Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Wahyu Eka Styawan
Konsultan

Direktur WALHI Jawa Timur

Hak atas Air: Menegakkan Keadilan di Tengah Krisis

Kompas.com, 19 Oktober 2025, 17:18 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
Editor Wisnubrata

MASYARAKAT memiliki posisi penting dalam mempertahankan hak mereka atas sumber air bersih. Air bukan hanya sumber daya alam, tetapi juga ruang hidup yang menopang keberlanjutan komunitas. Dalam banyak kasus di berbagai belahan dunia, perebutan air memperlihatkan bagaimana kekuasaan politik, ekonomi, dan militer sering kali menentukan siapa yang berhak hidup dari air, dan siapa yang harus kehilangan akses terhadapnya.

Konflik atas air menunjukkan bahwa persoalan ini tidak lagi sebatas lingkungan, melainkan juga politik, ekonomi, dan kemanusiaan.

Di Spanyol, aktivis Greenpeace memutus suplai air ke lembaga negara sebagai bentuk protes atas pencemaran industri. Di Puebla, Meksiko, penolakan terhadap pembangunan instalasi pengolahan air berujung bentrokan warga dan polisi. Bahkan di Gaza dan Tepi Barat, air menjadi senjata perang yang menentukan hidup-matinya penduduk sipil.

Semua contoh itu menunjukkan bahwa air telah berubah menjadi arena konflik global antara kehidupan dan kekuasaan.

Konteks Indonesia tidak jauh berbeda. Krisis air di negeri ini mencerminkan ketimpangan struktural dalam pengelolaan sumber daya alam. Dalam dua dekade terakhir, sumber air banyak dikuasai oleh korporasi, baik dalam bentuk konsesi air minum, izin industri, maupun proyek infrastruktur yang mengubah tata guna lahan secara besar-besaran.

Kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya mengalami tekanan berat akibat privatisasi air dan eksploitasi air tanah yang berlebihan. Di Jakarta, privatisasi pengelolaan air yang dimulai pada 1997 antara PAM Jaya dengan perusahaan swasta telah memperlihatkan kegagalan sistemik. Tarif air melonjak, tetapi kualitas dan akses masyarakat terhadap air bersih justru menurun.

Putusan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa air tidak boleh dikuasai oleh korporasi dan harus dikembalikan kepada publik. Namun, dalam praktiknya, privatisasi masih terus berjalan di banyak daerah melalui skema kerjasama pemerintah dan swasta (public-private partnership).

Krisis juga terjadi di daerah pedesaan dan wilayah adat. Di banyak tempat di Jawa Timur, Kalimantan, dan Sulawesi, sumber air masyarakat dirampas oleh tambang, perkebunan, dan proyek industri. Hulu-hulu sungai yang menjadi sumber air irigasi dan konsumsi rusak akibat deforestasi dan tambang batu gamping.

Contohnya di Pegunungan Kendeng dan kawasan hulu Brantas, pembukaan tambang, dibangunnya proyek panas bumi sampai alih fungsi kawasan, telah mengancam sumber mata air yang selama ini menjadi tumpuan pertanian rakyat. Ketika air mengering, perempuan dan anak-anak menjadi pihak pertama yang terdampak, karena mereka harus menanggung beban tambahan untuk mencari air bersih.

Krisis air di Indonesia tidak hanya ekologis, tetapi juga sosial dan politik. Ketika sumber air berubah menjadi komoditas ekonomi, masyarakat kehilangan kedaulatannya. Negara, yang seharusnya menjadi pelindung hak publik, justru sering berperan sebagai pemberi izin eksploitasi. Model pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan industri dan investasi menyebabkan air dilihat sebagai input ekonomi, bukan sebagai hak hidup.

Dalam situasi ini, masyarakat sering menjadi korban paling awal karena wilayah mereka kaya air dan mineral, namun tidak diakui secara hukum.

Baca juga: 15 Tahun Bayar Air Bersih Lebih Mahal, Warga Rusunami Gugat PAM Jaya

Regulasi dan Hak atas Air

Konstitusi Indonesia sebenarnya memberikan dasar kuat untuk melindungi hak atas air. Pasal 33 UUD 1945 menyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Prinsip ini menegaskan bahwa air adalah hak publik yang tidak dapat diprivatisasi.

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 85/PUU-XI/2013 memperkuatnya dengan membatalkan UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, karena membuka ruang bagi privatisasi dan penguasaan swasta. Sebagai gantinya, lahirlah UU No. 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air, yang menekankan bahwa pengelolaan air harus berlandaskan asas keadilan, keberlanjutan, dan kedaulatan rakyat.

Selain itu, UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia serta UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa memberikan pengakuan terhadap hak asal-usul dan wilayah masyarakat adat dalam mengelola sumber daya alam, termasuk air.

Di tingkat global, Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (UNDRIP, 2007) menegaskan hak kolektif atas tanah, air, dan sumber daya tradisional yang menjadi bagian integral dari identitas dan keberlanjutan komunitas adat.

Namun, pelaksanaan regulasi-regulasi tersebut masih jauh dari cita-cita. Negara sering kali menafsirkan “penguasaan negara atas air” sebagai hak untuk memberi izin kepada pihak ketiga, bukan sebagai mandat untuk melindungi rakyat. Padahal, sesuai semangat UUD 1945 dan putusan MK, penguasaan negara seharusnya berarti pengelolaan oleh rakyat untuk rakyat, dengan negara berperan sebagai pelindung, bukan pemilik atau pemberi konsesi.

Baca juga: Air PDAM Mati Tiga Bulan, Warga Kavling Alinda Antre Air Bersih di Musala

Air, Kehidupan, dan Keadilan Ekologis

Bagi masyarakat, air bukan sekadar kebutuhan fisik, melainkan bagian dari kosmos kehidupan. Mereka melihat air sebagai entitas hidup yang memiliki nilai spiritual dan moral. Dalam pandangan ini, menjaga air berarti menjaga hubungan antara manusia dan alam. Air menjadi simbol keseimbangan, bukan hanya sumber daya.

Keadilan air menuntut pengakuan terhadap pengetahuan lokal dan praktik adat yang selama ini menjaga sumber-sumber air. Di banyak wilayah adat, seperti di Kalimantan dan Nusa Tenggara Timur, masyarakat memiliki tata kelola berbasis hukum adat yang mengatur pembagian air, larangan pencemaran, serta upacara ritual yang menjaga kesakralan sumber air. Ini adalah bentuk kedaulatan ekologis yang harus diakui dan dilindungi oleh negara.

Krisis air hari ini seharusnya menjadi titik balik untuk membangun sistem pengelolaan yang berkeadilan. Air tidak boleh menjadi objek monopoli, tetapi hak bersama yang dikelola berdasarkan prinsip solidaritas dan keseimbangan ekologis. Menegakkan keadilan air berarti memastikan bahwa setiap orang, terutama masyarakat, memiliki hak yang sama untuk hidup bermartabat. Karena pada akhirnya, air bukan milik siapa pun—air adalah kehidupan itu sendiri.

Baca juga: Jakarta Krisis Air Bersih, PAM Jaya Diminta Percepat Transformasi

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
SBTi Rilis Peta Jalan untuk Industri Kimia Global
SBTi Rilis Peta Jalan untuk Industri Kimia Global
Pemerintah
Bukan Murka Alam: Melacak Jejak Ecological Tech Crime di Balik Tenggelamnya Sumatra
Bukan Murka Alam: Melacak Jejak Ecological Tech Crime di Balik Tenggelamnya Sumatra
Pemerintah
Agroforestri Sawit: Jalan Tengah di Tengah Ancaman Banjir dan Krisis Ekosistem
Agroforestri Sawit: Jalan Tengah di Tengah Ancaman Banjir dan Krisis Ekosistem
Pemerintah
Survei FTSE Russell: Risiko Iklim Jadi Kekhawatiran Mayoritas Investor
Survei FTSE Russell: Risiko Iklim Jadi Kekhawatiran Mayoritas Investor
Swasta
Tuntaskan Program KMG-SMK, BNET Academy Dorong Penguatan Kompetensi Guru Vokasi
Tuntaskan Program KMG-SMK, BNET Academy Dorong Penguatan Kompetensi Guru Vokasi
Swasta
Harapan Baru, Peneliti Temukan Cara Hutan Tropis Beradaptasi dengan Iklim
Harapan Baru, Peneliti Temukan Cara Hutan Tropis Beradaptasi dengan Iklim
Pemerintah
Jutaan Hektare Lahan Sawit di Sumatera Berada di Wilayah yang Tak Layak untuk Monokultur
Jutaan Hektare Lahan Sawit di Sumatera Berada di Wilayah yang Tak Layak untuk Monokultur
LSM/Figur
Industri Olahraga Global Bisa Jadi Penggerak Konservasi Satwa Liar
Industri Olahraga Global Bisa Jadi Penggerak Konservasi Satwa Liar
Swasta
FAO: Perluasan Lahan Pertanian Tidak Lagi Memungkinkan
FAO: Perluasan Lahan Pertanian Tidak Lagi Memungkinkan
Pemerintah
Banjir Sumatera Disebabkan Kerusakan Hutan, Anggota DPR Ini Minta HGU Ditiadakan
Banjir Sumatera Disebabkan Kerusakan Hutan, Anggota DPR Ini Minta HGU Ditiadakan
Pemerintah
Pupuk Indonesia: Jangan Pertentangkan antara Pupuk Organik dan Kimia
Pupuk Indonesia: Jangan Pertentangkan antara Pupuk Organik dan Kimia
BUMN
PLN Kelebihan Pasokan, Proyek WtE Dikhawatirkan Hanya Bakar Uang
PLN Kelebihan Pasokan, Proyek WtE Dikhawatirkan Hanya Bakar Uang
LSM/Figur
Ekonomi Hijau Diprediksi Capai 7 Triliun Dolar AS per Tahun pada 2030
Ekonomi Hijau Diprediksi Capai 7 Triliun Dolar AS per Tahun pada 2030
Pemerintah
Skema Return dan Reuse Disebut Bisa Kurangi Polusi Plastik dalam 15 Tahun
Skema Return dan Reuse Disebut Bisa Kurangi Polusi Plastik dalam 15 Tahun
Pemerintah
Ketika Anak-anak Muda Mulai Berinisiatif untuk Lestarikan Lingkungan...
Ketika Anak-anak Muda Mulai Berinisiatif untuk Lestarikan Lingkungan...
LSM/Figur
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau