Berdasarkan pengamatan saya, penerapan sasi yang kini banyak digerakkan oleh LSM, nampaknya acap terbentur dengan persoalan kesinambungan: kewang yang tak aktif patroli, pemerintahan yang terus-menerus bergantung pada bantuan LSM, hingga warga yang tak lagi merasa diuntungkan.
Dan ini terjadi sejak dulu.
Sebuah survei pada 1997 di 63 kampung di Maluku menunjukkan, alasan sasi masih bertahan di sejumlah kampung adalah karena warga merasakan manfaat langsung, seperti panen aman, atau terhindar dari pencurian.
Sementara di tempat lain warga enggan menerapkannya karena merasa sasi tidak bermanfaat. Khususnya di desa dengan penduduk beragam dan dekat kota, sasi ditinggalkan karena dianggap tak relevan dengan kebutuhan ekonomi modern.
Artinya, perlu ingat bahwa sebuah praktik kebudayaan tidak bisa dilepaskan dari politik dan keberadaan manusia di baliknya.
Pelaku sasi bukanlah figur karikatur yang tak lekang dari masa lalu. Masyarakat adat juga punya kebutuhan, sebagaimana manusia pada umumnya.
Seorang kewang yang tak berpatroli mungkin sibuk dengan penghidupannya. Bisa jadi mereka tak tega menegur tetangga yang sedang mencari makan.
Jadi, sasi mungkin masih relevan dihidupkan sebagai konservasi berbasis masyarakat, terlebih karena ingatan dan keakraban warga dengannya. Namun, kasus-kasus frustrasi warga terhadap sasi menjadi pengingat perlunya mempertimbangkan kepentingan warga di dalam pelestarian alam.
Tanpa insentif, rasanya sulit memaksakan praktik ini terus bertahan.
* Dosen Departemen Antropologi, Universitas Indonesia, Universitas Indonesia
Baca juga: Sasi Laut, Penjaga Ketahanan Pangan di Tengah Ancaman Krisis Iklim
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya