Agenda SDGs ke-15 soal ekosistem daratan dan SDGs ke-13 tentang aksi iklim memberi mandat terang: pembangunan tak boleh merampas fungsi ekologis yang menopang kehidupan.
Namun, jika capaian SDGs masih berkutat pada kemiskinan dan pendidikan saja, sementara sabuk supan penahan air di hulu rusak, maka kita sedang menepati rumah pembangunan di tepian jurang.
Baca juga: Galang Rp 10 Miliar Sehari: Efek Ferry Irwandi dan Kekuatan Pemuda
Kebijakan yang ecocidal di hulu hari ini sedang menunggu trigger iklim esok hari. Dan trigger itu, seperti terlihat di Sumatera, bisa datang kapan saja, hanya perlu hujan deras dan tanah telanjang.
Apa yang harus dilakukan? Kita butuh koreksi keras pada jantung tata-kelola.
Pertama, moratorium sementara izin tambang, konsesi sawit, dan aktivitas industri di wilayah hulu DAS hingga audit ekologis selesai dilakukan.
Moratorium ini bukan anti-investasi, melainkan risk equalization mechanism: menghentikan kerugian publik yang lebih besar dari keuntungan privat.
Kedua, menjadikan kewajiban pemulihan zona resapan, stabilisasi lereng, dan desain mitigasi banjir sebagai prasyarat non-negotiable untuk penerbitan atau perpanjangan izin, sebagaimana model Thailand dan Vietnam.
Ketiga, pembentukan Satuan Pengawasan Hulu-Hilir Lintas Provinsi yang memiliki kewenangan real-time enforcement, bukan menunggu laporan berkala yang sering “rapi di angka, berantakan di lapangan”.
SDGs tidak gagal sebagai agenda global. Ia gagal ketika hanya menjadi kosmetik dokumen nasional.
Banjir bandang, korban jiwa, dan kerugian triliunan rupiah bukan “takdir tropis”, tetapi tagihan kebijakan buruk yang dilembagakan.
Saatnya menjadikan keberlanjutan bukan sekadar skor indeks, tetapi desain kebijakan yang menyentuh tanah, sungai, dan hutan di hulu tempat tragedi bermula.
Jika agenda keberlanjutan tetap di atas kertas, tragedi serupa hanya akan berulang; bukan karena kita tidak tahu sebabnya, tetapi karena kita tidak berani mengubah izinnya.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya