Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Paparan Logam dan Sulfat dalam Polusi Udara Berpotensi Tingkatkan Risiko Asma

Kompas.com, 30 Agustus 2025, 16:49 WIB
Monika Novena,
Yunanto Wiji Utomo

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Studi baru yang dipimpin oleh Harvard T.H. Chan School of Public Health menemukan paparan jangka panjang logam, khususnya nikel dan vanadium, serta partikel sulfat yang terdapat pada polusi udara bisa meningkatkan potensi risiko asma.

"Kita sudah tahu bahwa partikel PM2.5 bisa memperparah asma dan menyebabkan orang dirawat di rumah sakit. Tapi karena partikel ini terbentuk dari berbagai zat, kita belum tahu mana yang paling berbahaya," kata Joel Schwartz, profesor di bidang kesehatan lingkungan.

"Penelitian kami mencoba mencari tahu zat mana dalam PM2.5 yang paling berbahaya, supaya kita bisa lebih fokus mengendalikannya dan membantu penderita asma," katanya lagi seperti dikutip dari Medicalxpress, Jumat (29/8/2025).

Sebagian besar penelitian sebelumnya hanya melihat hubungan antara asma dan satu jenis polusi, atau langsung melihat PM2.5 secara keseluruhan.

Baca juga: Sederet Langkah Pemprov DKI Atasi Polusi Udara, dari Uji Emisi hingga Awasi Industri

Tapi dalam penelitian ini, mereka mencari tahu apa saja zat yang menyusun PM2.5, lalu meneliti bagaimana gabungan zat-zat itu memengaruhi kondisi asma.

Dengan bantuan penelitian sebelumnya dan teknologi pembelajaran mesin (machine learning), mereka menemukan bahwa campuran PM2.5 terdiri dari zat-zat seperti brom, kalsium, tembaga, karbon, besi, kalium, amonium, nikel, nitrat, karbon organik, timbal, silikon, sulfat, vanadium, dan seng.

Mereka lantas menggunakan teknologi pembelajaran mesin tambahan untuk memperkirakan jumlah setiap zat (polutan) per tahun di setiap wilayah kode pos di Amerika Serikat.

Selanjutnya, mereka mengambil data jumlah rawat inap akibat asma dari database rumah sakit yang dikelola oleh proyek pemerintah, untuk mengetahui total kasus rawat inap di 11 negara bagian antara tahun 2002 hingga 2016.

Para peneliti juga memperhitungkan faktor-faktor lain yang bisa memengaruhi, seperti suhu udara dan kondisi sosial ekonomi pasien yang dirawat.

Mereka lalu menggunakan metode statistik khusus disebut weighted quantile sum regression untuk menilai seberapa besar masing-masing zat dalam PM2.5 berkontribusi terhadap 469.005 kasus rawat inap akibat asma yang dianalisis dalam studi ini.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa setiap kali tingkat campuran polusi meningkat satu tingkat (dalam skala 1–10), jumlah rawat inap akibat asma naik sebesar 10,6 persen pada anak-anak dan 8 persen pada orang dewasa usia 19 sampai 64 tahun.

Zat yang paling berpengaruh dalam peningkatan ini adalah nikel, vanadium, sulfat, nitrat, brom, dan amonium.

Baca juga: Polusi Udara Kian Parah, Pemerintah Didesak Terapkan Baku Mutu Nasional

"Jika kita ingin mengurangi jumlah rawat inap akibat asma, inilah sumber-sumber yang perlu dikendalikan lebih baik dan kita tahu caranya," kata Schwartz.

"Nikel dan vanadium, contohnya, dihasilkan dari pembakaran bahan bakar minyak, seperti minyak pemanas dan minyak yang lebih berat yang digunakan oleh gedung-gedung besar. Sulfat berasal dari pembakaran batu bara. Kita bisa memasang alat penyaring pada pembangkit listrik tenaga batu bara atau mengganti batu bara dengan bahan bakar yang tidak terlalu berpolusi, dan kita bisa menghilangkan kontaminan logam dari bahan bakar minyak," terangnya lagi.

Para peneliti juga mencatat bahwa studi lebih lanjut diperlukan untuk menilai bagaimana partikel spesifik dalam campuran PM2.5 memengaruhi rawat inap penderita asma setelah paparan jangka pendek.

Studi ini dipublikasikan di American Journal of Respiratory and Critical Care Medicine.

Baca juga: Studi Ungkap Polusi Cahaya Sebabkan Burung di Perkotaan Kurang Tidur

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
AGII Dorong Implementasi Standar Keselamatan di Industri Gas
AGII Dorong Implementasi Standar Keselamatan di Industri Gas
LSM/Figur
Tak Niat Atasi Krisis Iklim, Pemerintah Bahas Perdagangan Karbon untuk Cari Cuan
Tak Niat Atasi Krisis Iklim, Pemerintah Bahas Perdagangan Karbon untuk Cari Cuan
Pemerintah
Dorong Gaya Hidup Berkelanjutan, Blibli Tiket Action Gelar 'Langkah Membumi Ecoground 2025'
Dorong Gaya Hidup Berkelanjutan, Blibli Tiket Action Gelar "Langkah Membumi Ecoground 2025"
Swasta
PGE Manfaatkan Panas Bumi untuk Keringkan Kopi hingga Budi Daya Ikan di Gunung
PGE Manfaatkan Panas Bumi untuk Keringkan Kopi hingga Budi Daya Ikan di Gunung
BUMN
PBB Ungkap 2025 Jadi Salah Satu dari Tiga Tahun Terpanas Global
PBB Ungkap 2025 Jadi Salah Satu dari Tiga Tahun Terpanas Global
Pemerintah
Celios: RI Harus Tuntut Utang Pendanaan Iklim Dalam COP30 ke Negara Maju
Celios: RI Harus Tuntut Utang Pendanaan Iklim Dalam COP30 ke Negara Maju
LSM/Figur
Kapasitas Tanah Serap Karbon Turun Drastis di 2024
Kapasitas Tanah Serap Karbon Turun Drastis di 2024
Pemerintah
TFFF Resmi Diluncurkan di COP30, Bisakah Lindungi Hutan Tropis Dunia?
TFFF Resmi Diluncurkan di COP30, Bisakah Lindungi Hutan Tropis Dunia?
Pemerintah
COP30: Target Iklim 1,5 Derajat C yang Tak Tercapai adalah Kegagalan Moral
COP30: Target Iklim 1,5 Derajat C yang Tak Tercapai adalah Kegagalan Moral
Pemerintah
Trend Asia Nilai PLTSa Bukan EBT, Bukan Opsi Tepat Transisi Energi
Trend Asia Nilai PLTSa Bukan EBT, Bukan Opsi Tepat Transisi Energi
LSM/Figur
4.000 Hektare Lahan di TN Kerinci Seblat Dirambah, Sebagiannya untuk Sawit
4.000 Hektare Lahan di TN Kerinci Seblat Dirambah, Sebagiannya untuk Sawit
Pemerintah
Muara Laboh Diperluas, Australia Suntik Rp 240 Miliar untuk Geothermal
Muara Laboh Diperluas, Australia Suntik Rp 240 Miliar untuk Geothermal
Pemerintah
Bisa Suplai Listrik Stabil, Panas Bumi Lebih Tahan Krisis Iklim Ketimbang EBT Lain
Bisa Suplai Listrik Stabil, Panas Bumi Lebih Tahan Krisis Iklim Ketimbang EBT Lain
Swasta
BCA Ajak Penenun Kain Gunakan Pewarna Alami untuk Bidik Pasar Ekspor
BCA Ajak Penenun Kain Gunakan Pewarna Alami untuk Bidik Pasar Ekspor
Swasta
Investasi Energi Terbarukan Capai Rp 21,64 Triliun, REC Dinilai Bisa Percepat Balik Modal
Investasi Energi Terbarukan Capai Rp 21,64 Triliun, REC Dinilai Bisa Percepat Balik Modal
Pemerintah
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau