Di Negeri Paperu, Maluku Tengah, pegawai kolonial T. Volker (dalam tulisan Zerner) mencatat pemerintahan adat menggunakan sasi untuk memastikan kelapa bisa dipanen tepat waktu, mempermudah penjagaan, dan menangkal pencurian.
Di Kepulauan Tanimbar penutupan sasi membuat warga kampung dapat diarahkan untuk mengerjakan proyek desa lain seperti pembangunan gereja.
Tradisi sasi juga banyak dipakai menjadi alat pemerintahan negeri untuk mengontrol kampung-kampung kecil di bawah naungannya.
Sejak awal abad ke-20, warga Siri Sori Serani tercatat mengeluhkan kehadiran sasi, meskipun, menurut kewang yang menjadi perpanjangan tangan kolonial, aturan itu dibuat demi “menyejahterakan mereka”.
Dalam perkembangannya, sasi nyatanya terus dimodifikasi oleh berbagai pihak sesuai dengan kepentingan masing-masing.
Kaitan sasi dengan konservasi baru menguat di era Orde Baru. Pada 1982 dan 1985, Kementerian Urusan Kependudukan dan Lingkungan Hidup memberikan penghargaan Kalpataru kepada dua negeri di Maluku atas penerapan sasi, yang membuat bangga pejabat dan akademisi lokal.
Namun, Negeri Haruku, salah satu penerima Kalpataru itu, sebenarnya baru saja menerapkan sasi kembali. Bahkan implementasinya pun sempat ditolak kaum muda lokal karena tidak banyak menguntungkan masyarakat.
Sejak mendapat penghargaan itu, banyak LSM yang didukung dana-dana internasional, gencar berusaha menghidupkan sasi di berbagai daerah.
Sasi lantas mulai dikenal luas dan dinarasikan sebagai cara hidup selaras dengan alam yang diwariskan secara turun-temurun.
Tradisi ini kemudian berkembang menjadi instrumen perlawanan terhadap proyek-proyek ekstraktif.
Salah satu yang paling monumental, pada 1997, para pemimpin adat dengan bantuan beberapa ornop (organisasi non pemerintah) melakukan sasi pulau di Nusa Laut, perairan Maluku.
Saat itu, Nusa Laut ramai didatangi tim-tim survei pertambangan setelah beredar kabar ada cadangan emas besar di sana.
Baca juga: Ironi Perikanan Indonesia: Produk Buruk, Penduduk Pesisir Stunting
Dari obrolan saya dengan tokoh adat di sana (pada Mei 2025), warga kala itu dilalap kecemasan karena khawatir mereka akan dipindahkan ke pulau lain. Relokasi paksa ini pernah terjadi terhadap warga Pulau Kei ke Pulau Seram.
Sasi lantas dijadikan benteng simbolik.
Jatuhnya Orde Baru pada 1998 membuat proyek tersebut akhirnya dibatalkan. Hingga kini, sasi di pulau tersebut belum pernah dicabut. Artinya, tidak ada yang boleh menambang di Nusa Laut. Tapi sayangnya, baru-baru ini saya melihat pantai di salah satu negeri di Nusa Laut itu tinggal tersisa karang. Pasir pantainya justru habis ditambang oleh warga sendiri.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya