JAKARTA, KOMPAS.com - Biaya perluasan tanggung jawab produsen (extended producer responsibility/EPR) semakin mahal akibat kondisi persampahan di Indonesia yang tidak terkelola dengan baik. Biaya EPR bertambah untuk kegiatan memilih-memilah sampah yang dapat didaur ulang.
"Jadi, memang kalau kita buang sampah itu dijadikan satu, baik itu yang bisa didaur ulang atau tidak, sehingga hal tersebut sebetulnya sudah membuat harganya lebih mahal dalam konteks EPR karena sampah harus dipilah lagi," ujar Community Coordinator National Plastic Action Partnership, Bunga Karnisa Goib di Jakarta, Rabu (26/11/2025).
Kondisi persampahan di Indonesia berisiko merusak bahan baku untuk daur ulang karena tercampur dengan berbagai jenis limbah lainnya. Imbasnya, biaya EPR untuk mendaur ulang akan akan membengkak.
Baca juga: Sampah Jadi Energi, Namun Tata Kelola Masih Berantakan
Ini diperparah dengan kebiasaan masyarakat Indonesia membuang sampah sembarangan. Sampah yang hanyut ke sungai atau laut sudah sangat sulit untuk didaur ulang.
Infrastruktur untuk daur ulang sampah di Indonesia juga belum merata. Kata dia, infrastruktur untuk daur ulang sampah hanya terkonsentrasi di kota-kota Jawa.
"Beberapa waktu lalu, tim kami mengunjungi Raja Ampat, di sana banyak sampah yang bisa didaur ulang. (Tapi karena) Hampir semua pabrik untuk daur ulang itu ada di Jawa, akhirnya yasudah dibuang saja ke TPA (tempat pembuangan akhir). Untuk mengirim (sampah) dari Raja Ampat ke Jawa biayanya sangat mahal, enggak ke tutup," tutur Bunga.
General Manager Indonesia Packaging Recovery Organization (IPRO), Reza Andreanto mengatakan, kondisi geografis sebagai negara kepulauan menjadi tantangan berat dalam pengumpulan sampah untuk daur ulang di Tanah Air.
“Kita (mempunyai) 17 ribu pulau dan beberapa pulau-pulau besar atau kecil itu ranging geographical challenge-nya luar biasa. So then, paling tipikal sebagai challenge di Indonesia itu adalah collection cost. Itu yang paling tipikal bottleneck-nya itu di situ," ucapnya.
Untuk mengatasi mahalnya biaya tersebut, kata dia, perlu kontribusi dari industri melalui skema EPR dengan membangun infrastruktur maupun menyediakan insentif bagi upaya pengumpulan sampah. Ia berharap pemerintah menjadikan skema-skema tersebut sebagai mandatori berlandaskan peraturan melalui melalui Peraturan Presiden (Perpres) terkait pelaksanaan EPR yang dijadwalkan diterbitkan pada akhir tahun ini.
"Saat ini terkesan voluntary (sukarela) karena hanya industri itu-itu saja yang aktif. Tetapi, industri yang lain belum tentu komplit," ujar Reza.
Sementara itu, Director of Public Affairs, Communications and Sustainability The Coca-Cola Company Indonesia, Trijono Prijosoesilo menggarisbawahi pentingnya mengedukasi konsumen demi memudahkan pengumpulan sampah untuk daur ulang.
The Coca-Cola Company Indonesia, kata dia, mendorong konsumennya untuk mengantarkan botol-botol kemasan produknya ke pusat pengumpulan (Collection Center) yang sudah menjadi mitranya. The Coca-Cola Company Indonesia memberikan insentif atas pengumpulan sampah oleh konsumen, yang dikirimkan melalui e-wallet.
Baca juga: KLH: Indonesia Darurat Sampah, Tiap Tahun Ciptakan Bantar Gebang Baru
Selain itu, The Coca-Cola Company Indonesia juga mendesain kembali botol kemasan produk-produknya agar menjadi ramah daur ulang. “Kami mencoba mengurangi penggunaan plastik dari awal. Jadi, desainnya juga kami kelola,” tutur Trijono.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya