Oleh Geger Riyanto*
KOMPAS.com - Sasi dikenal sebagai sistem adat yang mengatur pemanfaatan sumber daya alam di Maluku dan Papua. Saat sasi dibuka, berarti warga diperbolehkan memanen hasil laut dan hutan. Sebaliknya, ketika ditutup, warga dilarang mengambil sumber daya alam selama jangka waktu tertentu, supaya alam punya waktu untuk tumbuh dan berkembang kembali.
Praktik sasi acap digambarkan sebagai praktik konservasi leluhur. Sasi menjadi contoh kearifan lokal yang hidup selaras dengan alam, berlawanan dengan masyarakat modern yang terus menguras alam tanpa henti. Ibaratnya, saat masyarakat modern tak bisa berhenti menguras ikan dari laut? Belajarlah dari Maluku.
Namun, praktik adat ini ternyata juga tak lepas dari kontroversi. Dalam kerja-kerja lapangan di Maluku, saya berkali-kali mendengar keluhan dari masyarakat lokal terkait sasi.
Ada yang bilang sasi kadang terlalu dipaksakan oleh ‘pihak luar’ dan menghilangkan penghidupan warga kampung. Namun, ada juga sebagian warga yang masih merasakan manfaat.
Hal ini memperlihatkan bahwa ada hubungan tak mudah dan bergolak antara warga dengan “aturan adat”. Dan adat pun, sejatinya, selalu perlu dirajut ulang sesuai zaman dan kebutuhan masyarakat. Tapi, pembicaraan publik tentang sasi selama ini acap dilebih-lebihkan sebagai praktik konservasi tanpa cacat.
Untuk itu, dalam artikel ini saya ingin mengulas sasi berdasarkan realita yang berkembang di masyarakat.
Tradisi sasi pada mulanya merupakan komunikasi dengan arwah leluhur yang sarat dengan ritual adat dan mistis. Masyarakat lokal menganggap penutupan wilayah dengan sasi sebagai cara untuk menjaga agar roh-roh penunggu yang mendiami area tertentu tidak marah dan mengganggu manusia.
Penjajah yang datang kemudian memodifikasi praktik sasi menjadi upacara penerapan dan pelepasan larangan mengeksploitasi alam.
Peneliti dari Amerika Serikat yang banyak mengkaji konservasi sumber daya alam di wilayah Maluku, Charles Zerner mencatat hal ini dengan jelas.
Pada awal abad ke-19, Belanda membangun struktur kelembagaan kolonial, lengkap dengan peta wilayah dan sistem administratif di Kepulauan Ambon.
Untuk mengendalikan sumber daya alam, mereka membentuk jabatan kewang, semacam polisi sasi.
Baca juga: Jika Diteruskan, Tambang Nikel Raja Ampat Rugikan Perikanan Tuna
Mengapa Belanda menganggap sasi diperlukan pada saat itu?
Motifnya ekonomi. Usai anjloknya harga cengkeh, Maluku rentan limbung. Sasi lalu dipakai Belanda untuk menjaga stabilitas harga komoditas unggulan seperti pala dan kopra. Ini penting untuk memastikan pemasukan pajak pemerintah kolonial.
Mengikuti ketentuan hukum Belanda, pemerintahan negeri adat di sejumlah tempat pun kemudian ikut-ikutan memanfaatkan tradisi sasi untuk kepentingan politik dan ekonomi.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya