Artikel ini adalah kolom, seluruh isi dan opini merupakan pandangan pribadi penulis dan bukan cerminan sikap redaksi.
PERUBAHAN iklim global kini tidak lagi bersifat abstrak, melainkan hadir nyata dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Data BMKG menunjukkan bahwa pada tahun ini, suhu rata-rata permukaan bumi telah meningkat sekitar +1,42°C dibandingkan era praindustri.
Sebagai negara kepulauan dengan lebih dari 17 ribu pulau dan garis pantai sepanjang 108 ribu km, Indonesia berada di garis depan kerentanan iklim. Dampaknya terasa luas, banjir rob semakin sering melanda kawasan pesisir, desa-desa di pulau kecil perlahan terancam tenggelam, gelombang panas dan kebakaran hutan kian intens, sementara produksi pangan terganggu oleh cuaca ekstrem dan kekeringan berkepanjangan.
Kenaikan suhu udara tidak hanya memperburuk krisis lingkungan, tetapi juga mengancam ketahanan pangan dan keberlanjutan hidup masyarakat lokal. Di tengah ancaman tersebut, perbaikan lingkungan, perlindungan hutan dan lahan menjadi kunci, namun tekanannya masih besar.
Meski upaya rehabilitasi hutan dan lahan menunjukkan peningkatan, luas tutupan hutan secara keseluruhan tetap menyusut. Situasi ini menegaskan bahwa pendekatan konservasi konvensional belum cukup. Indonesia perlu melangkah lebih jauh dengan menggali dan mengintegrasikan kearifan lokal Nusantara, melalui praktik-praktik baik pengelolaan alam yang telah terbukti lestari oleh komunitas adat selama berabad-abad.
Baca juga: Nelayan Sumba Didorong Kelola Laut Berbasis Data dan Kearifan Lokal
Di berbagai penjuru Nusantara, masyarakat adat telah lama mengembangkan pola pengelolaan alam yang berkelanjutan dan selaras dengan lingkungan sekitarnya. Salah satu contoh paling dikenal adalah filosofi Tri Hita Karana di Bali, yang menekankan keseimbangan hubungan manusia dengan alam dan Tuhan.
Melalui Subak, air dipandang sebagai sumber kehidupan bersama, sehingga distribusinya diatur secara adil agar setiap petani memperoleh hak yang setara. Sistem ini tidak hanya mengairi sawah terasering, tetapi juga menumbuhkan rasa kebersamaan dan tanggung jawab kolektif. Lanskap sawah Jatiluwih menjadi simbol nyata keberhasilan kearifan lokal ini, hingga akhirnya diakui UNESCO sebagai Warisan Budaya Dunia pada 2012.
Pengakuan tersebut menegaskan bahwa Subak bukan sekadar sistem pertanian tradisional, melainkan fondasi pertanian berkelanjutan yang memperkuat ikatan sosial sekaligus menjaga kesuburan lahan.
Di luar Bali, kearifan serupa tumbuh dalam beragam bentuk sesuai dengan konteks ekologi dan budaya setempat. Di Maluku dan Papua, dikenal tradisi Sasi, yaitu aturan adat yang melarang sementara pemanfaatan sumber daya tertentu agar alam memiliki waktu untuk pulih. Di Kalimantan, masyarakat Dayak menerapkan Tana Ulen, kawasan hutan yang disakralkan dan hanya boleh dimanfaatkan dalam kondisi tertentu.
Praktik-praktik ini menunjukkan pemahaman mendalam masyarakat adat terhadap daya dukung alam serta pentingnya pembatasan eksploitasi demi keberlanjutan jangka panjang.
Contoh lain terlihat pada inovasi lokal yang memadukan pengelolaan air, pangan, dan mitigasi bencana. Beje di Kalimantan Tengah, misalnya, berfungsi sebagai kolam penangkap ikan sekaligus penahan air hujan di lahan gambut, yang juga membantu mencegah kebakaran hutan.
Di Toraja, sistem kuang memungkinkan sawah berfungsi ganda sebagai lahan tanam padi dan kolam ikan, sehingga petani memperoleh sumber pangan tambahan tanpa merusak ekosistem.
Sementara itu, masyarakat Baduy di Banten mengelola ladang berpindah melalui praktik ngahuru dan ngaduruk dengan aturan ketat, memastikan lahan diberi waktu istirahat agar kesuburannya pulih secara alami.
Beragam praktik tersebut, mulai dari Subak, Sasi, Tana Ulen, Beje, kuang, hingga ngahuru dan ngaduruk, bermuara pada prinsip yang sama, yaitu menghormati siklus alam dan mengutamakan kerja kolektif.
Melalui pendekatan komunal dan kontekstual, masyarakat adat tidak hanya menjaga keseimbangan ekosistem, tetapi juga memastikan sumber daya alam tetap produktif bagi generasi berikutnya. Kearifan lokal ini menjadi bukti bahwa keberlanjutan bukanlah konsep baru, melainkan pengetahuan hidup yang telah lama dipraktikkan di Nusantara.
Baca juga: Prabowo: Alam Harus Kita Jaga, Tidak Boleh Tebang Pohon Sembarangan
Kearifan lokal tidak berhenti sebagai nilai, tetapi diwujudkan nyata melalui pengelolaan wilayah adat. Saat ini, semakin banyak kawasan hutan yang ditetapkan sebagai hutan adat, hutan desa, dan skema perhutanan sosial, yang memberikan hak legal kepada masyarakat untuk mengatur dan merawat lahannya sendiri.
Pemerintah Indonesia menargetkan pengakuan sekitar 1,4 juta hektare hutan adat dalam empat tahun ke depan, dengan dukungan satuan tugas khusus yang dibentuk sejak Maret 2025 dan melibatkan NGO, akademisi, serta perwakilan masyarakat adat.
Langkah ini krusial, sebab berbagai kajian menunjukkan bahwa wilayah yang dikelola masyarakat adat cenderung lebih terjaga. Laporan World Resources Institute (WRI), misalnya, mencatat laju deforestasi di kawasan adat jauh lebih rendah dibandingkan wilayah di luar pengelolaan adat.
Pemberian hak kelola tersebut bukan hanya persoalan keadilan sosial, melainkan juga strategi penting mitigasi krisis iklim. Seperti ditegaskan oleh Kementerian Kehutanan, hutan tropis merupakan benteng iklim dunia, dan masyarakat adat adalah penjaga terdepan benteng tersebut. Karena itu, pengakuan perlu diikuti dengan dukungan konkret.
Pemerintah kini menyiapkan dua skema pendanaan pasca-pengakuan hutan adat, yakni hibah kelembagaan dan kredit perbankan berbunga rendah. Di saat yang sama, akses pasar bagi produk masyarakat adat diperluas melalui kerja sama dengan KADIN, sehingga hasil hutan dan pertanian adat dapat memiliki nilai ekonomi tanpa harus mengorbankan kelestarian hutan.
Di tingkat tapak, masyarakat adat juga bergerak aktif memperkuat ketahanan pangan dan konservasi secara mandiri. Di Riau, misalnya, pemuda adat Sakai menghidupkan kembali padi lokal buung dan tanaman buah melalui tradisi besolak atau gotong royong.
Inisiatif serupa tumbuh di banyak daerah melalui ekowisata berbasis komunitas, pertanian organik tradisional, gerakan konsumsi lokal, hingga kampanye pengurangan sampah. Semua praktik ini menunjukkan bahwa pengelolaan alam yang lestari tidak bertentangan dengan kemajuan, melainkan justru lahir dari perpaduan pengetahuan tradisional, inovasi, dan dukungan kebijakan.
Pendekatan tradisional tidak menjadi penghalang bagi masyarakat adat untuk memanfaatkan teknologi modern dalam upaya konservasi. Di berbagai wilayah, komunitas adat kini menggunakan pemetaan berbasis GPS untuk mendokumentasikan batas wilayah adat sekaligus mencegah perambahan hutan ilegal.
Pemanfaatan drone dan sensor lingkungan juga mulai berkembang untuk memantau kondisi hutan secara real time, sehingga keputusan pengelolaan sumber daya dapat dibuat secara lebih akurat dan berbasis data. Perpaduan antara pengetahuan lokal yang diwariskan turun-temurun dengan teknologi mutakhir ini menjadikan upaya perlindungan alam semakin efektif dan adaptif terhadap tantangan zaman.
Peran generasi muda adat semakin menonjol dalam gerakan lingkungan hidup. Banyak pemuda terlibat aktif dalam advokasi kebijakan, termasuk gugatan iklim sebagai bentuk kritik terhadap kebijakan publik yang abai terhadap masa depan ekologis.
Di tingkat lokal, praktik berkelanjutan juga tumbuh pesat, mulai dari gaya hidup minim sampah, riset energi terbarukan skala desa, hingga pendidikan lingkungan di sekolah-sekolah adat. Dalam proses ini, komunitas adat dan masyarakat perkotaan saling belajar, tradisi lokal diperkaya inovasi, sementara teknologi dan kampanye modern mendorong transformasi kebiasaan menuju pola hidup yang lebih hijau.
Baca juga: 20 Negara Paling Rawan Bencana Alam, Indonesia Nomor 2
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya