JAKARTA, KOMPAS.com - Energy Shift Institute (ESI) mengungkapkan bahwa hilirisasi nikel tak hanya mencakup kendaraan listrik atau electric vehicle (EV) saja, melainkan bisa diperluas ke sektor metalurgi hijau seperti stainless steel.
Dalam laporan ESI berjudul Pendekatan Dua Jalur untuk Industrialisasi Berbasis Mineral di Indonesia, pada skenario produksi EV paling optimis, industri dan baterai akan kesulitan menyerap lebih dari 1 persen dari total produksi nikel Indonesia.
Sebaliknya, aplikasi metalurgi yang mencakup barang konsumsi hingga industri berat termasuk konstruksi dan transportasi dapat menyerap hingga 60 persen dari tambang nikel.
"Ketika kami breakdown melalui analisis kami, nikel itu hanya berperan 2-4 persen dalam komposisi keseluruhan EV," ujar Associate Principal ESI, Ahmad Zuhdi, di Jakarta Pusat, Rabu (26/11/2025).
Baca juga: Empat Miskonsepsi Besar Soal Nikel dan Kendaraan Listrik di Indonesia
"Saya bisa saja saat ini berdiri di sini dan menyebutkan EV merupakan downstreaming dari industri kulit, karena kita tahu semua mobil EV premium saat ini yang berada di Indonesia, interiornya menggunakan kulit," imbuh dia.
Keunggulan lainnya, 95 persen stainless steel dapat didaur ulang yang meningkatkan kredibilitasnya dalam upaya pelestarian lingkungan. Angka ini jauh dibandingkan tingkat daur ulang baterai nikel lithium-ion yakni hanya 5 persen.
Di sisi lain, Zuhdi menyoroti penggunaan stainless steel untuk produksi nampan Makan Bergizi Gratis. Namun, pemerintah justru mengimpor dari China di tengah bahan baku dalam negeri yang memadai.
“Meski kurang glamor dibandingkan EV dan baterai, manufaktur lokal berskala kecil yang berpusat pada stainless steel memiliki potensi pertumbuhan yang lebih besar karena melayani beragam sektor. Sehingga layak mendapatkan dukungan kebijakan industri,” papar dia.
Zuhdi menilai, kendala struktural juga menjadi tantangan industri EV menyerap nikel di Indonesia. Sebanyak 97 persen mobil dirakit di wilayah tempat mereka dijual. Alhasil, membatasi potensi ekspor EV yang signifikan.
“Terdapat batasan pasar yang berarti kecil kemungkinannya Indonesia dapat mengonversi lebih dari beberapa persen nikelnya menjadi EV atau baterai EV,” jelas Zuhdi.
Baca juga: Kemenaker: 104 Kecelakaan Kerja Terjadi di Smelter Nikel, SOP hingga K3 Masih Diabaikan
Oleh karenanya, ESI mendesak pemerintah menggarap hilirisasi nikel yang mengarah pada sektor metalurgi. Terlebih, Indonesia sudah memiliki keunggulan dan kompetensi yang realistis dalam industri tersebut.
“Indonesia dapat menciptakan peluang keberlanjutan tersendiri dengan mengembangkan merek-merek lokal yang menyasar konsumen, baik domestik maupun global, yang tidak keberatan membayar lebih untuk produk yang diproduksi secara bertanggung jawab," ucap dia.
Kebijakan industri juga seharusnya membantu mengembangkan ekosistem usaha kecil dan menengah lokal yang kompetitif untuk memproduksi barang stainless-steel. Sekaligus menghindari lompatan berlebihan ke produk yang bergantung pada desain dan kebijakan asing.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya