JAKARTA, KOMPAS.com - Kementerian Kehutanan (Kemenhut) tengah menggodok empat regulasi baru untuk mendorong tata kelola pasar karbon internasional. Hal itu disampaikan Wakil Menteri Kehutanan, Rohmat Marzuki, dalam sesi Ministerial Dialogue di Paviliun Indonesia Conference of Parties (COP30), Belem, Brasil.
"Langkah ini memastikan sistem yang kredibel, transparan, dan inklusif,” kata Rohmat dalam keterangannya, Rabu (12/11/2025).
Ia menjelaskan, regulasi tersebut mencakup revisi Peraturan Menteri (Permen) Nomor 7 Tahun 2023 tentang Tata Cara Perdagangan Karbon Sektor kehutanan.
Baca juga: Fokus Perdagangan Karbon, Misi RI di COP 30 Dinilai Terlalu Jualan
Kedua, Permen Nomor 8 Tahun 2021 tentang Zonasi Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan pada Kawasan Hutan Lindung dan Produksi. Lalu, merevisi Permen Nomor 9 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Perhutanan Sosial.
Terakhir, menyusun peraturan baru tentang pemanfaatan jasa lingkungan di kawasan konservasi. Menurut Rohmat, keempat aturan turunan tersebut menjadi pondasi hukum utama dalam implementasi Nilai Ekonomi Karbon (NEK) sektor kehutanan.
“Perpres ini menandai babak baru di mana manfaat pasar karbon tak hanya menopang target iklim nasional, tetapi juga memberi dampak langsung bagi masyarakat pengelola hutan,” jelas dia.
Pada kesempatan itu, dia menyatakan bahwa daat ini RI telah bermitra dengan International Emission Trading Association (IETA) yang membuka peluang peningkatan kapasitas, pertukaran pengetahuan, maupun kerja sama sektor swasta dalam desain pasar karbon nasional.
Baca juga: RI Jadikan Sektor FOLU Pilar Pasar Karbon Internasional Dalam COP30
Upaya itu, kata dia, sejalan dengan visi Asta Cita pemerintah khususnya pada dua pilar utama yaitu ketahanan pangan dan pengelolaan lingkungan.
Kemenhut juga menjalankan lima program unggulan kehutanan antara lain digitalisasi layanan, pengakuan hutan adat, optimalisasi hasil hutan bukan kayu, penguatan konservasi, hingga penerapan kebijakan satu peta.
Hasilnya menunjukkan, angka kebakaran hutan turun dari 2,6 juta hektare pada 2015 menjadi sekitar 213.000 ha di 2025, sekaligus memperkuat pengawasan 57 taman nasional dengan sistem digital. Proyek restorasi hutan dan konservasi satwa turut dilakukan, seperti kemitraan senilai 150 juta dollar AS di Taman Nasional Way Kambas dan inisiatif konservasi gajah peusangan di Aceh.
“Program-program ini bukan hanya menjaga ekosistem, tetapi juga membuka ribuan lapangan kerja hijau dan memperkuat ekonomi lokal,” ungkap Rohmat.
Baca juga: Kapasitas Tanah Serap Karbon Turun Drastis di 2024
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya