Di Indonesia, fenomena ini terdeteksi di Jakarta, di mana setiap tetes hujan mengandung 500-1.000 mikrometer mikroplastik.
Penelitian IPB University (2022) di wilayah pesisir Jakarta mengonfirmasi deposisi atmosferik, dengan hujan mengurangi konsentrasi udara secara drastis, tapi justru menyebarkannya ke tanah dan air.
Mikroplastik ini tak hanya jatuh; ia mengubah struktur awan, memicu hujan lebih deras dan berkontribusi pada pemanasan global melalui penyerapan radiasi. Fakta pahit: apa yang kita buang hari ini, kembali menghujani kita besok.
Dampak hujan mikroplastik tak pandang bulu; ia mengancam masyarakat secara langsung dan tidak langsung.
Secara lingkungan, partikel ini mengganggu rantai makanan: plankton menelannya, naik ke ikan, dan akhirnya ke piring kita.
Baca juga: Piring, Pikiran, dan Politik Pembangunan
Di Indonesia, konsumsi mikroplastik mencapai 15 gram per orang per bulan—setara tiga kartu kredit—terutama dari makanan laut, mengalahkan AS (2,4 gram).
Kajian Universitas Airlangga menyoroti risiko: gangguan metabolisme, kerusakan hati, ginjal, reproduksi, hingga kanker, plus neurotoksisitas yang memicu lupa dan gangguan kognitif.
Bagi masyarakat, ini berarti beban kesehatan nyata: peradangan kronis dari inhalasi, kontaminasi air minum, dan penurunan produktivitas pertanian akibat tanah tercemar.
Greenpeace Indonesia memperingatkan bahwa 7,86 juta ton sampah plastik tahun 2023 telah mencemari udara, tanah, dan makanan, memperburuk ketidaksetaraan—nelayan pesisir dan petani paling terdampak.
Secara ekonomi, biaya kesehatan dan kerusakan ekosistem bisa mencapai miliaran rupiah, sementara iklim ekstrem yang dipicu mikroplastik memperparah banjir dan kekeringan.
Indonesia tak luput; daerah dengan polusi tinggi dan curah hujan deras paling berisiko. Jakarta menonjol: setiap hujan membawa mikroplastik dari muara sungai seperti Ciliwung, dengan konsentrasi hingga 393 partikel/L.
Yogyakarta juga terdampak serius, di mana penelitian Universitas Ahmad Dahlan (2023) mendeteksi mikroplastik dalam air hujan urban, berasal dari limpasan jalan dan serat sintetis.
Teluk Banten dan Pulau Lima mencatat peningkatan 20-30 persen saat musim hujan. Sungai Krueng Aceh (Aceh) menunjukkan korelasi positif dengan curah hujan (koefisien 0,177).
Daerah lain: Jawa Barat (termasuk Bandung dan waduk Jatiluhur) sebagai pusat akumulasi; Jawa Timur dengan udara terkepung mikroplastik; dan Sumatera Barat seperti Padang, di mana hujan deras (3.000-4.000 mm/tahun) mempercepat deposisi dari sungai seperti Batang Kuranji.
Pesisir timur seperti Makassar dan pesisir barat Sumatra juga rentan, karena angin monsun membawa partikel dari laut.
Baca juga: Beban Ekologis Kota Jakarta
Hujan mikroplastik adalah cermin kegagalan kita: produksi plastik tak terkendali, pengelolaan sampah lemah, dan regulasi lambat.
Pemerintah harus percepat larangan mikroplastik primer di kosmetik seperti Uni Eropa, dan investasikan di daur ulang nasional—targetkan 30 persen sampah plastik didaur ulang pada 2030.
Masyarakat perlu kampanye lokal: kurangi plastik sekali pakai, dan dukung inisiatif komunitas untuk pengelolaan sampah yang lebih baik.
Jika tidak, hujan yang seharusnya memberi kehidupan justru akan meracuni generasi mendatang. Ini bukan mimpi buruk; ini fakta. Saatnya bangun dan bersihkan langit kita.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya