Penulis
“Kalau kami tidak bertemu, ketakutan itu mengurung kami,” ujarnya.
Pertemuan kecil itu menjelma menjadi ruang penyembuhan,tempat perempuan saling menegakkan punggung.
Di Kulawi Moma, perempuan pernah memegang peran penting dalam adat. Jabatan Tina Ngata—pemimpin perempuan kampung—pernah menjadi pusat pengambilan keputusan. Namun perlahan hilang, tersisih oleh struktur yang lebih patriarkis.
Rukmini Paata Toheke menghidupkannya kembali. Ia memimpin musyawarah adat, merajut kembali keluarga yang retak oleh konflik, meninjau aturan waris yang merugikan perempuan, hingga terlibat dalam pencegahan pernikahan dini bagi perempuan di kampungnya.
Langkah Rukmini mungkin tampak kecil. Namun dalam masyarakat adat, satu perubahan dapat membuka jalan bagi generasi perempuan berikutnya.
Di Donggala, setelah tsunami menghancurkan rumahnya, Martince Baleona memilih berada di dapur umum untuk menjadi relawan.
Ia memasak dari pagi hingga malam, mencatat siapa yang belum mendapat makanan, memastikan tak ada yang terlewat.
“Kalau semua makan, saya ikut merasa hidup,” katanya.
Dapur umum bukan hanya perut komunitas,melainkan nadi sosial. Di sinilah, tempat orang mengukur kembali hari, berbagi kabar, dan menyusun keberanian.
Pengalaman perempuan Sulawesi Tengah mengajarkan bahwa kerentanan perempuan pada masa bencana bukan kebetulan, tetapi akibat dari beberapa faktor, yakni norma sosial yang meminggirkan perempuan, akses informasi dan sumber daya yang terbatas, beban domestik yang meningkat di situasi krisis, ketergantungan pada fasilitas publik yang sering kolaps saat bencana, dan minimnya representasi perempuan dalam pengambilan keputusan.
Ketika ruang publik melemah, ruang privat juga tidak aman. Ketika sistem perlindungan belum hadir, perempuan terpaksa menciptakan perlindungan sendiri.
Menurut aktivis kemanusiaan dan Manajer Program Yayasan Kerti Praja (YKP) Dinar Lubis, hari-hari pertama pascabencana adalah masa paling genting bagi perempuan.
“Perilaku antisosial bisa muncul kapan saja, mulai dari penjarahan, konflik, sampai kekerasan berbasis gender (KBG),” ujarnya kepada Kompas.com, Jumat.
Minimnya pengawasan membuka ruang bagi pelaku memanfaatkan situasi. Tanpa sekat, tanpa penerangan, tanpa mekanisme pelaporan, perempuan berada di garis paling rawan.
Dinar mencatat bahwa pada salah satu respons bencana yang pernah ia tangani, layanan kesehatan reproduksi (Kespro) baru berdiri setelah 45 hari.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya