KOMPAS.com - Indonesia pernah dilanda siklon tropis seroja pada 2021 lalu. Namun, dalam kesiapsiagaan menghadapi bencana, Indonesia dinilai tidak pernah belajar dari pengalaman.
"Siklon tropis ini bukan hal baru, dari catatan media pada 2021 juga sudah terjadi, tapi kita tidak belajar ya. Kita sebagai bangsa ya tidak mencari satu atau dua kambing hitam," ujar peneliti Pusat Riset Kependudukan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Yanu Endar Prasetyo dalam webinar beberapa hari lalu.
Baca juga:
Berkaca dari pengalaman penanganan pandemi Covid-19, lanjut dia, semestinya Indonesia berbenah diri dengan lebih mendengarkan rekomendasi ilmuwan dalam menghadapi bencana.
Akan tetapi, kebijakan kebencanaan di Indonesia hampir tidak pernah berlandaskan hasil riset.
"Itu harus diakui karena buktinya kita gagal memitigasi atau mengantisipasi korban jiwa (banjir bandang di Sumatera) sebanyak itu, yang sudah mendekati angka 1.000," tutur Yanu.
Sebagai informasi, berdasarkan informasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) per Minggu (14/12/2025), bencana di Sumatera menelan korban hingga 1.016 jiwa, berdasarkan laporan Kompas.com, Senin (15/12/2025).
Foto udara kondisi sekitar jembatan darurat di Desa Aek Garoga, Kecamatan Batang Toru, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, Kamis (11/12/2025). Warga masih melintasi jembatan darurat dari batang kayu akibat jalan dan jembatan penghubung antara Kabupaten Tapanuli Selatan menuju Tapanuli Tengah-Sibolga serta Medan putus diterjang banjir bandang pada Selasa (29/11). Yanu mengkritik model pembangunan Indonesia yang meletakkan ekonomi sebagai "panglima", sedangkan ekologi menjadi sub-koordinat, atau diposisikan berada di bawah atau bergantung pada ekonomi sebagai "panglima".
Ia berharap, posisi ekonomi dan ekologi bisa seimbang dalam pembangunan Indonesia.
"Sehingga, manusia di dalamnya tumbuh bersama-sama, tidak menjadi korban. Tetapi, karena ekonomi menjadi panglima, dan ekologi menjadi sub-koordinat, maka yang terjadi adalah yang kita lihat hari ini," ucapnya.
Menurut Yanu, bangsa Indonesia memiliki karakteristik pelupa, pemaaf, dan penyabar (3P). Ia khawatir banjir bandang di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat menghilang dari perhatian bangsa Indonesia dalam tiga bulan ke depan.
Apalagi, fatalisme atau keyakinan bahwa semua peristima telah ditentukan oleh takdir masih berakar kuat dalam masyarakat Indonesia.
"Dari sisi masyarakatnya, fatalism, intinya semuanya diserahkan kepada Tuhan dan mungkin sains nomor sekian, dari sisi pengambil kebijakannya, panglimanya adalah ekonomi dan tidak mendengarkan ilmuwan," ujar Yanu.
Baca juga:
Gubernur Aceh Muzakir Manaf atau yang akrab disapa Mualem memperpanjang status tanggap darurat di Aceh hingga 25 Desember 2025.Menurut Yani, bencana dapat dilihat dari konteks krisis politik, administrasi, dan kependudukan.
Di tengah keterbatasan kapasitas anggaran dan ruang gerak pemerintah daerah, politik bencana mewarnai penentuan dari siapa yang perlu ditolong, kapan harus menolong, hingga apa proritas dalam tanggap darurat.
Ia menganggap persoalan kepemimpinan kepala daerah turut berdampak dalam penanganan banjir bandang di Sumatera. Ia menyesalkan hanya Gubernur Aceh yang mewarnai pemberitaan sebagai upaya mencari atensi dan mendatangkan bantuan.
"Bagaimana Gubernur Aceh mampu meng-counter narasi dari Jakarta, bagaimana dia berdiri paling depan memastikan rakyatnya mempunyai pemimpin, karena ada juga kepala daerah yang memilih umrah daripada membersamai rakyatnya. Artinya, (dampak) bencana itu menjadi berlipat-lipat ketika tidak ada kapasitas kepemimpinan dan anggaran," jelas Yanu.
Baca juga:
Masjid di asrama putra Pondok Pesantren Darul Mukhlisin Aceh Tamiang masih berdiri kokoh di antaranya tumpukan kayu yang terbawa arus banjir dan tanah longsor, Jumat (13/12/2025).Perubahan pola sirkulasi atmosfer dan peningkatan suhu muka laut akibat krisis iklim telah menciptakan kondisi yang merangsang terbentuknya siklon tropis berskala menengah hingga sedang sudah terjadi sejak 1980-an.
Di sisi lain, melalui permodelan cuaca, potensi kemunculan siklon tropis sebenarnya dapat terdeteksi beberapa hari hingga bulan sebelumnya.
Peneliti Pusat Riset Iklim dan Cuaca Ekstrem BRIN, Erma Yulihastin mengatakan, pihaknya telah mengembangkan berbagai perangkat preidksi cuaca dan iklim untuk menangkap sinyal awal penguatan hujan maupun angin ekstrem.
Sayangnya, upaya mengoptimalkan pemanfaatan hasil prediksi tersebut dalam sistem mitigasi dan kesiapsiagaan masih menjadi tantangan berat di Indonesia.
"Peringatan dini menjadi kunci utama untuk menekan risiko korban jiwa dan kerusakan. Tantangannya adalah memastikan informasi tersebut dapat ditindaklanjuti secara cepat dan tepat," ujar Erma.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya