KOMPAS.com - Indonesia dinilai akan kesulitan menyeimbangkan target pertumbuhan ekonomi delapan persen dengan komitmen iklim dalam Perjanjian Paris, untuk membatasi kenaikan suhu global di bawah 1,5 derajat celsius.
Apalagi bila Indonesia mengejar target pertumbuhan ekonomi delapan persen dengan cara mengeksploitasi sumber daya alam (SDA).
Baca juga:
Koordinator Kebijakan Iklim, Institute for Essential Services Reform (IESR), Delima Ramadhani mengkhawatirkan cost of inaction (biaya tersembunyi) di balik ambisi pertumbuhan ekonomi delapan persen dengan mengeksploitasi SDA itu.
"Ada cost of inaction selama periode mencapai target ekonomi delapan persen dan itu akan dibayar kemudian. Kita tahu sendiri sekarang dengan banyaknya bencana, itu akan (menambah) biaya lagi ya," ujar Delima dalam webinar, Jumat (28/11/2025).
Delima memprediksi Indonesia akan mengeluarkan lebih banyak biaya untuk cost of inaction pada masa depan, termasuk bencana alam, jika masih mengeksploitasi SDA untuk mempertahankan energi fosil.
"Nanti, dampaknya kemungkinan akan sangat besar di masa depan. (Meski) Belum tahu juga (apakah Indonesia) juga bisa mencapai pertumbuhan ekonomi delapan persen atau tidak, (mengingat) semakin tidak terprediksinya cuaca yang mempengaruhi produksi pangan dan harga pangan, yang ini domino effect-nya akan tinggi," jelas Delima.
Di dalam dokumen iklimnya, Second Nationally Determined Contribution (SNDC), Indonesia sangat mengandalkan sektor kehutanan dan penggunaan lahan lainnya (Forestry and Other Land Uses atau FOLU) untuk menyerap karbon.
Baca juga: 10 Tahun Perjanjian Paris dan Katak dalam Panci Panas
Ilutrasi Gas Rumah Kaca yang Paling Banyak di Udara Di sisi lain, emisi gas rumah kaca (GRK) dari sektor energi, proses industri dan pemanfaatan produk (IPPU), serta limbah, justru diproyeksikan akan terus meningkat hingga tahun 2035.
Meski sektor IPPU dan limbah relatif stabil, emisi GRK dari energi diperkirakan akan terus naik karena erat kaitannya dengan pencapaian target pertumbuhan ekonomi delapan persen.
"Jika hutan ini (diasumsikan) tidak bisa menyerap (emisi GRK sesuai targetnya yang sangat besar), tidak bisa FOLU Net Sink, emisi (GRK) akan naik, setara dengan 98 persen untuk unconditional (tanpa syarat), (serta) 54 persen, dan 84 persen (untuk) conditionally (secara bersyarat) di atas level emisi GRK tahun 2019. Ini bukan tren yang ingin kita lihat jika Indonesia mau kompatibel dengan (Perjanjian) Paris," terang Delima.
Baca juga:
Sebelumnya, Chief Executive Officer (CEO) IESR, Fabby Tumiwa menganggap, mengandalkan sektor FOLU untuk menyerap emisi GRK merupakan skenario yang sangat berisiko.
Berkaca dari sejarah, tidak ada yang bisa menjamin hutan dan lahan di Indonesia tidak mengalami penurunan kapasitas penyerapan karbon akibat deforestasi.
"Siapa yang menjamin hutan tidak terjadi deforestasi? Pengalaman Indonesia tuh udah kelihatan banget. Misalnya ada moratorium, sebelumnya moratorium sawit ya, tapi lihat luasan sawit tetap juga. Kemudian, buka (hutan) di Merauke untuk food estate dua juta hektare. Nanti ada presiden baru, wah, saya mau buka hutan, siapa yang dijamin?" ujar Fabby.
Baca juga: Perjanjian Paris: Sejarah, Isi, dan Urgensinya
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya