KALIMANTAN BARAT, KOMPAS.com - Curah hujan tinggi akibat krisis iklim mengganggu proses penyadapan getah pada pohon karet. Hujan dapat mengurangi produksi dan kualitas getah karet.
"Kalau hujan, saya enggak bisa menyadap, itu getahnya yang keluar dari batang pohon enggak masuk ke mangkok," ujar seorang petani dari Desa Mekar Raya, Kecamatan Simpang Dua, Kabupaten Ketapang, Rawatrony, Sabtu (25/10/2025).
Saat hujan mengguyur berhari-hari, rayap menjadi lebih aktif dalam merusak pohon-pohon karet. Menurut Rawatrony, sawit cenderung lebih tahan terhadap cuaca ekstrem akibat krisis iklim daripada karet dan kopi. Ia menganggap, cuaca ekstrem akibat krisis iklim turut mempengaruhi banyak petani di Desa Mekar Raya beralih dari karet ke kopi.
Baca juga: Kisah Alexius Atep, Pilih Pertanian Organik dan Agroforestri hingga Raih Penghargaan Lingkungan
Salah satu ketua adat di Desa Mekar Raya, Martinus Singer, mengaku lebih menyukai menyadap karet daripada menanam merawat sawit.
"Karena saya sudah tua kan, memanen hasilnya sudah susah (membutuhkan tenaga dan berat). Kalau yang lebih muda memang lebih suka sawit, mereka bisa kerja keras," tutur Martinus.
Selain musim hujan, kata dia, musim durian juga dapat menurunkan produksi getah karet.
"Enggak ada yang menyadap (saat musim durian). Semua orang nyandau, mengambil durian yang jatuh dari pohonnya di (kawasan) Tembawang (hutan dari bekas permukiman kakek buyutnya duhulu dan sekarang sudah berusia ratusan tahun). Karena orang nyandau bisa siang-malam, hujan-panas enggak peduli, nyandau sampai dapat uang belasan juta. Adik sepupu sampai beli sepeda motor, tapi bekas lah, bukan yang baru," ucapnya.
Jumlah pabrik pengelolaan getah karet di Kalimantan Barat (Kalbar) menyusut secara drastis akibat kekurangan suplai bahan baku. Bahkan, dalam lima tahun terakhir, sebanyak sepuluh pabrik pengelolaan karet di Kalbar ditutup. Kini, hanya tersisa lima pabrik pengelolaan karet di Kalimantan Barat. Pabrik-pabrik pengelolaan getah karet di Kalbar yang masih bertahan, mengimpor bahan baku dari provinsi lain, dan bahkan luar negeri.
Namun, kemungkinan pabrik-pabrik pengelolaan getah karet tersebut untuk tetap bertahan semakin menipis jika suplai bahan baku dari Kalbar terus merosot. Padahal, pabrik-pabrik pengelolaan getah karet di Kalbar masih mengekspor produknya ke luar negeri. Misalnya, PT Bintang Borneo Persada yang mengekspor produknya ke Jepang.
Direktur PT Bintang Borneo Persada, Merly mengatakan, industri pengelolaan karet di Kalbar harus bertahan tanpa dukungan pemerintah. Ia berharap masih ada petani di Kalbar yang masih mencari nafkah dengan menyadap getah karet.
"Nah, kesulitan kami karena motivasi petani menurun ya, sebagian telah berpindah ke komoditas lain (sawit) yang mungkin lebih baik secara harga. Yang lebih menguntungkan dan dari proses penyadapan karet itu sendiri ya, saat ini anak muda sangat jarang yang ini bekerja karet karena itu harus telaten, harus setiap hari," ujar Merly.
Krisis iklim memperparah penyebaran penyakit gugur daun dan penyakit akar yang berdampak pada penurunan produksi getah karet. Rendahnya produktivitas pohon-pohon karet di Kalbar juga diperburuk dengan usianya yang umumnya sudah lebih dari 20 tahun. Untuk menghadapi berbagai tantangan suplai bahan baku karet, Merly menjalin kemitraan dengan koperasi dan badan usaha milik desa (Bumdes).
Misalnya, PT Bintang Borneo Persada membeli getah karet langsung dari Koperasi Juring Jaya Sejahtera — yang memiliki anggota dari Desa Mekar Raya — dengan disertai pendampingan untuk menjaga kualitasnya.
"Dengan adanya kerja sama secara langsung dari pabrik ke koperasi, otomatis petani akan mendapatkan manfaat dari harga lebih baik," tutur Merly.
Rawatrony, seorang petani dari Desa Mekar Raya, Kecamatan Simpang Dua, Kabupaten Ketapang, menanam kopi, pisang, jagung, sampai terong di sela-sela pohon karet.Koordinator Program Mobilizing More for Climate (MoMo4C) Tropenbos Indonesia, Triana mengatakan, praktik budi daya karet di Kalbar, termasuk di Desa Mekar Raya, masih bersifat tradisional dan kebunnya seringkali warisan dari generasi sebelumnya. Jadi, bukan perkebunan karet monokultur yang penyadapannya harus setiap hari dan memang tidak dikelola sebagai agrobisnis.
"Padahal, permintaan (karet) ada nih, terus harganya sudah lumayan. Pabrik sebenarnya kekurangan bahan baku. Di Kalbar banyak kebun karet. Orang yang menyadap kurang ya. Dulu harga karet tinggi sekali, terus hancur, jadi mereka masih ini (trauma). Mereka melihat sawit lebih menguntungkan," ucapnya.
Baca juga: Tropenbos Kembangkan Agroforestri Karet dan Kopi Liberika di Kalbar
Menurut Triana, pengembangan agroforestri melalui revitalisasi perkebunan karet yang diiringi dengan diversifikasi tanaman dapat menjadi solusi untuk memenuhi suplai getah. Misalnya, mengintegrasikan perkebunan karet dengan tanaman kopi sebagai sumber pendapatan tambahan.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya