Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Moh Samsul Arifin
Broadcaster Journalist

Sejak 2006 berkecimpung di dunia broadcast journalism, dari Liputan6 SCTV, ANTV dan Beritasatu TV. Terakhir menjadi produser eksekutif untuk program Indepth, NewsBuzz, Green Talk dan Fakta Data

10 Tahun Perjanjian Paris dan Katak dalam Panci Panas

Kompas.com - 16/05/2025, 14:16 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

TUJUH tahun sebelum Perjanjian Paris 2015, Thomas L. Friedman menerbitkan salah satu karya terbaiknya, "Hot, Flat and Crowded, Why We Need Green Revolution".

Dalam buku itu, Friedman mengurai tentang lima masalah pokok global yang telah mencapai titik kritis tak lama setelah tahun 2000.

Lima masalah itu meliputi pasokan dan permintaan energi, politik minyak, perubahan iklim, kemiskinan energi, serta hilangnya keanekaragaman hayati.

Menurut Friedman, di awal abad 21 itu, masalah energi dan iklim dunia telah masuk fase darurat. Peralihan abad dari 31 Desember 1999 ke 1 Januari 2000, disebutnya akan menandai zaman baru: Zaman Energi Iklim.

Sebuah zaman yang menurut Friedman datang dengan cara mengendap-endap, tapi merampas perhatian global karena kedaruratannya.

Pada 2008 itu, Friedman masih suram melukiskan respons manusia terhadap perubahan iklim. "Bertindak seperti katak yang ditaruh dalam panci berisi air di atas kompor, yang ketika temperaturnya dinaikkan sedikit demi sedikit setiap satu jam, sang katak tak pernah berpikir untuk melompat keluar."

Baca juga: Dua Sisi Gasifikasi Batu Bara

Sang katak terkurung dalam panci. Yang dilakukan katak itu hanya menyesuaikan diri sampai akhirnya air di dalam panci tadi mendidih dan membuat katak itu matang, lalu mati.

Apakah ilustrasi Friedman pada 2008 itu bakal menjadi cerita akhir sejarah manusia melawan perubahan iklim dan pemanasan global?

Bayang-bayang kelam dan murung akibat suhu bumi yang meledak tak terkendali juga digambarkan oleh David Wallace Wells dalam "Unhabitable Earth" (2019).

Friedman dan Wells adalah jurnalis yang sama-sama peduli pada kondisi bumi yang kian hari makin merana dan terpanggang.

Wells memperkirakan, jika di akhir abad nanti (2100), suhu rata-rata bumi melompat hingga tiga derajat celcius, maka sebagian pojok bumi tak akan dapat dihuni lagi oleh manusia.

Saat itu, bumi menjelma menjadi neraka yang tak layak untuk menopang kehidupan makhluk hidup.

Dunia hari ini, 25 tahun selepas tahun pertama Zaman Energi Iklim yang dimaksud oleh Friedman, tak sedang kembali ke zaman pra-revolusi industri abad 18. Dunia tetap rakus energi.

Badan Energi Internasional, IEA melaporkan, pada 2024 permintaan energi global meningkat 2,2 persen, hampir dua kali lipat permintaan rata-rata tahunan antara 2013-2023.

Lonjakan ini dikerek oleh konsumsi listrik yang melompat hampir 1.100 terawatt-jam (TWh) alias 1.100 triliun watt-jam.

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau