KOMPAS.com – Selama ini, emisi metana (CH?) dari sektor energi menjadi salah satu sumber gas rumah kaca (GRK) terbesar di Indonesia yang belum terkontrol dengan baik.
Padahal, dampak metana terhadap pemanasan global lebih dari 20 kali lipat dibanding karbon dioksida (CO?). Sumbernya tersebar mulai dari transportasi dan distribusi energi, tambang batu bara, hingga produksi minyak dan gas.
"Nah, kalau ini dilakukan ya, misalnya mengatasi flaring, memperbaiki kebocoran untuk distribusi gas, itu bisa mengurangi emisi metana. Yang kita lihat sebelumnya itu (terfokus ke) banyaknya emisi (metana) dari sektor pertanian. Tapi, sektor energi tinggi juga," ujar Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa, dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (6/10/2025).
Indonesia sebenarnya sudah berkomitmen menurunkan emisi metana melalui Global Methane Pledge, yang ditandatangani oleh Presiden ke-7 RI Joko Widodo pada 2021. Kesepakatan ini menargetkan penurunan 30 persen emisi metana global pada tahun 2030. Namun, upaya pengendalian metana di Indonesia masih minim kajian dan belum menjadi prioritas utama.
Baca juga: Mari Elka Pangestu: 80 Persen Duit Transisi Energi Harus dari Luar APBN
Di sektor energi, langkah-langkah menuju dekarbonisasi baru mulai disiapkan. Industri padat emisi telah menyelesaikan peta jalan dekarbonisasi, dengan target mulai bergerak pada 2028, serta memulai perdagangan karbon dan penetapan harga emisi setelah 2030.
"Jadi, industri sendiri mulai bergerak ke situ. Nah, ini sepertinya belum terkuantifikasi mungkin dengan baik ya, untuk sektor industri," tutur Fabby.
Namun, Fabby menyoroti pengunduran target puncak emisi (peak emission) Indonesia dari 2030 menjadi 2035. Puncak emisi merupakan titik saat total emisi GRK suatu negara mencapai level tertinggi sebelum akhirnya menurun.
"Mekanisme UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change) yang dimungkinkan untuk lebih ambisius, itu sangat mungkin," ucapnya, berharap pemerintah dapat meninjau ulang keputusan tersebut.
Sementara itu, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), Eniya Listiani Dewi, menjelaskan bahwa perubahan target itu tertuang dalam laporan terbaru Second Nationally Determined Contribution (NDC).
Dokumen ini akan menjadi acuan Indonesia saat membawa komitmen iklimnya ke Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP 30) di Brasil, November 2025 mendatang.
"Pada saat kita semua sepakat untuk net zero emission tahun 2060 ini dengan berat hati kami laporkan bahwa peak emission agak bergeser ke 2035," ujar Eniya.
Dengan kondisi ini, Indonesia menghadapi tantangan ganda, menekan emisi metana di sektor energi yang selama ini terabaikan, sekaligus mempercepat langkah menuju puncak emisi dan net zero.
Baca juga: Mari Elka Pangestu: 80 Persen Duit Transisi Energi Harus dari Luar APBN
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya