hijau.
Pertama, menurunkan biaya teknologi melalui insentif awal. Teknologi baru sangat dibutuhkan agar keekonomiannya lebih kompetitif.
Kedua, perjanjian offtake yang bankable, sebagai syarat penting agar investor berani berinvestasi di proyek hidrogen hijau.
Ketiga, kedekatan dengan sumber daya, permintaan akhir, dan infrastruktur.
"Proyek yang jauh dari sumber pasokan, yang tidak mendekati permintaan akan sulit bertahan karena tingginya biaya transportasi," tutur Fabby.
Keempat, dukungan kebijakan yang konsisten, stabil, dan dapat diprediksi.
Sementara itu, Manajer Program Dekarbonisasi IESR, Juniko Nur Pratama, menekankan bahwa tantangan utama pengembangan hidrogen hijau adalah kebutuhan insentif yang kuat, kepastian pasar, dan standar sertifikasi produk.
"Kalau kami melihat dari skema pasar karbon, mungkin kenapa saat ini Indonesia atau industri ini masih belum bisa menurunkan emisi karbonnya dengan teknologi yang mahal, karena memang tidak adanya tekanan dari pasar," ucapnya.
Tanpa tekanan pasar, banyak industri lebih memilih membayar pajak atau carbon offset (tebus karbon) ketimbang melakukan dekarbonisasi yang mahal, termasuk melalui hidrogen hijau.
Akhirnya, lanjut Juniko, pemerintah perlu menaikkan harga karbon disertai dukungan keuangan bagi industri yang terkena dampak langsung.
Baca juga: Hidrogen Hijau Jadi Solusi Dekarbonisasi Industri di Negara Berkembang
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya