Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Belajar dari Sulawesi Tengah, Membaca Peran Perempuan Ketika Bencana Menguji

Kompas.com, 12 Desember 2025, 23:18 WIB
Sri Noviyanti

Penulis

“Kalau kami tidak bertemu, ketakutan itu mengurung kami,” ujarnya.

Pertemuan kecil itu menjelma menjadi ruang penyembuhan,tempat perempuan saling menegakkan punggung.

Rukmini Paata Toheke

Di Kulawi Moma, perempuan pernah memegang peran penting dalam adat. Jabatan Tina Ngata—pemimpin perempuan kampung—pernah menjadi pusat pengambilan keputusan. Namun perlahan hilang, tersisih oleh struktur yang lebih patriarkis.

Rukmini Paata Toheke menghidupkannya kembali. Ia memimpin musyawarah adat, merajut kembali keluarga yang retak oleh konflik, meninjau aturan waris yang merugikan perempuan, hingga terlibat dalam pencegahan pernikahan dini bagi perempuan di kampungnya.

Langkah Rukmini mungkin tampak kecil. Namun dalam masyarakat adat, satu perubahan dapat membuka jalan bagi generasi perempuan berikutnya.

Martince Baleona

Di Donggala, setelah tsunami menghancurkan rumahnya, Martince Baleona memilih berada di dapur umum untuk menjadi relawan.

Ia memasak dari pagi hingga malam, mencatat siapa yang belum mendapat makanan, memastikan tak ada yang terlewat.

“Kalau semua makan, saya ikut merasa hidup,” katanya.

Dapur umum bukan hanya perut komunitas,melainkan nadi sosial. Di sinilah, tempat orang mengukur kembali hari, berbagi kabar, dan menyusun keberanian.

Mengapa perempuan yang paling rentan?

Pengalaman perempuan Sulawesi Tengah mengajarkan bahwa kerentanan perempuan pada masa bencana bukan kebetulan, tetapi akibat dari beberapa faktor, yakni norma sosial yang meminggirkan perempuan, akses informasi dan sumber daya yang terbatas, beban domestik yang meningkat di situasi krisis, ketergantungan pada fasilitas publik yang sering kolaps saat bencana, dan minimnya representasi perempuan dalam pengambilan keputusan.

Baca juga: Banjir Sumatera dan Ancaman Sunyi bagi Perempuan, Belajar dari Pengalaman dalam Bencana Likuefaksi di Sulawesi

Ketika ruang publik melemah, ruang privat juga tidak aman. Ketika sistem perlindungan belum hadir, perempuan terpaksa menciptakan perlindungan sendiri.

Menurut aktivis kemanusiaan dan Manajer Program Yayasan Kerti Praja (YKP) Dinar Lubis, hari-hari pertama pascabencana adalah masa paling genting bagi perempuan.

“Perilaku antisosial bisa muncul kapan saja, mulai dari penjarahan, konflik, sampai kekerasan berbasis gender (KBG),” ujarnya kepada Kompas.com, Jumat.

Minimnya pengawasan membuka ruang bagi pelaku memanfaatkan situasi. Tanpa sekat, tanpa penerangan, tanpa mekanisme pelaporan, perempuan berada di garis paling rawan.

Dinar mencatat bahwa pada salah satu respons bencana yang pernah ia tangani, layanan kesehatan reproduksi (Kespro) baru berdiri setelah 45 hari.

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
Menjaga Bumi Nusantara Melalui Kearifan Lokal
Menjaga Bumi Nusantara Melalui Kearifan Lokal
Pemerintah
Tingkatkan Produktivitas Lahan, IPB Latih Petani Kuasai Teknik Agroforestri
Tingkatkan Produktivitas Lahan, IPB Latih Petani Kuasai Teknik Agroforestri
Pemerintah
Desa Utak Atik di Serangan Bali Hadirkan Inovasi Lampu Nelayan hingga Teknologi Hijau
Desa Utak Atik di Serangan Bali Hadirkan Inovasi Lampu Nelayan hingga Teknologi Hijau
LSM/Figur
Pasca-Siklon Senyar, Ilmuwan Khawatir Populasi Orangutan Tapanuli Makin Terancam
Pasca-Siklon Senyar, Ilmuwan Khawatir Populasi Orangutan Tapanuli Makin Terancam
Pemerintah
Adaptasi Perubahan Iklim, Studi Temukan Beruang Kutub Kembangkan DNA Unik
Adaptasi Perubahan Iklim, Studi Temukan Beruang Kutub Kembangkan DNA Unik
Pemerintah
Permintaan Meningkat Tajam, PBB Peringatkan Potensi Krisis Air
Permintaan Meningkat Tajam, PBB Peringatkan Potensi Krisis Air
Pemerintah
Bibit Siklon Tropis Terpantau, Hujan Lebat Diprediksi Landa Sejumlah Wilayah
Bibit Siklon Tropis Terpantau, Hujan Lebat Diprediksi Landa Sejumlah Wilayah
Pemerintah
Masyarakat Adat Terdampak Ekspansi Sawit, Sulit Jalankan Tradisi hingga Alami Kekerasan
Masyarakat Adat Terdampak Ekspansi Sawit, Sulit Jalankan Tradisi hingga Alami Kekerasan
LSM/Figur
Limbah Cair Sawit dari RI Diterima sebagai Bahan Bakar Pesawat Berkelanjutan
Limbah Cair Sawit dari RI Diterima sebagai Bahan Bakar Pesawat Berkelanjutan
LSM/Figur
BRIN Catat Level Keasaman Laut Paparan Sunda 2 Kali Lebih Cepat
BRIN Catat Level Keasaman Laut Paparan Sunda 2 Kali Lebih Cepat
Pemerintah
Belajar dari Sulawesi Tengah, Membaca Peran Perempuan Ketika Bencana Menguji
Belajar dari Sulawesi Tengah, Membaca Peran Perempuan Ketika Bencana Menguji
LSM/Figur
ILO Dorong Literasi Keuangan Untuk Perkuat UMKM dan Pekerja Informal Indonesia
ILO Dorong Literasi Keuangan Untuk Perkuat UMKM dan Pekerja Informal Indonesia
Pemerintah
ULM dan Unmul Berkolaborasi Berdayakan Warga Desa Penggalaman lewat Program Kosabangsa
ULM dan Unmul Berkolaborasi Berdayakan Warga Desa Penggalaman lewat Program Kosabangsa
Pemerintah
PLTS 1 MW per Desa Bisa Buka Akses Energi Murah, tapi Berpotensi Terganjal Dana
PLTS 1 MW per Desa Bisa Buka Akses Energi Murah, tapi Berpotensi Terganjal Dana
LSM/Figur
Bulu Babi di Spanyol Terancam Punah akibat Penyakit Misterius
Bulu Babi di Spanyol Terancam Punah akibat Penyakit Misterius
LSM/Figur
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau