Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com, 11 Desember 2025, 21:40 WIB
Aningtias Jatmika,
Sri Noviyanti

Tim Redaksi

 

JAKARTA, KOMPAS.com – Banjir bandang dan tanah longsor yang menerjang tiga provinsi di Sumatera, yakni Aceh, Sumatera Utara (Sumut), dan Sumatera Barat (Sumbar), pada akhir November 2025 bukan hanya merenggut hampir 1.000 jiwa dan menenggelamkan ribuan rumah.

Bencana itu juga menyisakan luka senyap yang kerap luput dibahas pada hari-hari awal krisis, yakni keselamatan perempuan.

Lebih dari dua minggu berlalu, sebagian wilayah yang terisolasi. Upaya penanganan pun masih terfokus pada kebutuhan dasar, seperti tenda, makanan, air bersih, layanan kesehatan darurat, dan evakuasi warga.

Namun, di balik hiruk-pikuk penyelamatan, ada risiko yang melekat dan tak kalah genting, yakni kerentanan perempuan terhadap kekerasan berbasis gender.

Situasi tersebut mengingatkan kembali pada pengalaman pascabencana likuefaksi Sulawesi Tengah, khususnya di Sigi, Palu, dan Donggala, pada 2018. Kala itu, minimnya pengawasan, tekanan psikososial, dan terbatasnya layanan membuka ruang terjadinya kekerasan berbasis gender di tengah pengungsian.

Pengalaman itulah yang ditegaskan oleh aktivis kemanusiaan, akademisi, sekaligus Programme Manager Yayasan Kerti Praja (YKP) Dinar Lubis ketika berbincang seusai Talk Show “Perempuan Tangguh, Kita Tangguh – Cerita dari Sulawesi Tengah dan Sekitarnya” di fX Sudirman, Jakarta, Jumat (5/12/2025).

“Banyak perempuan kehilangan ruang aman dan kendali terhadap lingkungan sekitarnya,” ujar Dinar.

Baca juga: Perempuan dan Anak Jadi Korban Ganda dalam Bencana Sumatera, Mengapa?

Untuk diketahui, acara yang digagas UN Women PBB itu digelar sebagai bagian dari peringatan 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (HAKTP) yang berlangsung mulai 25 November atau bertepatan dengan Hari Internasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan hingga 10 Desember atau bertepatan dengan Hari Hak Asasi Manusia (HAM).

Perempuan dalam situasi bencana

Menurut Dinar, hari-hari pertama pascabencana adalah periode paling kritis bagi perempuan. Ketika akses kebutuhan dasar terhambat, kecemasan kolektif meningkat.

Selain kehilangan kendali atas lingkungan sekitar, mereka juga kehilangan ruang aman, baik secara fisik maupun psikologis.

Dinar menjelaskan, dalam kondisi bencana, perilaku antisosial lebih mudah muncul, mulai dari konflik antarwarga, penjarahan, hingga kekerasan berbasis gender.

Pelaku memanfaatkan kekacauan dan minimnya pengawasan. Tak ayal, perempuan pun menjadi kelompok yang paling sering tidak terlihat dalam situasi darurat. Padahal, risiko yang mereka hadapi justru meningkat.

Kondisi banjir Sumatera memperlihatkan pola serupa. Banyak fasilitas kesehatan rusak atau tidak berfungsi. Di sisi lain, ibu hamil, pasien penyakit kronis, dan perempuan dengan kebutuhan kesehatan reproduksi (kespro) bergantung pada layanan tersebut.

Bagi perempuan dengan HIV, misalnya, keterlambatan mendapatkan obat dapat menimbulkan dampak serius. Begitu pula ibu hamil yang mendekati waktu persalinan.

“Keterlambatan layanan yang menyangkut kesehatan reproduksi bukan hanya soal medis. Ini juga bisa menjadi bentuk kekerasan struktural yang dampaknya panjang,” ucap Dinar.

Baca juga: RI dan UE Gelar Kampanye Bersama Lawan Kekerasan Digital terhadap Perempuan dan Anak

Pengalaman di Sulawesi Tengah menunjukkan bahwa isolasi dapat meningkatkan risiko kekerasan terhadap perempuan. Setelah gempa dan likuefaksi, banyak perempuan harus bertahan di tenda pengungsian tanpa penerangan memadai, tanpa sekat, dan tanpa ruang aman.

Pada masa itu, layanan kesehatan reproduksi baru bisa dihadirkan setelah 45 tenda kespro dan hampir 20 ruang ramah perempuan didirikan.

“Sebelum itu berdiri, banyak perempuan berada dalam situasi penuh ketidakpastian,” kenangnya.

Situasi Sumatera hari ini, menurut Dinar, menunjukkan potensi risiko serupa. Pengungsian padat, akses informasi terbatas, dan mekanisme pelaporan belum berjalan optimal.

Pelaku kekerasan pun sulit diidentifikasi, terlebih karena mereka sering kali bukan orang asing, melainkan individu yang memanfaatkan situasi rentan.

“Ini ancaman sunyi. Tidak terlihat, tetapi selalu hadir,” ujarnya.

Menurut Dinar, regulasi sebenarnya sudah cukup kuat, khususnya dalam Peraturan Menteri (Permen) Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Nomor 8 Tahun 2024 tentang Pelindungan Perempuan dan Anak dari Kekerasan Berbasis Gender dalam Penanggulangan Bencana.

Beleid itu mewajibkan adanya standar minimal pencegahan dan penanganan kekerasan berbasis gender (PPKPG) dalam respons bencana, mulai dari layanan 24 jam hingga keberadaan ruang ramah perempuan.



Proses evakuasi warga di Kampung Umang Isaq, Kecamatan Linge, Kabupaten Aceh Tengah, paska terjadinya bencana banjir bandang dan longsor di kawasan itu, karena hujan berturut-turut tanpa henti pada 25-28 November 2025.KOMPAS.COM/ IWAN BAHAGIA Proses evakuasi warga di Kampung Umang Isaq, Kecamatan Linge, Kabupaten Aceh Tengah, paska terjadinya bencana banjir bandang dan longsor di kawasan itu, karena hujan berturut-turut tanpa henti pada 25-28 November 2025.

Namun, tak dapat dimungkiri, implementasi di lapangan kerap “jauh panggang dari api”. Untuk itu, di tengah keterbatasan layanan formal, perempuan sering mengandalkan solidaritas sesama.

Baca juga: UN Women Peringatkan, Kekerasan Digital Berbasis AI Ancam Perempuan

Di beberapa pengungsian, Dinar mencontohkan, perempuan membentuk kelompok kecil untuk saling menjaga dan mengawasi pergerakan anak-anak. Strategi informal ini terbukti efektif meskipun tidak cukup untuk menggantikan mekanisme perlindungan yang ideal.

“Perempuan itu punya ketangguhan,” tegas dosen Departemen Kesehatan Masyarakat dan Kedokteran Pencegahan, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana, itu.

Bangun ruang aman dari hulu

Dinar menuturkan, perlindungan perempuan dalam bencana tak boleh dimulai ketika krisis telah terjadi. Kesiapsiagaan prabencana harus memasukkan perlindungan perempuan sebagai pilar utama, termasuk jalur pelaporan, rute evakuasi, dan mekanisme logistik alternatif.

“Kesiapsiagaan terhadap bencana bukan hanya (cara) punya tenda dan logistik, melainkan juga memastikan ada sistem untuk menjaga perempuan tetap aman,” ujarnya.

Dinas kesehatan di setiap daerah sebenarnya memiliki Paket Pelayanan Awal Minimum (PPAM) untuk kondisi darurat, termasuk perlindungan dari kekerasan seksual. Namun, tanpa sosialisasi masif, informasi ini tidak banyak diketahui masyarakat. Padahal, nomor layanan, tautan pelaporan, dan kontak bantuan psikososial dapat menyelamatkan nyawa.

“Sering sekali perempuan tidak sadar bahwa apa yang mereka alami adalah kekerasan. Mereka juga tidak tahu harus melapor ke mana,” kata Dinar.

Baca juga: Mendobrak Stigma, Menafsir Ulang Calon Arang lewat Suara Perempuan dari Panggung Palegongan Satua Calonarang

Di sisi lain, akar kerentanan perempuan sering terletak pada struktur sosial. Norma yang menempatkan perempuan sebagai pihak yang harus mengalah, keterbatasan pendidikan, dan kecenderungan terlalu percaya kepada orang lain membuat mereka sulit mengenali risiko.

Aktivis kemanusiaan, akademisi, dan Programme Manager Yayasan Kerti Praja (YKP) Dinar Lubis (dua dari kiri) dalam Talk Show bertajuk Perempuan Tangguh, Kita Tangguh - Cerita dari Sulawesi Tengah dan Sekitarnya di fX Sudirman, Jakarta, Jumat (5/12/2025). KOMPAS.com/ANINGTIAS JATMIKA Aktivis kemanusiaan, akademisi, dan Programme Manager Yayasan Kerti Praja (YKP) Dinar Lubis (dua dari kiri) dalam Talk Show bertajuk Perempuan Tangguh, Kita Tangguh - Cerita dari Sulawesi Tengah dan Sekitarnya di fX Sudirman, Jakarta, Jumat (5/12/2025).

Bagi Dinar, pemberdayaan bukan hanya soal mengajarkan keterampilan, melainkan juga membentuk daya kritis.

“Perempuan harus diberi ruang untuk belajar dan berpendapat. Ketika berdaya, mereka lebih siap menghadapi situasi krisis apa pun,” ucap dia.

Di tengah banjir Sumatera dan peringatan 16 HAKTP 2025, Dinar mengajak seluruh pihak untuk melihat kembali makna ruang aman. Ia menegaskan bahwa penguatan sistem tidak cukup jika perempuan tidak diberi ruang untuk berkembang.

“Perempuan harus belajar untuk berdaya. Untuk itu, mereka butuh ruang. Ruang untuk tumbuh, untuk belajar, untuk bersuara,” ujarnya.

Menurut Dinar, peringatan 16 HAKTP seyogianya dapat menjadi refleksi bahwa perlindungan perempuan dalam bencana bukan hanya urusan lembaga tertentu, melainkan tanggung jawab kolektif.

“Bencana banjir Sumatera menunjukkan betapa mudahnya ruang aman itu hilang ketika sistem tidak siap. Karena itu, setiap orang memiliki peran untuk mengembalikannya dengan memastikan perempuan terlihat, terdengar, dan terlindungi, baik di situasi darurat maupun setelahnya,” tegas dia.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
Adaptasi Perubahan Iklim, Studi Temukan Beruang Kutub Kembangkan DNA Unik
Adaptasi Perubahan Iklim, Studi Temukan Beruang Kutub Kembangkan DNA Unik
Pemerintah
Permintaan Meningkat Tajam, PBB Peringatkan Potensi Krisis Air
Permintaan Meningkat Tajam, PBB Peringatkan Potensi Krisis Air
Pemerintah
Bibit Siklon Tropis Terpantau, Hujan Lebat Diprediksi Landa Sejumlah Wilayah
Bibit Siklon Tropis Terpantau, Hujan Lebat Diprediksi Landa Sejumlah Wilayah
Pemerintah
Masyarakat Adat Terdampak Ekspansi Sawit, Sulit Jalankan Tradisi hingga Alami Kekerasan
Masyarakat Adat Terdampak Ekspansi Sawit, Sulit Jalankan Tradisi hingga Alami Kekerasan
LSM/Figur
Limbah Cair Sawit dari RI Diterima sebagai Bahan Bakar Pesawat Berkelanjutan
Limbah Cair Sawit dari RI Diterima sebagai Bahan Bakar Pesawat Berkelanjutan
LSM/Figur
BRIN Catat Level Keasaman Laut Paparan Sunda 2 Kali Lebih Cepat
BRIN Catat Level Keasaman Laut Paparan Sunda 2 Kali Lebih Cepat
Pemerintah
Belajar dari Sulawesi Tengah, Membaca Peran Perempuan Ketika Bencana Menguji
Belajar dari Sulawesi Tengah, Membaca Peran Perempuan Ketika Bencana Menguji
LSM/Figur
ILO Dorong Literasi Keuangan Untuk Perkuat UMKM dan Pekerja Informal Indonesia
ILO Dorong Literasi Keuangan Untuk Perkuat UMKM dan Pekerja Informal Indonesia
Pemerintah
ULM dan Unmul Berkolaborasi Berdayakan Warga Desa Penggalaman lewat Program Kosabangsa
ULM dan Unmul Berkolaborasi Berdayakan Warga Desa Penggalaman lewat Program Kosabangsa
Pemerintah
PLTS 1 MW per Desa Bisa Buka Akses Energi Murah, tapi Berpotensi Terganjal Dana
PLTS 1 MW per Desa Bisa Buka Akses Energi Murah, tapi Berpotensi Terganjal Dana
LSM/Figur
Bulu Babi di Spanyol Terancam Punah akibat Penyakit Misterius
Bulu Babi di Spanyol Terancam Punah akibat Penyakit Misterius
LSM/Figur
Studi Iklim 2024 Direvisi, tapi Prediksi Dampak Ekonomi Global Tetap Parah
Studi Iklim 2024 Direvisi, tapi Prediksi Dampak Ekonomi Global Tetap Parah
LSM/Figur
Kemenhut Hentikan Sementara Pengangkutan Kayu di Sumatera, Cegah Peredaran Ilegal
Kemenhut Hentikan Sementara Pengangkutan Kayu di Sumatera, Cegah Peredaran Ilegal
Pemerintah
Kukang dan Trenggiling Dilepasliar ke Hutan Batang Hari Jambi
Kukang dan Trenggiling Dilepasliar ke Hutan Batang Hari Jambi
Pemerintah
Cerita Usaha Kerupuk Sirip Ikan Tuna di Bali, Terhambat Cuaca Tak Tentu
Cerita Usaha Kerupuk Sirip Ikan Tuna di Bali, Terhambat Cuaca Tak Tentu
LSM/Figur
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau