Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Eksploitasi SDA Demi Ekonomi 8 Persen, Indonesia Bisa Keluarkan Biaya Lebih Menurut Pakar

Kompas.com, 1 Desember 2025, 10:39 WIB
Manda Firmansyah,
Ni Nyoman Wira Widyanti

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Indonesia dinilai akan kesulitan menyeimbangkan target pertumbuhan ekonomi delapan persen dengan komitmen iklim dalam Perjanjian Paris, untuk membatasi kenaikan suhu global di bawah 1,5 derajat celsius.

Apalagi bila Indonesia mengejar target pertumbuhan ekonomi delapan persen dengan cara mengeksploitasi sumber daya alam (SDA).

Baca juga:

Koordinator Kebijakan Iklim, Institute for Essential Services Reform (IESR), Delima Ramadhani mengkhawatirkan cost of inaction (biaya tersembunyi) di balik ambisi pertumbuhan ekonomi delapan persen dengan mengeksploitasi SDA itu.

"Ada cost of inaction selama periode mencapai target ekonomi delapan persen dan itu akan dibayar kemudian. Kita tahu sendiri sekarang dengan banyaknya bencana, itu akan (menambah) biaya lagi ya," ujar Delima dalam webinar, Jumat (28/11/2025).

Indonesia bisa keluarkan biaya lebih jika masih eksploitasi SDA

Delima memprediksi Indonesia akan mengeluarkan lebih banyak biaya untuk cost of inaction pada masa depan, termasuk bencana alam, jika masih mengeksploitasi SDA untuk mempertahankan energi fosil.

"Nanti, dampaknya kemungkinan akan sangat besar di masa depan. (Meski) Belum tahu juga (apakah Indonesia) juga bisa mencapai pertumbuhan ekonomi delapan persen atau tidak, (mengingat) semakin tidak terprediksinya cuaca yang mempengaruhi produksi pangan dan harga pangan, yang ini domino effect-nya akan tinggi," jelas Delima.

Di dalam dokumen iklimnya, Second Nationally Determined Contribution (SNDC), Indonesia sangat mengandalkan sektor kehutanan dan penggunaan lahan lainnya (Forestry and Other Land Uses atau FOLU) untuk menyerap karbon.

Baca juga: 10 Tahun Perjanjian Paris dan Katak dalam Panci Panas

Ilutrasi Gas Rumah Kaca yang Paling Banyak di Udara canva.com Ilutrasi Gas Rumah Kaca yang Paling Banyak di Udara 

Di sisi lain, emisi gas rumah kaca (GRK) dari sektor energi, proses industri dan pemanfaatan produk (IPPU), serta limbah, justru diproyeksikan akan terus meningkat hingga tahun 2035.

Meski sektor IPPU dan limbah relatif stabil, emisi GRK dari energi diperkirakan akan terus naik karena erat kaitannya dengan pencapaian target pertumbuhan ekonomi delapan persen.

"Jika hutan ini (diasumsikan) tidak bisa menyerap (emisi GRK sesuai targetnya yang sangat besar), tidak bisa FOLU Net Sink, emisi (GRK) akan naik, setara dengan 98 persen untuk unconditional (tanpa syarat), (serta) 54 persen, dan 84 persen (untuk) conditionally (secara bersyarat) di atas level emisi GRK tahun 2019. Ini bukan tren yang ingin kita lihat jika Indonesia mau kompatibel dengan (Perjanjian) Paris," terang Delima.

Baca juga:

Sebelumnya, Chief Executive Officer (CEO) IESR, Fabby Tumiwa menganggap, mengandalkan sektor FOLU untuk menyerap emisi GRK merupakan skenario yang sangat berisiko.

Berkaca dari sejarah, tidak ada yang bisa menjamin hutan dan lahan di Indonesia tidak mengalami penurunan kapasitas penyerapan karbon akibat deforestasi.

"Siapa yang menjamin hutan tidak terjadi deforestasi? Pengalaman Indonesia tuh udah kelihatan banget. Misalnya ada moratorium, sebelumnya moratorium sawit ya, tapi lihat luasan sawit tetap juga. Kemudian, buka (hutan) di Merauke untuk food estate dua juta hektare. Nanti ada presiden baru, wah, saya mau buka hutan, siapa yang dijamin?" ujar Fabby.

Baca juga: Perjanjian Paris: Sejarah, Isi, dan Urgensinya

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
IS2P Bekali Jurnalis untuk Olah Laporan Keberlanjutan dan Cegah Greenwashing
IS2P Bekali Jurnalis untuk Olah Laporan Keberlanjutan dan Cegah Greenwashing
LSM/Figur
Eksploitasi SDA Demi Ekonomi 8 Persen, Indonesia Bisa Keluarkan Biaya Lebih Menurut Pakar
Eksploitasi SDA Demi Ekonomi 8 Persen, Indonesia Bisa Keluarkan Biaya Lebih Menurut Pakar
LSM/Figur
Upaya Restorasi TN Tesso Nilo 31.000 Hektare, Cukupkah untuk Gajah?
Upaya Restorasi TN Tesso Nilo 31.000 Hektare, Cukupkah untuk Gajah?
Pemerintah
Banjir Sumatera dan Amanah Kolektif Menjaga Ruang Hidup
Banjir Sumatera dan Amanah Kolektif Menjaga Ruang Hidup
Pemerintah
Survei: 32 Persen CEO Indonesia Klaim Perusahaannya Terapkan Keberlanjutan
Survei: 32 Persen CEO Indonesia Klaim Perusahaannya Terapkan Keberlanjutan
Swasta
Kemenhut: Gelondongan Terbawa Banjir Berasal dari Pohon Lapuk dan Kemungkinan 'Illegal Logging'
Kemenhut: Gelondongan Terbawa Banjir Berasal dari Pohon Lapuk dan Kemungkinan "Illegal Logging"
Pemerintah
Ironi Banjir Besar di Sumatera, Saat Cuaca Ekstrem Bertemu Alih Fungsi Lahan
Ironi Banjir Besar di Sumatera, Saat Cuaca Ekstrem Bertemu Alih Fungsi Lahan
Pemerintah
ADB: Asia Perlu 1,7 Triliun Dollar AS Per Tahun untuk Respons Perubahan Iklim
ADB: Asia Perlu 1,7 Triliun Dollar AS Per Tahun untuk Respons Perubahan Iklim
LSM/Figur
Kemenhut Ancam Pidanakan Pihak yang Tak Serahkan Lahan TN Tesso Nilo
Kemenhut Ancam Pidanakan Pihak yang Tak Serahkan Lahan TN Tesso Nilo
Pemerintah
Kasus Campak Global Naik, 30 Juta Anak Tak Dapat Vaksin
Kasus Campak Global Naik, 30 Juta Anak Tak Dapat Vaksin
Pemerintah
Viral Kayu Gelondongan Hanyut Saat Banjir, Kemenhut Telusuri Asalnya
Viral Kayu Gelondongan Hanyut Saat Banjir, Kemenhut Telusuri Asalnya
Pemerintah
Menundukkan Etno-Egoisme dalam Perjuangan Ekologis
Menundukkan Etno-Egoisme dalam Perjuangan Ekologis
Pemerintah
Banjir di Sumatera, Tutupan Hutan Kian Berkurang akibat Alih Fungsi Lahan
Banjir di Sumatera, Tutupan Hutan Kian Berkurang akibat Alih Fungsi Lahan
Pemerintah
Ketimpangan Struktur Penguasaan Tanah jadi Akar Konflik Agraria di Indonesia
Ketimpangan Struktur Penguasaan Tanah jadi Akar Konflik Agraria di Indonesia
LSM/Figur
Pemerintah Diminta Revisi Peta Kawasan Hutan yang Sebabkan Konflik Agraria
Pemerintah Diminta Revisi Peta Kawasan Hutan yang Sebabkan Konflik Agraria
Pemerintah
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Memuat pilihan harga...
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau