Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Elis Mardianti
Pelajar/Mahasiswa

Mahasiswa S2 Kebijakan Publik Universitas Airlangga, Awardee LPDP-RI.

Ekosida dan Keengganan Taubat Ekologis

Kompas.com, 14 September 2025, 15:34 WIB

Artikel ini adalah kolom, seluruh isi dan opini merupakan pandangan pribadi penulis dan bukan cerminan sikap redaksi.

Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PADA Juni 2025 lalu, harapan sempat mekar. Lebih dari 60.000 suara rakyat yang disatukan oleh tagar #SaveRajaAmpat, berhasil mencapai sesuatu yang cukup terasa mustahil, yakni memaksa pemerintah untuk menghentikan proses perizinan tambang nikel baru di jantung surga terakhir dunia.

Untuk sesaat, kita merasakan euforia langka, bukti bahwa suara kolektif masih memiliki daya paksa. Namun di negeri ini, harapan seringkali hanya seumur jagung.

Awal September 2025, harapan itu dipadamkan. Pemerintah, melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), secara resmi menegaskan bahwa PT Gag Nikel—pemain lama yang izinnya tak pernah dicabut—dapat terus beroperasi.

Keputusan untuk tidak menghentikan operasi ini didasarkan pada justifikasi teknokratis bahwa perusahaan tersebut telah mendapatkan penghargaan PROPER Hijau dan dianggap telah menjalankan praktik pertambangan yang baik.

Penghargaan ini menjadi tameng birokratis untuk melegitimasi operasi yang secara esensial berpotensi melanggar Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.

Arogansi keputusan yang mengabaikan suara publik, sekaligus berpotensi melanggar hukum ini tentu tidak terjadi di ruang hampa. Ia dimuluskan oleh taktik politik yang usang, tapi efektif, yakni delegitimasi para pengkritiknya.

Baca juga: Ada Apa dengan Dito Ariotedjo?

Setelah isu mencuat dalam diskusi publik, muncul istilah-istilah peyoratif seperti ‘wahabi lingkungan’. Narasi berbau pseudo-religious baru ini sengaja dibangun untuk membingkai kritik sebagai fundamentalisme kaku yang anti-pembangunan.

Padahal jika kita jujur, kegelisahan publik termasuk dari para aktivis lingkungan dengan suara yang semakin kencang bukanlah tindakan radikal, melainkan respons wajar terhadap proses destruktif yang selama ini sudah mengarah pada tindakan yang disebut ekosida.

Menerjemahkan praktik ekosida di Indonesia

Ekosida bukanlah sekadar istilah aktivis yang dilebih-lebihkan. Di Indonesia, diskursus ini semakin menguat untuk menempatkannya sebagai kejahatan luar biasa.

Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) dalam risetnya bahkan merumuskan ekosida sebagai pelanggaran berat Hak Asasi Manusia (HAM) karena sifatnya yang terstruktur dan sistematis.

Dengan menggunakan tiga indikator kunci dari PBHI, kita dapat membedah bagaimana serangkaian kebijakan lingkungan di Indonesia sejatinya telah mengarah pada realitas praktik ekosida.

Indikator pertama adalah adanya pola kerja sistematis yang dihegemoni elite politik dan bisnis. Kita dapat melihatnya dalam kasus Raja Ampat, di mana kolaborasi negara-korporasi memuluskan izin tambang dengan mengabaikan 60.000 suara publik.

Pola yang sama terjadi di Rempang, di mana Proyek Strategis Nasional menjadi justifikasi untuk menyingkirkan masyarakat adat demi kepentingan investasi.

Kondisi ini menunjukkan pola di mana masyarakat yang terdampak tidak menjadi pemangku kepentingan utama.

Indikator kedua adalah praktik penggunaan keamanan berlebih untuk menciptakan impunitas hukum. Pola ini termanifestasi di Wadas dan Rempang.

Di kedua tempat tersebut, negara mengerahkan aparaturnya secara masif yang seringkali bukan untuk melindungi warga, melainkan untuk melakukan represi, intimidasi, dan penggusuran paksa. Tujuannya tidak lain, yakni memuluskan proyek pembangunan.

Indikator ketiga adalah dampak penghancuran ekologis yang sistematis dan tidak dapat dipulihkan. Megaproyek food estate adalah contoh.

Baca juga: Habis Nepal Terbitlah Perancis dan Pelajaran bagi Indonesia

Alih-alih mencapai kedaulatan pangan, proyek ini justru meninggalkan warisan deforestasi masif dan lahan-lahan gagal panen.

Hal serupa terjadi pada kebijakan ekspor pasir laut yang mengancam menenggelamkan pulau-pulau kecil, atau penambangan nikel di pulau sekecil Raja Ampat yang risikonya merusak ekosistem secara permanen.

Perusakan ini tidak hanya menghancurkan alam, tetapi juga memusnahkan rangkaian ekosistem pendukung kehidupan manusia.

Alih-alih taubat, kita disuguhi greenwashing

Paus Fransiskus dalam ensiklik Laudato Si' menyerukan "taubat ekologis"—sebuah perubahan hati yang mendalam, di mana kita mengakui dosa-dosa kita terhadap alam ciptaan, mengubah gaya hidup, dan membuat reparasi atas kerusakan yang telah kita perbuat.

Taubat ini menuntut kerendahan hati untuk mengakui bahwa kita telah gagal, dan keberanian untuk mengubah arah secara fundamental.

Namun, alih-alih menempuh jalan pertobatan, para pemangku kebijakan tampaknya lebih nyaman memilih jalan pintas lain, yakni greenwashing.

Daripada menghentikan perusakan, kita seringkali lebih mendengar pemolesan citra. Narasi ‘hilirisasi nikel’ adalah contoh paling sempurna.

Sejatinya, tidak ada yang pernah menolak gagasan peningkatan nilai tambah sumber daya alam. Namun, narasi "hilirisasi nikel" yang didengungkan kian menjadi praktik greenwashing karena ia secara sengaja menuntut kita untuk hanya melihat keuntungannya, sambil menutup mata terhadap ongkosnya yang tak ternilai: jejak hitam kehancuran dari lubang-lubang tambang raksasa yang meracuni laut, hingga kini ancaman nyata di jantung segitiga karang dunia, Raja Ampat.

Baca juga: Reshuffle Kabinet Basa-basi Politik

Praktik greenwashing ini tidak berhenti disana. Babak selanjutnya adalah wacana untuk menyulap puluhan ribu lubang bekas tambang menjadi lahan produktif seperti perikanan dan pertanian.

Di atas kertas, ide ini terdengar solutif. Namun, riset dari Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) membongkar bahwa siasat ini sebagai upaya ‘cuci dosa’.

Lubang tambang adalah kubangan beracun yang penuh logam berat, di mana ikan yang dibudidayakan hidup kerdil dan airnya menurunkan produksi panen hingga 50 persen.

Wacana ini kian menunjukkan bentuk greenwashing, upaya melegitimasi pengabaian tanggung jawab dengan mengorbankan kesehatan publik dan keselamatan ekologis.

Greenwashing bekerja seperti ilusi. Ia adalah seni menenangkan nurani publik dengan jargon-jargon keberlanjutan, sementara praktik eksploitasi terus berjalan.

Ketika pemerintah mengizinkan operasi tambang di Raja Ampat dengan janji "pengawasan ketat berlapis-lapis", itu adalah bentuk lain dari greenwashing—sebuah sedatif verbal untuk meredam kemarahan publik tanpa menyentuh akar masalahnya.

Paradigma pembangunan yang usang

Lantas, dari mana keengganan untuk bertaubat dan kegemaran pada greenwashing ini berakar? Jawabannya terletak pada fondasi berpikir yang menopang seluruh kebijakan kita, yakni sebuah paradigma usang ‘antroposentrisme’.

Cara pandang inilah yang menempatkan manusia (dan kepentingan ekonomi jangka pendeknya) sebagai pusat dari segalanya, sementara alam hanyalah objek pasif yang siap dieksploitasi.

Baca juga: Dampak Guyuran Rp 200 Triliun Dana Pemerintah ke Bank terhadap Perekonomian

Selama paradigma ini menjadi dasar kebijakan negara, maka Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) hanya akan menjadi formalitas administratif yang mudah diakali.

Jalan keluar dari spiral ekosida ini menuntut pergeseran fundamental menuju paradigma ekosentrisme. Sebuah pandangan dunia yang mengakui bahwa manusia adalah bagian tak terpisahkan dari jejaring kehidupan, di mana kesehatan kita bergantung sepenuhnya pada kesehatan ekosistem.

Dalam paradigma ini, melindungi Raja Ampat dan berbagai praktik perusakan lingkungan lainnya bukan lagi soal memilih antara konservasi dan ekonomi, melainkan keharusan untuk keberlanjutan peradaban.

Mengarusutamakan kebijakan berbasis ekosentrisme berarti menjadikan pertimbangan ekologis sebagai fondasi, bukan sekadar pelengkap atau pemanis. Ini berarti memberikan hak veto kepada valuasi ekologis dalam setiap pengambilan keputusan strategis.

Tindakan pragmatisnya berarti mengakui hak masyarakat adat sebagai penjaga utama ekosistem.

Pada akhirnya, ‘taubat ekologis’ yang sesungguhnya bagi bangsa bukanlah sekadar program tanam pohon seremonial, melainkan keberanian untuk merombak total cara kita memandang alam dan merumuskan pembangunan.

Tanpa pertobatan fundamental ini, kita hanya akan terus menjadi saksi dari proses bunuh diri ekologis yang dilakukan dengan sadar.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
PGE dan PLN Indonesia Power Sepakati Tarif Listrik PLTP Ulubelu
PGE dan PLN Indonesia Power Sepakati Tarif Listrik PLTP Ulubelu
BUMN
Asia Tenggara Termasuk Sumber Utama Gas Rumah Kaca
Asia Tenggara Termasuk Sumber Utama Gas Rumah Kaca
LSM/Figur
Uni Eropa Bakal Perketat Impor Plastik demi Industri Daur Ulang Lokal
Uni Eropa Bakal Perketat Impor Plastik demi Industri Daur Ulang Lokal
Pemerintah
Pakar Soroti Lemahnya Sistem Pemulihan Pascabencana di Indonesia
Pakar Soroti Lemahnya Sistem Pemulihan Pascabencana di Indonesia
LSM/Figur
Banjir Aceh Disebut Jadi Dampak Deforestasi, Tutupan Hutan Sudah Kritis Sejak 15 Tahun Lalu
Banjir Aceh Disebut Jadi Dampak Deforestasi, Tutupan Hutan Sudah Kritis Sejak 15 Tahun Lalu
LSM/Figur
Pengamat: Pengelolaan Air Jadi Kunci Praktik Pertambangan Berkelanjutan
Pengamat: Pengelolaan Air Jadi Kunci Praktik Pertambangan Berkelanjutan
Swasta
Vitamin C Bantu Lindungi Paru-paru dari Dampak Polusi Udara
Vitamin C Bantu Lindungi Paru-paru dari Dampak Polusi Udara
LSM/Figur
Panas Ekstrem dan Kelembapan Bisa Berdampak pada Janin
Panas Ekstrem dan Kelembapan Bisa Berdampak pada Janin
LSM/Figur
Waspada Hujan Lebat Selama Natal 2025 dan Tahun Baru 2026
Waspada Hujan Lebat Selama Natal 2025 dan Tahun Baru 2026
Pemerintah
Pakar Kritik Sistem Peringatan Dini di Indonesia, Sarankan yang Berbasis Dampak
Pakar Kritik Sistem Peringatan Dini di Indonesia, Sarankan yang Berbasis Dampak
LSM/Figur
Hutan Lindung Sungai Wain di Balikpapan Dirambah untuk Kebun Sawit
Hutan Lindung Sungai Wain di Balikpapan Dirambah untuk Kebun Sawit
Pemerintah
Menteri LH Sebut 4,9 Juta Hektar Lahan di Aceh Rusak akibat Banjir
Menteri LH Sebut 4,9 Juta Hektar Lahan di Aceh Rusak akibat Banjir
Pemerintah
Sebulan Pasca-banjir Aceh, Distribusi Logistik Dinilai Belum Merata Ditambah Inflasi
Sebulan Pasca-banjir Aceh, Distribusi Logistik Dinilai Belum Merata Ditambah Inflasi
LSM/Figur
1.050 Petugas Kebersihan Disiagakan Saat Ibadah Natal 2025 di Jakarta
1.050 Petugas Kebersihan Disiagakan Saat Ibadah Natal 2025 di Jakarta
Pemerintah
2 Nelayan Perempuan Asal Maluku dan Papua Gerakkan Ekonomi Keluarga Pesisir
2 Nelayan Perempuan Asal Maluku dan Papua Gerakkan Ekonomi Keluarga Pesisir
Pemerintah
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Rp
Minimal apresiasi Rp 5.000
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau