Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

IESR : Metana Sektor Energi Belum Terkontrol, Indonesia Harus Bergerak Lebih Cepat

Kompas.com, 7 Oktober 2025, 09:04 WIB
Manda Firmansyah,
Yunanto Wiji Utomo

Tim Redaksi

KOMPAS.com – Selama ini, emisi metana (CH?) dari sektor energi menjadi salah satu sumber gas rumah kaca (GRK) terbesar di Indonesia yang belum terkontrol dengan baik.

Padahal, dampak metana terhadap pemanasan global lebih dari 20 kali lipat dibanding karbon dioksida (CO?). Sumbernya tersebar mulai dari transportasi dan distribusi energi, tambang batu bara, hingga produksi minyak dan gas.

"Nah, kalau ini dilakukan ya, misalnya mengatasi flaring, memperbaiki kebocoran untuk distribusi gas, itu bisa mengurangi emisi metana. Yang kita lihat sebelumnya itu (terfokus ke) banyaknya emisi (metana) dari sektor pertanian. Tapi, sektor energi tinggi juga," ujar Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa, dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (6/10/2025).

Indonesia sebenarnya sudah berkomitmen menurunkan emisi metana melalui Global Methane Pledge, yang ditandatangani oleh Presiden ke-7 RI Joko Widodo pada 2021. Kesepakatan ini menargetkan penurunan 30 persen emisi metana global pada tahun 2030. Namun, upaya pengendalian metana di Indonesia masih minim kajian dan belum menjadi prioritas utama.

Baca juga: Mari Elka Pangestu: 80 Persen Duit Transisi Energi Harus dari Luar APBN

Di sektor energi, langkah-langkah menuju dekarbonisasi baru mulai disiapkan. Industri padat emisi telah menyelesaikan peta jalan dekarbonisasi, dengan target mulai bergerak pada 2028, serta memulai perdagangan karbon dan penetapan harga emisi setelah 2030.

"Jadi, industri sendiri mulai bergerak ke situ. Nah, ini sepertinya belum terkuantifikasi mungkin dengan baik ya, untuk sektor industri," tutur Fabby.

Namun, Fabby menyoroti pengunduran target puncak emisi (peak emission) Indonesia dari 2030 menjadi 2035. Puncak emisi merupakan titik saat total emisi GRK suatu negara mencapai level tertinggi sebelum akhirnya menurun.

"Mekanisme UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change) yang dimungkinkan untuk lebih ambisius, itu sangat mungkin," ucapnya, berharap pemerintah dapat meninjau ulang keputusan tersebut.

Sementara itu, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), Eniya Listiani Dewi, menjelaskan bahwa perubahan target itu tertuang dalam laporan terbaru Second Nationally Determined Contribution (NDC).

Dokumen ini akan menjadi acuan Indonesia saat membawa komitmen iklimnya ke Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP 30) di Brasil, November 2025 mendatang.

"Pada saat kita semua sepakat untuk net zero emission tahun 2060 ini dengan berat hati kami laporkan bahwa peak emission agak bergeser ke 2035," ujar Eniya.

Dengan kondisi ini, Indonesia menghadapi tantangan ganda, menekan emisi metana di sektor energi yang selama ini terabaikan, sekaligus mempercepat langkah menuju puncak emisi dan net zero. 

Baca juga: Mari Elka Pangestu: 80 Persen Duit Transisi Energi Harus dari Luar APBN

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
Ketika Indonesia Sibuk Menyelamatkan Bisnis, Bukan Bumi
Ketika Indonesia Sibuk Menyelamatkan Bisnis, Bukan Bumi
Pemerintah
Iran Alami Kekeringan Parah, 14 Juta Warga Teheran Berisiko Direlokasi
Iran Alami Kekeringan Parah, 14 Juta Warga Teheran Berisiko Direlokasi
Pemerintah
Studi Sebut Mobil Murah Jauh Lebih Berpolusi
Studi Sebut Mobil Murah Jauh Lebih Berpolusi
LSM/Figur
Uni Eropa Tunda Setahun Penerapan Regulasi Deforestasi EUDR
Uni Eropa Tunda Setahun Penerapan Regulasi Deforestasi EUDR
Pemerintah
Dekan FEM IPB Beri Masukan untuk Pembangunan Afrika dengan Manfaatkan Kerja Sama Syariah
Dekan FEM IPB Beri Masukan untuk Pembangunan Afrika dengan Manfaatkan Kerja Sama Syariah
LSM/Figur
Studi: Negara-negara Kaya Kompak Pangkas Bantuan untuk Negara Miskin
Studi: Negara-negara Kaya Kompak Pangkas Bantuan untuk Negara Miskin
Pemerintah
Baru 2 Bandara Pakai BTT Listrik, Kemenhub Siapkan Revisi Standar Nasional
Baru 2 Bandara Pakai BTT Listrik, Kemenhub Siapkan Revisi Standar Nasional
Pemerintah
BRIN: Peralihan ke BTT Listrik Pangkas Emisi Bandara hingga 31 Persen
BRIN: Peralihan ke BTT Listrik Pangkas Emisi Bandara hingga 31 Persen
LSM/Figur
Etika Keadilan Masyarakat dan Iklim
Etika Keadilan Masyarakat dan Iklim
Pemerintah
Akhiri Krisis Air, Vinilon Group dan Solar Chapter Alirkan Air Bersih ke Desa Fafinesu NTT
Akhiri Krisis Air, Vinilon Group dan Solar Chapter Alirkan Air Bersih ke Desa Fafinesu NTT
Swasta
Kisah Kampung Berseri Astra Cidadap, Ubah Tambang Ilegal Jadi Ekowisata
Kisah Kampung Berseri Astra Cidadap, Ubah Tambang Ilegal Jadi Ekowisata
Swasta
IEA: Dunia Menjadi Lebih Hemat Energi, tetapi Belum Cukup Cepat
IEA: Dunia Menjadi Lebih Hemat Energi, tetapi Belum Cukup Cepat
Pemerintah
Intensifikasi Lahan Tanpa Memperluas Area Tanam Kunci Keberlanjutan Perkebunan Sawit
Intensifikasi Lahan Tanpa Memperluas Area Tanam Kunci Keberlanjutan Perkebunan Sawit
Swasta
Industri Penerbangan Asia Pasifik Siap Penuhi Target 5 Persen Avtur Berkelanjutan
Industri Penerbangan Asia Pasifik Siap Penuhi Target 5 Persen Avtur Berkelanjutan
Pemerintah
Indonesia Ingin Bangun PLTN, tapi Geopolitik Jadi Pertimbangan Utama
Indonesia Ingin Bangun PLTN, tapi Geopolitik Jadi Pertimbangan Utama
Pemerintah
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme Jernih KOMPAS.com
Memuat pilihan harga...
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme Jernih KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau