Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Muhammad Parikesit Wisnubroto
Dosen

Dosen Fakultas Pertanian, Universitas Andalas

Agroforestri Sawit: Jalan Tengah di Tengah Ancaman Banjir dan Krisis Ekosistem

Kompas.com, 5 Desember 2025, 20:28 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
Editor Wisnubrata

BANJIR bandang dan longsor yang terus terjadi di Sumatera seakan menjadi alarm nyata bahwa lanskap kita — terutama DAS (daerah aliran sungai) — sudah terlalu rapuh. Pembukaan hutan besar-besaran untuk perkebunan monokultur, termasuk sawit, telah melemahkan fungsi alam seperti retensi air, infiltrasi, dan penahan erosi.

Namun, menuding seluruh industri sawit sebagai sumber bencana — dan menyerukan pelarangan total — bukanlah solusi yang adil bagi jutaan petani dan pekerja. Di sinilah gagasan agroforestri sawit — sebagai jalan tengah — mendapat relevansi tinggi: mempertahankan produktivitas sekaligus memulihkan sebagian fungsi ekologis lanskap.

Baca juga: Jutaan Hektare Lahan Sawit di Sumatera Berada di Wilayah yang Tak Layak untuk Monokultur

Kenyataan Fisiologi: Sawit Butuh Cahaya Tinggi Tapi Bisa Dikelola

Sebagai tanaman tropis, kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) sangat bergantung pada intensitas cahaya. Penelitian fisiologi menunjukkan bahwa laju fotosintesis optimum — light-saturation point — bagi sawit bisa berada pada kisaran 700–1.000 µmol photon m-² s-¹ tergantung umur dan kondisi.

Artinya, bila kanopi pohon pelindung terlalu rapat sehingga memangkas paparan cahaya di bawah kisaran ini (misalnya menjadi 200–300 µmol photon m-² s-¹), maka laju fotosintesis akan terganggu yang pada akhirnya dapat menurunkan produktivitas tandan buah segar (TBS).

Sejumlah kajian internasional menunjukkan bahwa penambahan pohon di dalam lanskap kelapa sawit tidak otomatis menurunkan produksi TBS selama penataannya mengikuti prinsip ekologi cahaya.

Eksperimen besar tree-islands di Indonesia oleh Zemp et al. (2023) membuktikan bahwa pulau-pulau pohon asli yang ditempatkan pada 5–10% area kebun mampu meningkatkan biodiversitas dan fungsi ekosistem tanpa penurunan hasil sawit pada skala areal produksi, karena shading hanya terbatas lokal dan tidak mengurangi penerimaan cahaya mayoritas pokok sawit.

Studi Tropenbos (2021) dan panduan intercropping teknis serupa juga menunjukkan bahwa penanaman pohon berkanopi ringan—seperti sengon (Paraserianthes falcataria), gamal (Gliricidia sepium), atau lamtoro (Leucaena leucocephala)—dalam sistem jalur lebar (double-row alley) menjaga fraksi langit terbuka sehingga intensitas cahaya pada kanopi sawit tetap mendekati kondisi optimum.

Secara keseluruhan, literatur konsisten menunjukkan bahwa sistem agroforestri sawit dapat dirancang agar ekologis tanpa mengorbankan produktivitas—dengan syarat penempatan pohon tidak disebar merata, melainkan diklasterkan atau dijadikan jalur khusus, serta memilih spesies yang tidak menciptakan naungan berlebih.

Berdasarkan hal tersebut, agroforestri kelapa sawit sebenarnya bukan praktik yang merugikan apabila mempertimbangkan batas fisiologi dasar tanaman sawit, terutama kebutuhan cahaya untuk mempertahankan produktivitas TBS.

Kelapa sawit memiliki ambang toleransi naungan yang rendah; jika tajuk pohon campuran terlalu rapat atau terlalu tinggi sehingga menutup cahaya secara berlebihan, fotosintesis sawit akan turun dan produksi ikut merosot. Oleh karena itu, pemilihan spesies pohon yang memiliki tajuk ringan, tidak terlalu melebar, dan memiliki pola peredupan cahaya yang tidak ekstrem adalah kunci agar integrasi tanaman tambahan tidak mengganggu efisiensi fisiologis sawit.

Baca juga: Bencana Sumatera, Pakar Geofisika ITS: Hutan Alam di Gunung Harus Dikembalikan, Bukan Kelapa Sawit

Sawit, Karbon dan Oksigen

Akhir-akhir ini, argumen yang menyatakan bahwa sawit juga pohon, punya daun, sehingga bisa menghasilkan oksigen, sehingga tidak perlu khawatir akan deforestasi juga sangat memprihatinkan. Faktanya, kebun sawit memang menyerap CO2 dan mengeluarkan oksigen, namun tidak sebesar hutan.

Sebuah studi di Filipina memperkirakan rata-rata kebun sawit menyimpan sekitar 40,3 ton karbon per hektare (tC/ha) (Borbon et al., 2020). Namun jika dibandingkan dengan hutan alam tropis, angka ini menunjukkan keterbatasan nyata. Studi global menunjukkan hutan tropis memiliki stok karbon total (vegetasi + tanah) yang jauh lebih besar, bervariasi antara 80–300 tC/ha atau lebih, tergantung tipe dan umur hutan.

Itulah sebabnya banyak peneliti menolak klaim bahwa sawit bisa menggantikan fungsi hutan secara utuh. Dengan kata lain: ya, sawit bisa menyerap karbon dan berkontribusi pada suplai oksigen — tetapi nilai ekologis, keanekaragaman hayati, cadangan karbon jangka panjang, dan stabilitas ekosistem dari hutan alam jauh lebih tinggi. Maka, menjadikan sawit sebagai “hutan pengganti” adalah simplifikasi yang sangat berbahaya.

Baca juga: Mengapa Perkebunan Sawit Merusak Lingkungan?

BPS memiliki data perkebunan kelapa sawit di Sumatera, dengan jumlah luasan kebun sawit terbesar di Indonesia rangking pertama ditempati Riau.KOMPAS.COM/FIRMANSYAH BPS memiliki data perkebunan kelapa sawit di Sumatera, dengan jumlah luasan kebun sawit terbesar di Indonesia rangking pertama ditempati Riau.

Agroforestri Membantu Mengurangi Risiko Banjir dan Kerusakan Lanskap

Kini kita sadar bahwa krisis bukan hanya soal karbon — melainkan soal fungsi hidrologis dan stabilitas lanskap. Ketika hutan primer hilang, sistem akar kuat, humus tebal, dan struktur tanah kompleks ikut terkikis — membuat kawasan rawan longsor atau meluasnya limpasan saat hujan deras.

Adapun beberapa praktik dalam agroforestri sawit seperti “zona buffer riparian” – menanam pohon besar di tepi sungai pada perkebunan sawit– dan “tree-islands” – penanaman pohon yang tidak disebar merata/diklasterkan di kebun sawit – menawarkan beberapa solusi dalam membantu menahan aliran air yang deras, memperlambat run off, meningkatkan infiltrasi, serta memperkaya keanekaragaman mikrohabitat.

Sebuah studi konservasi di DAS Arui (Papua) oleh Mahmud (2023) menunjukkan bahwa skenario “mixed tree and oil palm plantations”, bersama praktik konservasi seperti mulsa dan pengurangan pembajakan, dapat secara signifikan mengurangi limpasan permukaan dan potensi banjir.

Baca juga: Deretan Konglomerat yang Merajai Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia

Jalan Tengah: Sinergi Produktivitas dan Kelestarian

Apabila kita hendak menegakkan model sawit yang lebih berkelanjutan — bukan dengan pelarangan tunggal, tetapi dengan regulasi, insentif, dan manajemen cermat — agroforestri bisa jadi “jalan tengah” yang layak. Dengan penataan spasial yang berhati-hati (jarak tanam, zona buffer, pilihan pohon pelengkap), produksi sawit dapat tetap berjalan; sekaligus lanskap mengembalikan sebagian fungsi ekologisnya.

Namun ini bukan solusi instan: dibutuhkan panduan teknis yang jelas, monitoring ketat, akses modal bagi petani, dan regulasi zonasi lahan — terutama melarang konversi hutan primer atau lahan gambut. Jika tanpa kontrol, maka agroforestri bisa hanyalah ‘pelangi di atas konflik ekologis’.

Baca juga: Hadapi Regulasi Anti-Deforestasi UE, Sawit dan Kayu Indonesia Dilacak hingga ke Kebunnya

Tidak Hitam-Putih,Tapi Harus Bijak

Agroforestri sawit bukan mimpi utopis, melainkan adaptasi pragmatis terhadap kenyataan Indonesia: kebutuhan ekonomi, tekanan demografi, dan krisis ekologis yang makin nyata. Bila dilakukan dengan perhitungan ilmiah (fisiologi tanaman, hidrologi, karbon, sosio-ekonomi), sawit bisa berada dalam lanskap yang lebih manusiawi — bukan eksploitasi semata.

Tetapi kita juga harus jujur: sawit bukan hutan. Ia tidak bisa menyamai hutan alam dalam hal keanekaragaman hayati, habitat spesies unik, atau stok karbon jangka panjang. Klaim bahwa sawit bisa mengganti hutan sepenuhnya sama absurdnya dengan klaim bahwa beton bisa menjadi tanah subur.

Jika kita benar-benar peduli pada masa depan — terhadap petani, ekosistem, dan generasi mendatang — maka kita harus berani memilih “jalan tengah”: bukan anti-sawit, tetapi sawit yang ditata dan dikelola dengan tanggung jawab ekologis. Inilah visi sawit masa depan — produktif, lestari, dan adil.

Baca juga: Agroforestri Efektif Jaga Biodiversitas Hutan Tropis, Gambut, Pesisir

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
SBTi Rilis Peta Jalan untuk Industri Kimia Global
SBTi Rilis Peta Jalan untuk Industri Kimia Global
Pemerintah
Bukan Murka Alam: Melacak Jejak Ecological Tech Crime di Balik Tenggelamnya Sumatra
Bukan Murka Alam: Melacak Jejak Ecological Tech Crime di Balik Tenggelamnya Sumatra
Pemerintah
Agroforestri Sawit: Jalan Tengah di Tengah Ancaman Banjir dan Krisis Ekosistem
Agroforestri Sawit: Jalan Tengah di Tengah Ancaman Banjir dan Krisis Ekosistem
Pemerintah
Survei FTSE Russell: Risiko Iklim Jadi Kekhawatiran Mayoritas Investor
Survei FTSE Russell: Risiko Iklim Jadi Kekhawatiran Mayoritas Investor
Swasta
Tuntaskan Program KMG-SMK, BNET Academy Dorong Penguatan Kompetensi Guru Vokasi
Tuntaskan Program KMG-SMK, BNET Academy Dorong Penguatan Kompetensi Guru Vokasi
Swasta
Harapan Baru, Peneliti Temukan Cara Hutan Tropis Beradaptasi dengan Iklim
Harapan Baru, Peneliti Temukan Cara Hutan Tropis Beradaptasi dengan Iklim
Pemerintah
Jutaan Hektare Lahan Sawit di Sumatera Berada di Wilayah yang Tak Layak untuk Monokultur
Jutaan Hektare Lahan Sawit di Sumatera Berada di Wilayah yang Tak Layak untuk Monokultur
LSM/Figur
Industri Olahraga Global Bisa Jadi Penggerak Konservasi Satwa Liar
Industri Olahraga Global Bisa Jadi Penggerak Konservasi Satwa Liar
Swasta
FAO: Perluasan Lahan Pertanian Tidak Lagi Memungkinkan
FAO: Perluasan Lahan Pertanian Tidak Lagi Memungkinkan
Pemerintah
Banjir Sumatera Disebabkan Kerusakan Hutan, Anggota DPR Ini Minta HGU Ditiadakan
Banjir Sumatera Disebabkan Kerusakan Hutan, Anggota DPR Ini Minta HGU Ditiadakan
Pemerintah
Pupuk Indonesia: Jangan Pertentangkan antara Pupuk Organik dan Kimia
Pupuk Indonesia: Jangan Pertentangkan antara Pupuk Organik dan Kimia
BUMN
PLN Kelebihan Pasokan, Proyek WtE Dikhawatirkan Hanya Bakar Uang
PLN Kelebihan Pasokan, Proyek WtE Dikhawatirkan Hanya Bakar Uang
LSM/Figur
Ekonomi Hijau Diprediksi Capai 7 Triliun Dolar AS per Tahun pada 2030
Ekonomi Hijau Diprediksi Capai 7 Triliun Dolar AS per Tahun pada 2030
Pemerintah
Skema Return dan Reuse Disebut Bisa Kurangi Polusi Plastik dalam 15 Tahun
Skema Return dan Reuse Disebut Bisa Kurangi Polusi Plastik dalam 15 Tahun
Pemerintah
Ketika Anak-anak Muda Mulai Berinisiatif untuk Lestarikan Lingkungan...
Ketika Anak-anak Muda Mulai Berinisiatif untuk Lestarikan Lingkungan...
LSM/Figur
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau