JAKARTA, KOMPAS.com - Anak-anak disabilitas memerlukan pendekatan khusus untuk mendukung kegiatan pembelajaran, karena mereka memiliki kebutuhan yang berbeda dari anak-anak non-disabilitas.
Hal itulah yang disadari oleh ilustrator dan peneliti visual Wenny Yosselina, yang kemudian mengembangkan pendekatan pembelajaran berbasis visual untuk anak-anak disabilitas.
Sebagai pengajar di Kelas Buku Anak ITB serta Art Therapy Centre (ATC) Widyatama Bandung, Wenny merancang ilustrasi yang digunakan sebagai media belajar, terapi, dan komunikasi.
Ia juga terlibat dalam program Art for Goods di Singapura, bekerja bersama seniman lintas negara untuk mendukung literasi visual anak disabilitas.
Baca juga: 50 Peserta Disabilitas Rampungkan Program Pelatihan BERSIAP 2025
Karya visual yang ia rancang dinilai mampu membantu anak-anak dengan autisme, low vision, serta disabilitas tuli memahami informasi dan mengekspresikan diri dengan lebih baik.
“Buku untuk anak berkebutuhan khusus mestinya didesain bersama mereka. Visual mereka lebih kuat dan bisa menjembatani komunikasi,” ujarnya dalam keterangan resmi pekan lalu.
Wenny menyebut banyak buku atau media belajar untuk anak berkebutuhan khusus yang beredar saat ini belum dirancang sesuai kebutuhan mereka. Padahal, menurut penelitian, anak disabilitas lebih mudah memahami pesan melalui visual dibandingkan bahasa verbal.
Pengalaman Wenny bermula pada 2016 saat ia membimbing anak-anak neurodivergen dalam tugas akhir studinya.
Neurodivergen, istilah non-medis untuk menggambarkan seseorang dengan cara kerja otak dan interaksi secara berbeda. Dalam kesan pertama Wenny, anak-anak ini kerap tak menanggapi si lawan bicara bahkan terkesan bandel.
Ia mendapati bahwa gambar merupakan alat komunikasi paling efektif untuk membantu mereka berinteraksi dan menyelesaikan tugas.
“Ketika diminta menggambar, mereka berusaha menyelesaikannya karena ingin membuat orang tua bangga. Visual berbicara lebih kuat dibanding verbal,” katanya.
Menurut Wenny, anak disabilitas memiliki kemampuan unik dalam mengoleksi aset visual di pikiran. Dari situ, terbentuklah bahasa visual yang membantu mereka memaknai bahasa verbal sehari-hari.
Baca juga: Bus Makin Modern tetapi Belum Inklusif, Perempuan dan Disabilitas Terpinggirkan
Karena itu, buku visual yang ia rancang menekankan ilustrasi jelas, fokus pada satu objek, warna lembut, dan latar yang tidak ramai agar tidak mengalihkan perhatian.
Namun kebutuhan visual tidak bisa diseragamkan. Untuk anak low vision, misalnya, diperlukan garis tebal serta kontras visual tinggi. Sementara buku digital memberi fleksibilitas desain namun memiliki risiko distraksi.
Keterlibatan Wenny dalam program internasional memperluas kontribusinya. Dalam project Adventures in the Symphony of Colours, ia bekerja sama dengan seniman Indonesia dan Singapura untuk menciptakan buku visual dan karya audio-visual bagi anak disabilitas yang menampilkan unsur budaya seperti wayang, batik, dan karakter harimau Sumatra.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya