Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Agung Setiyo Wibowo
Author

Agung Setiyo Wibowo merupakan seorang Personal Branding Consultant, Career Coach & People Developer. Founder The Pandita Institute dan LinkedIn Hacks Academy ini kerap kali menjadi pembicara pada beragam topik di kota-kota populer di Asia-Pasifik seperti Jakarta, Singapura, Kuala Lumpur, Manila, Bangkok, Dubai, dan New Delhi.
Di masa mudanya, Agung pernah mendapatkan sejumlah penghargaan bergengsi seperti Global Change Maker, Young Leaders for Indonesia, ASEAN Blogger Ambassador, Spirit of Majapahit Cultural Ambassador dan Duta Paramadina. Profil dan pemikirannya pernah diliput di berbagai media tanah air dan luar negeri seperti The Japan Times, SEA Today, Kompas, Media Indonesia, Detik.com, Merdeka.com, TVRI, RRI, SmartFM, dan Jawa Pos TV.
Sebagai seorang Storyteller, Agung pernah menulis 100 buku pada beragam topik-khususnya manajemen, bisnis dan self-improvement. Secara berkala, ia membagikan pemikirannya melalui akun LinkedIn dan blog pribadinya: agungwibowo.com.

Saat Hutan Hilang, SDGs Tak Lagi Relevan

Kompas.com, 6 Desember 2025, 11:14 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

TRAGEDI banjir di Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara adalah bukti telanjang bahwa pembangunan Indonesia masih jauh dari prinsip keberlanjutan yang sesungguhnya.

Bencana ini menelan ratusan korban jiwa, merusak rumah, lahan pertanian, jaringan transportasi, dan infrastruktur dasar, sembari meninggalkan beban pemulihan yang mencapai Rp 6,28 triliun di Sumatera dan Rp 68,67 triliun secara nasional, sebagaimana diproyeksikan oleh Center of Economic Law Studies.

Di tengah duka, ada fakta yang lebih getir. Banjir ini bukan sekadar krisis hidrometeorologi, melainkan kegagalan ekologi yang bertahun-tahun kita bangun dengan izin yang longgar, pengawasan lemah, dan penegakan hukum setengah hati.

Di level makro, data memang tampak “cukup baik”. Sustainable Development Report (2025) memberi Indonesia skor indeks SDGs 70,22 — persentase perjalanan menuju target ideal 2030.

Posisi ini menempatkan Indonesia di peringkat 77 dari 167 negara secara global dan peringkat 4 di Asia Tenggara, tertinggal dari Thailand (75,34), Vietnam (73,35), dan Singapura (71,54).

Namun, angka agregat itu bekerja bak karpet tebal yang menutupi retakan fondasi. Dari 17 tujuan SDGs, hanya dua yang dinilai tercapai penuh, sementara 15 lainnya berada di zona “progress tidak cukup”.

Baca juga: Jejak Uang di Balik Banjir dan Longsor di Sumatera (Bagian I)

Maka, ketika hujan ekstrem turun di wilayah yang resapan hutannya rusak, skor 70,22 tak memberi pertolongan. Indeks itu menjadi mirage statistik, bukan cermin kesehatan pembangunan.

Alam tidak membaca laporan; ia membaca struktur tanah, tutupan hutan, dan disiplin kebijakan.

Banjir-banjir ini berbicara tentang satu kontekstur utama: hilangnya kemampuan ekosistem untuk menahan air.

Riset klasik The End of Nature (Bill McKibben, 1989) mengingatkan bahwa ketika manusia mengubah lanskap bumi secara masif — termasuk melalui deforestasi — fenomena alam tidak lagi dapat dikategorikan sebagai “murni alami”.

Ia menjadi hibrida antara gejala iklim dan tindakan manusia. Itu yang kita lihat di Sumatera.

Pembalakan liar, alih fungsi hutan untuk komoditas sawit, hingga izin tambang di wilayah hulu yang tidak mempertimbangkan daya dukung daerah aliran sungai (DAS) telah menghilangkan fungsi hutan sebagai sponge landscape (bentang-alam penyerap air).

Dalam buku Collapse: How Societies Choose to Fail or Succeed, Jared Diamond menegaskan bahwa peradaban tidak tumbang oleh satu pukulan besar, melainkan oleh keputusan buruk yang berulang dan dilembagakan.

Di Indonesia, keputusan itu sering bernama “izin”. Izin konsesi, izin pembukaan lahan, izin ekstraksi — yang masing-masing lolos satu per satu, tetapi dampak kumulatifnya hadir serentak, deras, dan mematikan.

Penelitian kontemporer seperti Global Forest Watch Report menegaskan bahwa kehilangan tutupan hutan di wilayah hulu berkorelasi kuat dengan peningkatan kejadian banjir bandang di Asia Tropis. Bukan karena banjir muncul, tetapi karena tidak ada lagi yang menahannya.

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
Saat Hutan Hilang, SDGs Tak Lagi Relevan
Saat Hutan Hilang, SDGs Tak Lagi Relevan
Pemerintah
Ekspansi Sawit Picu Banjir Sumatera, Mandatori B50 Perlu Dikaji Ulang
Ekspansi Sawit Picu Banjir Sumatera, Mandatori B50 Perlu Dikaji Ulang
LSM/Figur
SBTi Rilis Peta Jalan untuk Industri Kimia Global
SBTi Rilis Peta Jalan untuk Industri Kimia Global
Pemerintah
Bukan Murka Alam: Melacak Jejak Ecological Tech Crime di Balik Tenggelamnya Sumatra
Bukan Murka Alam: Melacak Jejak Ecological Tech Crime di Balik Tenggelamnya Sumatra
Pemerintah
Agroforestri Sawit: Jalan Tengah di Tengah Ancaman Banjir dan Krisis Ekosistem
Agroforestri Sawit: Jalan Tengah di Tengah Ancaman Banjir dan Krisis Ekosistem
Pemerintah
Survei FTSE Russell: Risiko Iklim Jadi Kekhawatiran Mayoritas Investor
Survei FTSE Russell: Risiko Iklim Jadi Kekhawatiran Mayoritas Investor
Swasta
Tuntaskan Program KMG-SMK, BNET Academy Dorong Penguatan Kompetensi Guru Vokasi
Tuntaskan Program KMG-SMK, BNET Academy Dorong Penguatan Kompetensi Guru Vokasi
Swasta
Harapan Baru, Peneliti Temukan Cara Hutan Tropis Beradaptasi dengan Iklim
Harapan Baru, Peneliti Temukan Cara Hutan Tropis Beradaptasi dengan Iklim
Pemerintah
Jutaan Hektare Lahan Sawit di Sumatera Berada di Wilayah yang Tak Layak untuk Monokultur
Jutaan Hektare Lahan Sawit di Sumatera Berada di Wilayah yang Tak Layak untuk Monokultur
LSM/Figur
Industri Olahraga Global Bisa Jadi Penggerak Konservasi Satwa Liar
Industri Olahraga Global Bisa Jadi Penggerak Konservasi Satwa Liar
Swasta
FAO: Perluasan Lahan Pertanian Tidak Lagi Memungkinkan
FAO: Perluasan Lahan Pertanian Tidak Lagi Memungkinkan
Pemerintah
Banjir Sumatera Disebabkan Kerusakan Hutan, Anggota DPR Ini Minta HGU Ditiadakan
Banjir Sumatera Disebabkan Kerusakan Hutan, Anggota DPR Ini Minta HGU Ditiadakan
Pemerintah
Pupuk Indonesia: Jangan Pertentangkan antara Pupuk Organik dan Kimia
Pupuk Indonesia: Jangan Pertentangkan antara Pupuk Organik dan Kimia
BUMN
PLN Kelebihan Pasokan, Proyek WtE Dikhawatirkan Hanya Bakar Uang
PLN Kelebihan Pasokan, Proyek WtE Dikhawatirkan Hanya Bakar Uang
LSM/Figur
Ekonomi Hijau Diprediksi Capai 7 Triliun Dolar AS per Tahun pada 2030
Ekonomi Hijau Diprediksi Capai 7 Triliun Dolar AS per Tahun pada 2030
Pemerintah
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau