Di sisi lain, tanaman sorgum lebih toleran terhadap kekeringan dan lahan kritis, seperti tanah masam atau salinitas, dibandingkan komoditas utama seperti padi atau jagung.
Dengan demikian, penanaman sorgum memungkinkan dengan pemanfaatan lahan-lahan tidur yang kurang produktif.
Sorgum memiliki siklus panen yang relatif pendek atau sektiar tiga sampai bulan. Sorgum juga mampu ratoon atau tumbuh kembali setelah panen tanpa menanam ulang dua sampai tiga kali, dengan memastikan ketersediaan bahan baku yang kontinu bagi industri.
Sinergi dari hulu ke hilir dalam mengoptimalkan potensi sorgum dapat meningkatkan produktivitas bahan baku etanol, sekaligus memperkuat ketahanan pangan dan pakan ternak. Sinergi tersebut juga berpotensi meningkatkan pendapatan petani.
Namun, kesenjangan pengetahuan petani dalam mengoptimalkan budi daya dan pemanfaatan potensi sorgum lebih parah daripada tanaman lain, seperti singkong dan tebu.
"Kenapa, karena petani tidak pernah di-upgrade, kalau tidak pernah di-upgrade ya susah, gap knowledge (kesenjangan pengetahuan) di tebu dan singkong besar, apalagi di sorgum, karena petani sudah berhenti puluhan tahun, petani masih menanam pada 1970-1980-an masih marak, karena (saat itu masih menjadi) produk alternatif pangan yang bisa menggantikan beras," jelasnya.
Baca juga:
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya