Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Guru Besar IPB Sebut Tak Tepat Kebun Sawit Penyebab Banjir Sumatera

Kompas.com, 10 Desember 2025, 09:35 WIB
Manda Firmansyah,
Ni Nyoman Wira Widyanti

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Perubahan iklim dan pemanenan hutan di tanah berlereng, atau pengambilan kayu di area topografi curam, disebut sebagai penyebab utama bencana banjir di Aceh, Sumatera Utara (Sumut), dan Sumatera Barat (Sumbar).

Guru Besar Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan IPB University, Suwardi mengatakan, kontribusi perkebunan sawit terhadap banjir bandang tersebut tergolong rendah.

Baca juga:

"Jadi kalau penyebab banjir adalah kebun kelapa sawit pasti tidak tepat. Yang lebih penting diperhatikan, sawit tidak baik dibudidayakan pada wilayah yang berlereng curam. Di sini faktor lereng lebih dominan dibandingkan sawit," ujar Suwardi kepada Kompas.com, Selasa (9/12/2025).

Tanah di Sumatera disebut rentan erosi

Tanah sebaiknya dalam kondisi tertutup vegetasi

Di sisi lain, tanah berwarna merah di Sumatera memiliki lapisan yang rentan terhadap erosi. Dalam soil taxonomy (taksonomi tanah), tanah berwarna merah di Sumatera termasuk Inceptisol, Ultisol, atau Oxisol.

"Jika curah hujan sangat besar dan tanah tidak bisa menyerap air maka akan tejadi air limpasan di atas permukaan tanah dan membawa serta tanah dan terjadi erosi. Pada tanah berlereng erosi akan terjadi lebih besar lagi," jelas Suwardi.

Menurut guru besar IPB, kontribusi perkebunan sawit terhadap bencana banjir di Sumatera tergolong sangat rendah. Mengapa?Foto by wirestock on Freepik Menurut guru besar IPB, kontribusi perkebunan sawit terhadap bencana banjir di Sumatera tergolong sangat rendah. Mengapa?

Menurut Suwardi, tanah dengan lapisan tipis dan solum dangkal mempunyai daya serap air yang kecil. Namun, tanah jenis tersebut masih aman jika curah hujan normal.

Jika tanah tersebut dalam keadaan terbuka atau tanpa tutupan vegetasi maka akan lebih rentan terhadap erosi dan memiliki kemampuan yang rendah dalam menyerap air.

Kalau tanah tersebut dalam kondisi tertutup vegetasi, seperti hutan, kelapa sawit, kopi, karet, atau pohon dari hutan tanaman industri (HTI), akan relatif aman terhadap banjir.

Baca juga: Ekspansi Sawit Picu Banjir Sumatera, Mandatori B50 Perlu Dikaji Ulang

Selain itu, kegiatan pemanfaatan lahan perlu mengacu pada kebijakan tata ruang yang sudah dibuat oleh pemerintah daerah (pemda). Penggunaannya harus didasarkan pada kemampuan dan kesesuaian lahan.

Prinsip penggunaan lahan, kata dia, adalah menjaga kawasan hulu dan sempadan sungai sebagai zona lindung, membatasi alih fungsi lahan pada daerah resapan dan dataran banjir, serta menerapkan tata ruang berbasis daya dukung lingkungan dengan pengendalian yang terpadu dari hulu hingga hilir.

Pengawasan penggunaan perubahan lahan harus dilakukan dengan ketat.

Baca juga: Banjir Sumatera Jadi Pelajaran, Kalimantan Utara Siapkan Regulasi Cegah Ekspansi Sawit

Tanggapan rencana "menghutankan" lahan yang sudah ditanami sawit

Menurut guru besar IPB, kontribusi perkebunan sawit terhadap bencana banjir di Sumatera tergolong sangat rendah. Mengapa?canva.com Menurut guru besar IPB, kontribusi perkebunan sawit terhadap bencana banjir di Sumatera tergolong sangat rendah. Mengapa?

Suwardi mengkritik rencana Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, yang ingin mengembalikan lahan yang sudah ditanami sawit, menjadi hutan.

Rencana tersebut merupakan evaluasi atas banjir bandang yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat.

"Ngapain dihutankan lagi? Sawit pasti ada yang merawat hasilnya, enam juta per ha per tahun. Terus siapa yang mau menghutankan? Kalau mau menghutankan lebih baik pada tanah yang terbuka tidak bervegetasi," ucap Suwardi.

Baca juga: Konflik Agraria di Balik Banjir Sumatera, Mayoritas Disebut Dipicu Perkebunan Sawit

Sebelumnya, Manajer Kampanye Hutan dan Kebun WALHI, Uli Arta Siagian menilai, banjir bandang di Aceh, Sumut, dan Sumbar disebabkan infrastruktur ekologis di daratan, seperti hutan, sudah tidak mampu menahan daya rusak dari siklon tropis.

Kerapuhan infrastruktur ekologis di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat erat kaitannya dengan deforestasi.

Berdasarkan data WALHI, selama periode tahun 2016-2025, deforestasi di Aceh, Sumut, dan Sumbar mencapai 1,4 juta hektar.

Bahkan, banyak sekali izin usaha yang diberikan pemerintah untuk kegiatan pengelolaan sumber daya alam (SDA) di Pegunungan Bukit Barisan. Di antaranya sektor pertambangan, perkebunan sawit, dan proyek energi.

WALHI mencatat lebih dari 600 perusahaan di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat yang kegiatan eksploitasi SDA-nya memperparah kerapuhan infrastruktur ekologis.

"Jadi memang kebijakan-kebijakan nasional yang menargetkan pertumbuhan ekonomi delapan persen sebenarnya mempengaruhi kerentanan kita dan memicu krisis iklim semakin parah ya," ucap Uli dalam konferensi pers, Senin (1/12/2025).

Baca juga: Jutaan Hektare Lahan Sawit di Sumatera Berada di Wilayah yang Tak Layak untuk Monokultur

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
2025 Termasuk Tahun Paling Panas Sepanjang Sejarah, Mengapa?
2025 Termasuk Tahun Paling Panas Sepanjang Sejarah, Mengapa?
LSM/Figur
Jelajah Mangrove di Pulau Serangan Bali, Terancam Sampah dan Sedimentasi
Jelajah Mangrove di Pulau Serangan Bali, Terancam Sampah dan Sedimentasi
LSM/Figur
Guru Besar IPB Sebut Tak Tepat Kebun Sawit Penyebab Banjir Sumatera
Guru Besar IPB Sebut Tak Tepat Kebun Sawit Penyebab Banjir Sumatera
LSM/Figur
Perkuat Profesionalisme, AIIR Jadi Organisasi Profesi Investor Relations Pertama di Indonesia
Perkuat Profesionalisme, AIIR Jadi Organisasi Profesi Investor Relations Pertama di Indonesia
LSM/Figur
13 Perusahaan Dinilai Picu Banjir Sumatera, Walhi Desak Kemenhut Cabut Izinnya
13 Perusahaan Dinilai Picu Banjir Sumatera, Walhi Desak Kemenhut Cabut Izinnya
LSM/Figur
Agroforestri Karet di Kalimantan Barat Kian Tergerus karena Konversi Sawit
Agroforestri Karet di Kalimantan Barat Kian Tergerus karena Konversi Sawit
LSM/Figur
Perkebunan Sawit Tak Bisa Gantikan Hutan untuk Serap Karbon dan Cegah Banjir
Perkebunan Sawit Tak Bisa Gantikan Hutan untuk Serap Karbon dan Cegah Banjir
Pemerintah
Di Balik Kayu Gelondongan yang Terdampar
Di Balik Kayu Gelondongan yang Terdampar
LSM/Figur
Survei LinkedIn 2025 Sebut Permintaan Green Skills di Dunia Kerja Meningkat
Survei LinkedIn 2025 Sebut Permintaan Green Skills di Dunia Kerja Meningkat
Swasta
Menunda Net Zero Picu Gelombang Panas Ekstrem, Wilayah Dekat Khatulistiwa Paling Terdampak
Menunda Net Zero Picu Gelombang Panas Ekstrem, Wilayah Dekat Khatulistiwa Paling Terdampak
LSM/Figur
Guru Besar IPB Sebut Kebun Sawit di Sumatera Bisa Jadi Hutan Kembali
Guru Besar IPB Sebut Kebun Sawit di Sumatera Bisa Jadi Hutan Kembali
Pemerintah
Banjir Sumatera Jadi Pelajaran, Kalimantan Utara Siapkan Regulasi Cegah Ekspansi Sawit
Banjir Sumatera Jadi Pelajaran, Kalimantan Utara Siapkan Regulasi Cegah Ekspansi Sawit
Pemerintah
Panas Ekstrem Ganggu Perkembangan Belajar Anak Usia Dini
Panas Ekstrem Ganggu Perkembangan Belajar Anak Usia Dini
Pemerintah
Implementasi B10 Hemat Rp 100 T Per Tahun, Ini Strategi Pertamina agar Pasokan Stabil
Implementasi B10 Hemat Rp 100 T Per Tahun, Ini Strategi Pertamina agar Pasokan Stabil
BUMN
Genjot Pengumpulan Botol Plastik PET, Coca-Cola Indonesia Luncurkan Program “Recycle Me” 2025
Genjot Pengumpulan Botol Plastik PET, Coca-Cola Indonesia Luncurkan Program “Recycle Me” 2025
Swasta
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau