Sekilas, aturan ini terlihat sederhana, namun dibalik itu, terjadi tarik menarik kepentingan antara produsen dan konsumen. Banyak konsumen mengeluhkan bahwa mereka tidak diberi cukup pilihan atau waktu untuk beradaptasi dengan aturan yang diterapkan.
Di sisi lain, produsen dan pelaku usaha, terutama retail modern, merasa terbebani karena harus menyediakan kantong alternatif yang sering kali lebih mahal dan kurang praktis. Tidak sedikit yang akhirnya tetap menyediakan kantong plastik berbayar yang secara teknis melanggar kebijakan ini.
Dari sudut pandang konsumen, kebijakan ini dianggap memberatkan karena mereka harus membeli tas kain atau membawa tas belanja sendiri dari rumah atau membayar kantong plastik sekali pakai yang disediakan oleh produsen. Namun, dari sisi produsen dan toko, perubahan sistem ini memerlukan biaya tambahan untuk pengadaan kemasan ramah lingkungan maupun edukasi kepada masyarakat atau konsumen.
Buku Deborah Stone berjudul Policy Paradox, menjelaskan bahwa kebijakan bukan hanya soal data dan logika, tapi juga dipengaruhi oleh konflik nilai, simbol dan kekuasaan (Stone, 2012). Stone menyebutnya sebagai kebijakan yang kontradiksi, karena kebijakan terlihat logis dan adil justru menyimpan ketimpangan dan kekuasaan di baliknya.
Konteks penggunaan plastik sekali pakai di Jakarta, menunjukan sebuah kebijakan yang paradoks. Persoalan sampah plastik didefinisikan sebagai permasalahan yang disederhanakan, padahal sebenarnya persoalan sampah plastik sangat kompleks dari mulai proses produksi hingga pasca produksi.
Produsen yang terus memproduksi plastik sekali pakai justru tidak dipaksa bertanggung jawab. Seakan-akan larangan penggunaan kantong plastik sekali pakai dapat dengan mudah memberikan solusi atas persoalan sampah di Jakarta. Akibatnya, persoalan sampah plastik cenderung dibebankan pada konsumen, terutama pedagang kecil dan masyarakat miskin yang sulit mencari alternatif dari kebijakan ini.
Kebijakan ini terlihat seperti simbol, karena tanpa tindakan tegas pada produsen dan sistem pengelolaan sampah yang baik, masalah sampah plastik sulit teratasi. Selain itu, mereka yang paling berdampak, jarang dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan. Hingga akhirnya, kebijakan hanya menjadi simbol kepedulian tanpa menyentuh akar persoalan.
Melalui pendekatan Deborah Stone, dapat dipahami bahwa kebijakan larangan penggunaan kantong plastik sekali pakai bukan merupakan solusi untuk menjadikan lingkungan lebih baik, bahkan memunculkan paradoks, seperti masalah yang disederhanakan, penyebab utama yang diabaikan, produsen lepas tanggung jawab, dan konsumen disalahkan. Simbol lebih kuat dari substansi, sementara struktural diabaikan. Ada kecenderungan kelompok kecil menanggung lebih banyak.
Untuk keluar dari paradoks kebijakan ini, Jakarta perlu menguatkan regulasi terhadap produsen yang masih menggunakan plastik sekali pakai, menerapkan prinsip Extended Producer Responsibility (EPR) secara tegas, dan melibatkan publik dalam proses kebijakan, bukan sekedar menyalahkan perilaku individu yang konsumtif.
Selain itu, persoalan sampah harus dilihat dari kedua sisi antara produsen dan konsumen, sehingga persoalan lingkungan bukan hanya dilihat dari perilaku individu yang terkesan konsumtif, melainkan dari sisi produsen juga harus diperhatikan. Keduanya memiliki peran yang signifikan terhadap penumpukan sampah di Jakarta, yang menjadikan volume sampah terus meningkat hingga mencapai 7.500-7.800 ton perhari.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya