Sementara itu, dalam buku This Changes Everything yang ditulis Naomi Klein, krisis iklim sejatinya adalah “krisis imajinasi kebijakan” — ketidakmampuan negara menempatkan batas ekologis sebagai batas ekonomi.
Indonesia, ironisnya, masih kerap menempatkan batas ekologis sebagai batas administratif, yang dapat digeser jika berkaitan dengan target PDB atau realisasi investasi.
Untuk memahami bagaimana keputusan tata-kelola menentukan nasib lingkungan dan ekonominya, kita perlu menengok perbandingan regional dan global.
Singapura, negara-kota dengan keterbatasan lahan hijau, menempatkan perencanaan ruang sebagai instrumen pertahanan negara.
Di sana, perlindungan zona resapan air dan sistem drainase tidak bertumpu pada sektor lingkungan saja, tetapi menjadi urusan fiskal, perumahan, dan keamanan nasional.
Studi Urban Climate Resilience Index (2023) oleh Centre for Liveable Cities menunjukkan bahwa Singapura mampu mengurangi kerugian banjir hingga 80 persen dalam sedekade karena manajemen drainase berbasis risiko, sensor pemantauan real-time, serta penataan wilayah hulu-hilir yang tidak bisa dinegosiasikan oleh pelaku industri.
Baca juga: Munafik Ekologis (Bagian I)
Vietnam memberi pelajaran berbeda, tetapi senada. Negara itu, menurut Mekong Delta Climate Adaptation Study (2022) dari Vietnam Academy of Social Sciences, menghentikan sementara izin industri di hulu Mekong ketika indeks risiko banjir dan kekeringan melonjak, dan mengalihkan investasi ke irigasi, sabuk mangrove, dan moratorium deforestasi di area kritis.
Thailand memasukkan pemulihan dan perlindungan DAS Chao Phraya sebagai National Agenda on Water Security sejak 2015, memaksa proyek swasta di wilayah hulu mengadopsi Ecological Impact Insurance Bond, di mana izin tidak aktif sampai jaminan pemulihan lingkungan disetor dan diverifikasi.
Bandingkan dengan Indonesia. Dari bencana ke bencana, kita masih berkutat pada respons hilir: mengirim bantuan logistik, mengevakuasi, membangun kembali. Siklusnya confiscatory: mengambil untung di hulu, membayar mahal di hilir.
Dalam banyak izin tambang dan konsesi sawit, kajian soil permeability, muatan sedimen, dan proyeksi limpasan air sering tidak menjadi parameter wajib.
Dalam beberapa kasus, area konsesi bahkan memotong langsung lereng hutan yang menjadi benteng penahan air, tanpa ada mekanisme pemulihan progresif.
Ketika terjadi pelanggaran, yang muncul sebagian besar adalah administrative penalty, bukan ecological restoration mandate. Denda pun nilainya jauh lebih rendah dari biaya kerusakan public goods yang ditimbulkan.
Dalam bukunya Guns, Germs, and Steel; Jared Diamond menekankan bahwa perbedaan nasib bangsa-bangsa bukan ditentukan oleh watak individunya, melainkan oleh desain sistemnya.
Dalam konteks tata-ruang dan pengelolaan air, yang membedakan negara tahan-banjir dan negara rentan-banjir adalah institusi yang menolak trade-off jangka pendek demi keselamatan jangka panjang.
SDGs hadir untuk menagih hal yang sama. Ia bukan checklist program, melainkan “standar sistem” tentang bagaimana negara mengelola planetary boundaries, keadilan sumber daya, serta keselamatan publik lintas generasi.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya