KOMPAS.com - Indonesia menjadi sorotan dunia internasional setelah menjadi tuan rumah Asia Pacific Association of Allergy, Asthma and Clinical Immunology (APAAACI) 2025 Congress, yakni forum bergengsi yang mempertemukan para pakar dari berbagai negara untuk membahas dampak perubahan iklim terhadap kesehatan manusia.
Diselenggarakan selama tiga hari mulai Kamis (9/10/2025) hingga Minggu (12/10/2025), kongres tersebut menyerukan aksi bersama dalam menanggulangi peningkatan kasus alergi dan asma yang kian membebani masyarakat, terutama di kawasan Asia Pasifik.
Seruan tersebut sejalan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) poin ketiga, yakni Kehidupan Sehat dan Sejahtera.
Secara global, diperkirakan 300 juta orang menderita asma. Sementara, 200–250 juta mengalami alergi makanan, dan 400 juta hidup dengan rinitis alergi.
Baca juga: Paparan Logam dan Sulfat dalam Polusi Udara Berpotensi Tingkatkan Risiko Asma
Dalam kongres tersebut disebutkan bahwa Badan Kesehatan Dunia (WHO) mencatat bahwa asma menyebabkan sekitar 250.000 kematian setiap tahun, dengan angka yang terus meningkat di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
“Kawasan Asia Pasifik, yang menampung dua pertiga populasi dunia, menanggung beban terbesar akibat pemanasan global, polusi udara, dan penurunan keanekaragaman hayati.
Faktor-faktor ini memperburuk paparan alergen di udara dan mempertinggi risiko penyakit alergi,” terang Executive Director dan Past President APAAACI Prof Ruby Pawankar dalam keterangan pers yang diterima Kompas.com, Kamis (9/10/2025).
Baca juga: Anak Asma Perlu Hindari Cokelat dan MSG, Ini Penjelasan Dokter...
Di Indonesia, prevalensi asma diperkirakan mencapai 5–7 persen populasi, dengan peningkatan signifikan pada anak-anak dan remaja. Polusi udara perkotaan, kabut asap tahunan, serta perubahan pola cuaca ekstrem menjadi pemicu utama yang memperburuk kondisi ini.
Kementerian Kesehatan RI mencatat, penyakit saluran pernapasan kini termasuk dalam lima besar penyebab kunjungan fasilitas kesehatan nasional.
“Perubahan iklim adalah krisis kesehatan global. Dampaknya terasa bukan hanya pada paru-paru, tetapi juga pada sistem kekebalan tubuh, menyebabkan peningkatan penyakit alergi dan asma di semua kelompok usia,” imbuh Prof Ruby.
Oleh karenanya, ia mendorong komitmen global untuk menekan polusi, mengurangi penggunaan bahan bakar fosil, dan memperkuat kolaborasi lintas sektor melalui pendekatan One Health, yang menghubungkan kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan.
Baca juga: IDAI: Pengobatan Asma pada Anak Perlu Disesuaikan dengan Gejala dan Usia
Sebagai bagian dari komitmen tersebut, APAAACI terus mendorong penguatan kapasitas ilmiah berbasis bukti (evidence-based science) di kawasan Asia Pasifik.
“Kami berupaya meningkatkan pemahaman ilmiah dan jejaring antarprofesional, terutama bagi generasi muda agar mereka dapat belajar langsung dari para ahli dunia,” jelas Prof. Ruby.
Pihaknya juga mengadakan berbagai inisiatif, seperti master classes, survei, dan publikasi ilmiah untuk memperkuat praktik berbasis bukti di bidang alergi dan imunologi.
APAAACI juga menjadi salah satu organisasi yang aktif mengangkat isu perubahan iklim dalam konteks kesehatan.
“Kami menerbitkan white paper pada 2020 mengenai perubahan iklim, polusi udara, dan keanekaragaman hayati, serta bekerja sama dengan WHO, UNEP, dan berbagai pemimpin negara,” kata Prof Ruby.
Sejak pertemuan G20 di Indonesia dan India, tambahnya, pihaknya juga terlibat dalam penyusunan kebijakan tentang iklim dan kesehatan. Ia menyebut, ini kali pertama dokter atau pakar kesehatan masyarakat ikut dalam proses tersebut.
Baca juga: Angka Asma pada Anak Meningkat, IDAI Ingatkan Pentingnya Deteksi Dini
Menurutnya, tantangan kesehatan tersebut memerlukan kerja sama lintas disiplin.
“Kami perlu melibatkan petani, perencana kota, pembuat kebijakan, hingga masyarakat sipil karena sampah dan polusi adalah masalah besar di banyak negara,” ujarnya.
Selain itu, tambahnya, perlu ada mekanisme agar negara-negara berpenghasilan tinggi menyalurkan dana ke negara berpendapatan rendah untuk meningkatkan kualitas makanan dan kesehatan masyarakat.
Bagi Indonesia, penyelenggaraan kongres APAAACI tahun ini menjadi momen penting sekaligus membanggakan.
Baca juga: Begini Perbedaan Batuk Pneumonia, Asma, dan TBC pada Anak Menurut Ahli
Ketua Perhimpunan Alergi Imunologi Indonesia (Peralmuni), Prof Dr Dr Iris Rengganis, SpPD-KAI, menuturkan bahwa kesempatan menjadi tuan rumah adalah bentuk pengakuan terhadap peran aktif Indonesia di bidang kesehatan lingkungan.
“Setiap tahun, lokasi penyelenggaraan APAAACI berganti-ganti, dan tahun ini menjadi kebanggaan tersendiri karena Indonesia kembali dipercaya menjadi tuan rumah setelah pertama kali di Bali,” ujarnya.
Ia mengamini bahwa ini merupakan momentum yang membanggakan bagi Indonesia sekaligus menunjukkan bahwa Negara ini siap berperan aktif dan berkontribusi dalam isu global seputar alergi, asma, dan imunologi.
Dengan menjadi tuan rumah, katanya, Indonesia tidak hanya menunjukkan kapasitasnya dalam menyelenggarakan forum internasional, tetapi juga memperkuat kolaborasi antarnegara dalam mencari solusi terhadap krisis iklim dan kesehatan.
“Kami bersyukur bisa menyambut para ahli dunia di sini dan memudahkan terjadinya kolaborasi untuk riset, edukasi, serta kebijakan yang lebih berpihak pada kesehatan masyarakat dan keberlanjutan lingkungan,” ujar Prof Iris.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya