Penulis
“Keterlambatan layanan reproduksi bukan hanya soal medis. Ini bisa menjadi bentuk kekerasan struktural,” ujarnya.
Pengalaman Sulawesi Tengah menunjukkan pola yang sama, sebelum tenda Kespro dan ruang ramah perempuan berdiri, perempuan terombang-ambing dalam ketidakpastian.
Karena sistem formal lambat, perempuan membangun perlindungan informal. Mereka membentuk kelompok penjaga, saling mengantar ke MCK, menjaga anak-anak, hingga saling memperingatkan jika ada orang mencurigakan.
Menurut Dinar, pengalaman panjang perempuan di tengah krisis berlapis menjadi pengingat bahwa perlindungan perempuan tidak boleh dimulai saat bencana sudah terjadi.
Sebaliknya, rencana kesiapsiagaan harus memasukkan kebutuhan perempuan sejak awal, termasuk jalur evakuasi yang mempertimbangkan keselamatan perempuan dan anak, penerangan memadai di pengungsian, petugas terlatih perspektif gender, mekanisme pelaporan yang mudah diakses, hingga informasi layanan KBG yang ditempel di setiap tenda.
Regulasi sebenarnya sudah ada, yakni Peraturan Menteri (Permen) Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Nomor 8 Tahun 2024 tentang Pelindungan Perempuan dan Anak dari Kekerasan Berbasis Gender dalam Penanggulangan Bencana 2024 yang telah menetapkan standar minimal pencegahan dan penanganan kekerasan berbasis gender (PPKPG) dalam penanggulangan bencana, mulai dari layanan 24 jam hingga keberadaan ruang ramah perempuan. Namun, implementasinya belum merata.
Data Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) 2024 juga mengingatkan betapa gentingnya persoalan ini. Sebab, satu dari empat perempuan Indonesia usia 15–64 tahun pernah mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual.
Menurut Dinar, dinas kesehatan di setiap daerah sebenarnya memiliki Paket Pelayanan Awal Minimum (PPAM) untuk kondisi darurat, termasuk perlindungan dari kekerasan seksual. Namun, tanpa sosialisasi massif dan rutin, informasi ini jarang diketahui masyarakat.
“Padahal, nomor layanan yang di tempel di camp-camp pengungsian itu bisa menyelamatkan nyawa,” tegasnya.
Sayangnya, kata Dinar lagi, banyak pula perempuan tidak sadar bahwa yang mereka alami adalah kekerasan.
“Kalau pun sadar, mereka tidak tahu harus melapor ke mana. Itulah mengapa pemberdayaan bukan sekadar pelatihan, tetapi membangun kesadaran kritis,” ujarnya.
Dinar menyayangkan, norma kerap menempatkan perempuan sebagai pihak yang harus mengalah terhadap banyak hal. Terlebih, perempuan juga memiliki kecenderungan terlalu percaya kepada orang lain.
“Daya kritis mereka tak terasah dengan baik sehingga membuat mereka sulit mengenali risiko (saat dalam bahaya)," ujarnya.
Pada momen peringatan 16 HAKTP, Indonesia perlu belajar dari Sulawesi Tengah dengan memahami bahwa dalam negeri yang rawan bencana ini, kita tidak bisa lagi menempatkan perempuan di pinggir. Perempuan harus berada di pusat perencanaan, pusat pengambilan keputusan, dan pusat pemulihan.
Karena ketika perempuan dilindungi, komunitas selamat. Ketika perempuan diberdayakan, bencana bisa dihadapi dengan lebih manusiawi.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya