JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Lingkungan Hidup (LH), Hanif Faisol Nurofiq menilai, saat ini Indonesia masih sibuk mendesain aksi mitigasi krisis iklim dan terlalu fokus menyusun strategi untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK).
Padahal, saat ini Indonesia juga dihadapkan dengan ancaman peningkatan kasus bencana hidrometeorologi yang dipicu krisis iklim.
Baca juga:
"Kita masih sibuk melakukan langkah-langkah mitigasi krisis iklim. Sementara di depan kita, bencana hidrometeorologi menghampiri kita maka (perlu pula) melakukan adaptasi (krisis iklim) dengan sangat serius," ujar Hanif di Jakarta, Selasa (2/12/2025).
Indonesia saat ini dinilai belum siap menghadapi krisis iklim yang memperparah bencana hidrometeorologi.
Ketidaksiapan Indonesia tercermin dari penanganan beberapa bencana hidrometeorologi yang terjadi sepanjang tahun 2025. Di antaranya, banjir di Jabodetabek pada Maret 2025, banjir di Bali pada September 2025, dan banjir di Sumatera pada November 2025.
Baca juga: Kerugian Banjir Sumatera Capai Rp 68 T, Celios Desak Moratorium Tambang dan Sawit
Menteri Lingkungan Hidup, Hanif Faisol, ditemui di Jakarta Selatan, Selasa (28/10/2025). Hanif menggarisbawahi adanya kerusakan daerah aliran sungai (DAS) di balik setiap banjir bandang. Menurut Hanif, banjir bandang bukan sekadar disebabkan curah hujan yang tinggi. Misalnya, kerusakan DAS Batang Toru akibat alihfungsi lahan untuk hutan tanaman industri (HTI) dan perkebunan sawit mengakibatkan daya dukung lingkungannya berkurang.
Saat ini, wilayah hulu dari DAS Batang Toru dengan luas 340.000 hektar telah banyak dialihfungsikan untuk pertanian dengan tanaman yang membutuhkan sedikit atau banyak air. Yang tersisa hanya hutan pada kawasan hilir dari DAS Batang Toru.
Imbasnya, daerah-daerah di sekitar DAS Batang Toru menjadi rawan banjir bandang saat hujan mengguyur dengan intensitas sangat tinggi.
Baca juga: Kemenhut Bantah Tudingan Bupati Tapsel soal Beri Izin Penebangan Hutan Sebelum Banjir
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) melaporkan, curah hujan beberapa wilayah di Sumatera Utara sekitar 300-400 milimeter per hari selama kejadian banjir bandang.
"Kita coba bayangkan apa yang terjadi kalau di lereng-lerengnya tidak ada lagi hutan," ucap Hanif.
Upaya reboisasi atau penghijauan kembali hutan gundul di berbagai DAS membutuhkan waktu sekitar lima sampai 10 tahun. Di sisi lain, BMKG memprediksi curah hujan yang relatif tinggi akan terus mengguyur.
"Mari kita segera rumuskan langkah-langkah adaptasi apa yang tidak mengorbankan lagi orang-orang yang tidak mampu, tidak berdaya di negara kita ini karena keteteran kita bersama," tutur Hanif.
Baca juga:
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya