KOMPAS.com - Perubahan iklim dan pemanenan hutan di tanah berlereng, atau pengambilan kayu di area topografi curam, disebut sebagai penyebab utama bencana banjir di Aceh, Sumatera Utara (Sumut), dan Sumatera Barat (Sumbar).
Guru Besar Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan IPB University, Suwardi mengatakan, kontribusi perkebunan sawit terhadap banjir bandang tersebut tergolong rendah.
Baca juga:
"Jadi kalau penyebab banjir adalah kebun kelapa sawit pasti tidak tepat. Yang lebih penting diperhatikan, sawit tidak baik dibudidayakan pada wilayah yang berlereng curam. Di sini faktor lereng lebih dominan dibandingkan sawit," ujar Suwardi kepada Kompas.com, Selasa (9/12/2025).
Di sisi lain, tanah berwarna merah di Sumatera memiliki lapisan yang rentan terhadap erosi. Dalam soil taxonomy (taksonomi tanah), tanah berwarna merah di Sumatera termasuk Inceptisol, Ultisol, atau Oxisol.
"Jika curah hujan sangat besar dan tanah tidak bisa menyerap air maka akan tejadi air limpasan di atas permukaan tanah dan membawa serta tanah dan terjadi erosi. Pada tanah berlereng erosi akan terjadi lebih besar lagi," jelas Suwardi.
Menurut guru besar IPB, kontribusi perkebunan sawit terhadap bencana banjir di Sumatera tergolong sangat rendah. Mengapa?Menurut Suwardi, tanah dengan lapisan tipis dan solum dangkal mempunyai daya serap air yang kecil. Namun, tanah jenis tersebut masih aman jika curah hujan normal.
Jika tanah tersebut dalam keadaan terbuka atau tanpa tutupan vegetasi maka akan lebih rentan terhadap erosi dan memiliki kemampuan yang rendah dalam menyerap air.
Kalau tanah tersebut dalam kondisi tertutup vegetasi, seperti hutan, kelapa sawit, kopi, karet, atau pohon dari hutan tanaman industri (HTI), akan relatif aman terhadap banjir.
Baca juga: Ekspansi Sawit Picu Banjir Sumatera, Mandatori B50 Perlu Dikaji Ulang
Selain itu, kegiatan pemanfaatan lahan perlu mengacu pada kebijakan tata ruang yang sudah dibuat oleh pemerintah daerah (pemda). Penggunaannya harus didasarkan pada kemampuan dan kesesuaian lahan.
Prinsip penggunaan lahan, kata dia, adalah menjaga kawasan hulu dan sempadan sungai sebagai zona lindung, membatasi alih fungsi lahan pada daerah resapan dan dataran banjir, serta menerapkan tata ruang berbasis daya dukung lingkungan dengan pengendalian yang terpadu dari hulu hingga hilir.
Pengawasan penggunaan perubahan lahan harus dilakukan dengan ketat.
Baca juga: Banjir Sumatera Jadi Pelajaran, Kalimantan Utara Siapkan Regulasi Cegah Ekspansi Sawit
Menurut guru besar IPB, kontribusi perkebunan sawit terhadap bencana banjir di Sumatera tergolong sangat rendah. Mengapa?Suwardi mengkritik rencana Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, yang ingin mengembalikan lahan yang sudah ditanami sawit, menjadi hutan.
Rencana tersebut merupakan evaluasi atas banjir bandang yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat.
"Ngapain dihutankan lagi? Sawit pasti ada yang merawat hasilnya, enam juta per ha per tahun. Terus siapa yang mau menghutankan? Kalau mau menghutankan lebih baik pada tanah yang terbuka tidak bervegetasi," ucap Suwardi.
Baca juga: Konflik Agraria di Balik Banjir Sumatera, Mayoritas Disebut Dipicu Perkebunan Sawit
Sebelumnya, Manajer Kampanye Hutan dan Kebun WALHI, Uli Arta Siagian menilai, banjir bandang di Aceh, Sumut, dan Sumbar disebabkan infrastruktur ekologis di daratan, seperti hutan, sudah tidak mampu menahan daya rusak dari siklon tropis.
Kerapuhan infrastruktur ekologis di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat erat kaitannya dengan deforestasi.
Berdasarkan data WALHI, selama periode tahun 2016-2025, deforestasi di Aceh, Sumut, dan Sumbar mencapai 1,4 juta hektar.
Bahkan, banyak sekali izin usaha yang diberikan pemerintah untuk kegiatan pengelolaan sumber daya alam (SDA) di Pegunungan Bukit Barisan. Di antaranya sektor pertambangan, perkebunan sawit, dan proyek energi.
WALHI mencatat lebih dari 600 perusahaan di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat yang kegiatan eksploitasi SDA-nya memperparah kerapuhan infrastruktur ekologis.
"Jadi memang kebijakan-kebijakan nasional yang menargetkan pertumbuhan ekonomi delapan persen sebenarnya mempengaruhi kerentanan kita dan memicu krisis iklim semakin parah ya," ucap Uli dalam konferensi pers, Senin (1/12/2025).
Baca juga: Jutaan Hektare Lahan Sawit di Sumatera Berada di Wilayah yang Tak Layak untuk Monokultur
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya