TRAGEDI banjir di Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara adalah bukti telanjang bahwa pembangunan Indonesia masih jauh dari prinsip keberlanjutan yang sesungguhnya.
Bencana ini menelan ratusan korban jiwa, merusak rumah, lahan pertanian, jaringan transportasi, dan infrastruktur dasar, sembari meninggalkan beban pemulihan yang mencapai Rp 6,28 triliun di Sumatera dan Rp 68,67 triliun secara nasional, sebagaimana diproyeksikan oleh Center of Economic Law Studies.
Di tengah duka, ada fakta yang lebih getir. Banjir ini bukan sekadar krisis hidrometeorologi, melainkan kegagalan ekologi yang bertahun-tahun kita bangun dengan izin yang longgar, pengawasan lemah, dan penegakan hukum setengah hati.
Di level makro, data memang tampak “cukup baik”. Sustainable Development Report (2025) memberi Indonesia skor indeks SDGs 70,22 — persentase perjalanan menuju target ideal 2030.
Posisi ini menempatkan Indonesia di peringkat 77 dari 167 negara secara global dan peringkat 4 di Asia Tenggara, tertinggal dari Thailand (75,34), Vietnam (73,35), dan Singapura (71,54).
Namun, angka agregat itu bekerja bak karpet tebal yang menutupi retakan fondasi. Dari 17 tujuan SDGs, hanya dua yang dinilai tercapai penuh, sementara 15 lainnya berada di zona “progress tidak cukup”.
Baca juga: Jejak Uang di Balik Banjir dan Longsor di Sumatera (Bagian I)
Maka, ketika hujan ekstrem turun di wilayah yang resapan hutannya rusak, skor 70,22 tak memberi pertolongan. Indeks itu menjadi mirage statistik, bukan cermin kesehatan pembangunan.
Alam tidak membaca laporan; ia membaca struktur tanah, tutupan hutan, dan disiplin kebijakan.
Banjir-banjir ini berbicara tentang satu kontekstur utama: hilangnya kemampuan ekosistem untuk menahan air.
Riset klasik The End of Nature (Bill McKibben, 1989) mengingatkan bahwa ketika manusia mengubah lanskap bumi secara masif — termasuk melalui deforestasi — fenomena alam tidak lagi dapat dikategorikan sebagai “murni alami”.
Ia menjadi hibrida antara gejala iklim dan tindakan manusia. Itu yang kita lihat di Sumatera.
Pembalakan liar, alih fungsi hutan untuk komoditas sawit, hingga izin tambang di wilayah hulu yang tidak mempertimbangkan daya dukung daerah aliran sungai (DAS) telah menghilangkan fungsi hutan sebagai sponge landscape (bentang-alam penyerap air).
Dalam buku Collapse: How Societies Choose to Fail or Succeed, Jared Diamond menegaskan bahwa peradaban tidak tumbang oleh satu pukulan besar, melainkan oleh keputusan buruk yang berulang dan dilembagakan.
Di Indonesia, keputusan itu sering bernama “izin”. Izin konsesi, izin pembukaan lahan, izin ekstraksi — yang masing-masing lolos satu per satu, tetapi dampak kumulatifnya hadir serentak, deras, dan mematikan.
Penelitian kontemporer seperti Global Forest Watch Report menegaskan bahwa kehilangan tutupan hutan di wilayah hulu berkorelasi kuat dengan peningkatan kejadian banjir bandang di Asia Tropis. Bukan karena banjir muncul, tetapi karena tidak ada lagi yang menahannya.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya