Relokasi yang dilakukan sekarang terasa pahit karena mereka tidak pernah benar-benar memahami status tempat tinggal mereka.
Ketiga, ketergantungan ekonomi mendorong masyarakat menggarap lahan yang dianggap kosong atau tidak termanfaatkan. Ketika akses terhadap sumber penghidupan terbatas, hutan menjadi jalan pintas bertahan hidup.
Keempat, kurangnya investasi jangka panjang dalam konservasi, mulai dari penelitian, pemantauan, edukasi publik, hingga kemitraan dengan masyarakat adat, membuat banyak persoalan baru terlihat ketika sudah terlambat.
Kita merayakan “penemuan” Rafflesia hasseltii, tetapi sesungguhnya momen itu mengingatkan bahwa banyak keajaiban hutan Indonesia baru tersorot ketika ada kejutan atau tragedi.
Di atas semua itu, perang narasi memperkeruh keadaan. Tanpa ruang dialog yang adil, publik mudah terjebak pada polarisasi seperti melihat gajah sebagai perusak atau masyarakat sebagai perambah; atau memandang warga sebagai pihak yang harus ditertibkan, sementara negara dipersepsikan sebagai aktor represif.
Di tengah kaburnya batas antara kepentingan manusia dan kelestarian alam, kita perlu menilai situasi ini dengan jernih, bukan sekadar mencari siapa yang salah.
Pertama, gajah bukan pengganggu. Konflik manusia–satwa terjadi karena ruang jelajah satwa menyusut oleh ulah manusia.
Gajah tidak memilih meninggalkan hutan; manusialah yang masuk terlalu jauh ke ruang hidup mereka. Dalam kerangka moral, gajah dan satwa liar lainnya adalah korban, bukan pelaku.
Kedua, membingkai masyarakat sebagai perambah yang harus ditertibkan adalah narasi yang mengabaikan ketidakadilan struktural.
Banyak warga terjebak dalam situasi tanpa pilihan akibat pembiaran bertahun-tahun, ketidakjelasan tata batas, dan absennya peran negara.
Baca juga: Menunggu Surat dari Kantor Gubernur Bobby Nasution
Untuk itu, menghukum mereka tanpa memberi solusi adalah tindakan yang salah secara etis. Namun, di sisi lain, tindakan merusak hutan, tetap tidak dapat dibenarkan, terutama jika didorong pemodal besar, dan pihak yang memanfaatkan ketidaktahuan warga.
Ketiga, negara memikul tanggung jawab moral terbesar. Penertiban menandakan kegagalan tata kelola.
Kendati demikian, langkah pemulihan habitat patut diapresiasi selama dijalankan dengan transparansi, keadilan sosial, dan menghormati martabat warga.
Pada akhirnya, krisis hutan Indonesia bukan tentang menentukan satu pihak yang sepenuhnya benar atau salah, melainkan tentang mengakui siapa yang paling rentan dan siapa yang paling berkuasa memperbaikinya.
Satwa bukan pelaku; masyarakat bukan musuh; dan negara memiliki kewajiban moral memperbaiki kesalahan masa lalu.
Di tengah segala perdebatan itu, alam tidak punya suara, tetapi dampaknya bersuara lantang.
Mekarnya Rafflesia hasseltii setelah 13 tahun dicari adalah bisikan lembut tentang keajaiban yang masih bertahan. Ancaman terhadap Tesso Nilo adalah jeritan keras tentang krisis yang tak bisa lagi diabaikan.
Negara harus berpihak pada keberlanjutan hidup karena tanpa hutan yang utuh, keajaiban seperti Rafflesia hasseltii tidak akan lagi mampu mekar.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya