Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
KILAS

Cerita dari Desa Watulabara di NTT, Merdeka dari Krisis Air

Kompas.com, 27 Oktober 2025, 20:46 WIB
Sri Noviyanti

Penulis


KOMPAS.com - Di balik lanskap Sumba yang memesona, masyarakatnya masih bergulat dengan tantangan berat, yakni keterbatasan akses air bersih.

Data Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) pada 2022 mencatat, angka stunting di Kabupaten Sumba Barat Daya mencapai 44 persen dan menjadi salah satu yang tertinggi di Indonesia. Kondisi ini berkaitan erat dengan keterbatasan air bersih dan sanitasi.

Sebagai informasi, Desa Watulabara di Kabupaten Sumba Barat Daya menjadi salah satu wilayah yang lama terdampak krisis air. Sekitar 2.000 warga hidup dengan ekonomi sederhana, bergantung pada pertanian yang sangat dipengaruhi musim hujan.

Baca juga: Berkat Program CSR Vinilon Group dan Solar Chapter, Warga Desa Banuan Kini Merdeka Air Bersih

“Dulu kalau mau beli air, kami harus siapkan uang besar sekali. Kalau tidak, ya jalan jauh ke sumber mata air,” tutur salah satu warga, Marliana Bolo atau karib disapa Mama Ela dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Senin (27/10/2025).

Untuk memenuhi kebutuhan harian, warga harus membeli air dalam tangki berisi 5.000 liter seharga Rp 200.000 hingga Rp250.000. Bagi banyak keluarga, biaya itu sangat memberatkan.

Akibatnya, air hanya digunakan untuk kebutuhan pokok seperti minum, memasak, dan mandi.
Tahun 2025 menjadi titik balik bagi Desa Watulabara. Melalui program Merdeka Air, inisiatif kolaboratif antara masyarakat desa dan lembaga sosial Solar Chapter didukung pendanaan corporate social responsibility (CSR) dari InfluenceStar Management.

Lewat program tersebut, sistem air bersih tenaga surya dibangun dengan dirancang menyesuaikan kondisi geografis desa.

Menurut Senior Project Associate Solar Chapter Amalia Narya, proyek ini menjadi salah satu yang paling menantang pada 2025.

“Program Merdeka Air di Desa Watulabara ini termasuk yang tersulit, dilihat dari elevasi ketinggian mencapai 90 meter dan jalur pipa yang sulit dilewati bahkan oleh manusia sekalipun. Namun, hal ini menjadi mungkin berkat kekompakan multipihak. Sekarang setiap orang bisa menikmati air minimal 60 liter per hari, dari yang sebelumnya hanya 10 liter,” ujarnya.

Kepala Desa Watulabara, Marten Malo, sempat mengaku ragu melihat posisi bak reservoir yang dibangun di titik tertinggi desa.

Baca juga: Atasi Krisis Air Bersih, Solar Chapter Bangun Pompa Air Tenaga Surya di Naisau NTT

“Awalnya saya tidak yakin, posisi bak ini tinggi sekali. Saya takut air tidak sampai. Tapi ketika akhirnya mengalir, lebih dari ‘wow’. Kami senang, harapan besar akhirnya terwujud,” katanya.

Air yang menghidupkan

Kini, sebanyak 18 panel surya terpasang dan mampu memompa hingga 58.000 liter air per hari. Air dialirkan ke desa dan langsung dimanfaatkan oleh 1.119 warga. Kehadiran akses air bersih bukan hanya menjawab kebutuhan rumah tangga, melainkanjuga menggerakkan kembali sektor pertanian, peternakan, dan kebersihan lingkungan.

Program Merdeka Air tidak berhenti pada pembangunan infrastruktur. Warga Desa Watulabara kini membentuk Komite Air yang berperan mengelola keberlanjutan fasilitas tersebut. Dok Solar Chapter Program Merdeka Air tidak berhenti pada pembangunan infrastruktur. Warga Desa Watulabara kini membentuk Komite Air yang berperan mengelola keberlanjutan fasilitas tersebut.

“Melihat warga desa bekerja dengan semangat dan senyum tanpa sedikit pun mengeluh membuat saya sadar, kebahagiaan bisa tumbuh dari gotong royong dan harapan akan perubahan yang berkelanjutan,” tutur Founder InfluenceStar Management Kenan Wibisono,.

Program Merdeka Air tidak berhenti pada pembangunan infrastruktur. Warga Desa Watulabara kini membentuk Komite Air yang berperan mengelola keberlanjutan fasilitas tersebut.

Melalui iuran rutin dan pelatihan teknisi lokal, masyarakat dilatih untuk memastikan sistem pompa dan panel surya dapat berfungsi dalam jangka panjang.

Upaya tersebut menjadi bukti bahwa pembangunan berkelanjutan tidak bisa berdiri sendiri. Ia tumbuh dari kolaborasi, partisipasi warga, dan rasa memiliki bersama.

Kini, air telah mengalir hingga ke depan rumah warga. Sebuah pemandangan yang dulu hanya menjadi harapan.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Baca tentang


Terkini Lainnya
Permintaan Batu Bara Dunia Capai Puncak Tahun Ini, Tapi Melandai 2030
Permintaan Batu Bara Dunia Capai Puncak Tahun Ini, Tapi Melandai 2030
Pemerintah
Pulihkan Ekosistem Sungai, Jagat Satwa Nusantara Lepasliarkan Ikan Kancra di Bogor
Pulihkan Ekosistem Sungai, Jagat Satwa Nusantara Lepasliarkan Ikan Kancra di Bogor
LSM/Figur
Riau dan Kalimantan Tengah, Provinsi dengan Masalah Kebun Sawit Masuk Hutan Paling Rumit
Riau dan Kalimantan Tengah, Provinsi dengan Masalah Kebun Sawit Masuk Hutan Paling Rumit
LSM/Figur
366.955 Hektar Hutan Adat Ditetapkan hingga November 2025
366.955 Hektar Hutan Adat Ditetapkan hingga November 2025
Pemerintah
Suhu Arktik Pecahkan Rekor Terpanas Sepanjang Sejarah, Apa Dampaknya?
Suhu Arktik Pecahkan Rekor Terpanas Sepanjang Sejarah, Apa Dampaknya?
LSM/Figur
Pembelian Produk Ramah Lingkungan Meningkat, tapi Pesan Keberlanjutan Meredup
Pembelian Produk Ramah Lingkungan Meningkat, tapi Pesan Keberlanjutan Meredup
LSM/Figur
Menjaga Napas Terakhir Orangutan Tapanuli dari Ancaman Banjir dan Hilangnya Rimba
Menjaga Napas Terakhir Orangutan Tapanuli dari Ancaman Banjir dan Hilangnya Rimba
LSM/Figur
FWI Soroti Celah Pelanggaran Skema Keterlanjuran Kebun Sawit di Kawasan Hutan
FWI Soroti Celah Pelanggaran Skema Keterlanjuran Kebun Sawit di Kawasan Hutan
LSM/Figur
Menhut Raja Juli Soroti Lemahnya Pengawasan Hutan di Daerah, Anggaran dan Personel Terbatas
Menhut Raja Juli Soroti Lemahnya Pengawasan Hutan di Daerah, Anggaran dan Personel Terbatas
Pemerintah
Menhut Raja Juli Sebut Tak Pernah Beri Izin Pelepasan Kawasan Hutan Setahun Terakhir
Menhut Raja Juli Sebut Tak Pernah Beri Izin Pelepasan Kawasan Hutan Setahun Terakhir
Pemerintah
Krisis Iklim Picu Berbagai Jenis Penyakit, Ancam Kesehatan Global
Krisis Iklim Picu Berbagai Jenis Penyakit, Ancam Kesehatan Global
Pemerintah
Petani Rumput Laut di Indonesia Belum Ramah Lingkungan, Masih Terhalang Biaya
Petani Rumput Laut di Indonesia Belum Ramah Lingkungan, Masih Terhalang Biaya
Pemerintah
Kemenhut Musnahkan 98,8 Hektar Kebun Sawit Ilegal di TN Berbak Sembilang Jambi
Kemenhut Musnahkan 98,8 Hektar Kebun Sawit Ilegal di TN Berbak Sembilang Jambi
Pemerintah
Indonesia Bisa Contoh India, Ini 4 Strategi Kembangkan EBT
Indonesia Bisa Contoh India, Ini 4 Strategi Kembangkan EBT
LSM/Figur
Waspada Hujan Lebat hingga 22 Desember, BMKG Pantau 3 Siklon Tropis
Waspada Hujan Lebat hingga 22 Desember, BMKG Pantau 3 Siklon Tropis
Pemerintah
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau