KOMPAS.com - Indonesia dikabarkan menolak bantuan asing untuk korban banjir di Sumatera, sekaligus belum menetapkan status bencana nasional.
Konsultan Trisakti Sustainability Center, Leonard Tiopan Panjaitan mengkritik apapun alasan di balik kebijakan tersebut. Sebab, menurutnya hal itu mengabaikan kebutuhan korban banjir bandang yang sangat mendesak.
Baca juga:
"Cuman kan sekarang yang jadi masalahnya adalah menolak internasional, betul enggak? Ya, tidak mau dijadikan bencana nasional, ada apa sebenarnya? Karena gengsi doang, (atau) nasionalisme yang berlebihan. Padahal, rakyat membutuhkan makan, pakaian, dan obat-obatan dalam sekejap," ujar Leonard dalam webinar, Sabtu (20/12/2025).
Semestinya, ia menambahkan, Pemerintah Indonesia membuka ruang bagi negara lain untuk menyalurkan dana bantuan penanganan banjir bandang di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat.
Apalagi, negara-negara tersebut memiliki infrastruktur yang canggih dan memadai dalam pemetaan lokasi terdampak bencana dan pengiriman bantuan.
"Kalau secara politik boleh menolak bantuan internasional, tetapi secara kerakyatan, kebutuhan hidup sehari-hari, kan mereka enggak bisa menunggu mereka. Gunakan tangan-tangan asing itu yang memiliki jaringan maupun peralatan-peralatan canggih," tutur Leonard.
Baca juga:
Petugas Kementerian Kehutanan dan Dinas Kehutanan Provinsi Aceh mengambil sampel kayu gelondongan yang terbawa arus luapan Sungai Tamiang, di area pasantren Islam Terpadu Darul Mukhlishin, Desa Tanjung Karang, Aceh Tamiang, Aceh, Jumat (19/12/2025). Kemenhut telah mengirim tim verifikasi dan membentuk tim investigasi gabungan bersama Polri untuk menelusuri asal-usul kayu gelondongan yang ditemukan pascabencana banjir di Sumatera Barat, Sumatera Utara dan Provinsi Aceh. Menurut Leonard, dugaan alasan-alasan penolakan bantuan dari beberapa negara luar, serta belum ditetapkannya status bencana nasional tersebut merupakan kelemahan dari sistem komando dalam kepemimpinan di Indonesia.
Ia menganggap bahwa sistem komando tersebut sebenarnya bisa dimanfaatkan untuk penanganan pasca-bencana jika pemimpinnya memahami permasalahan, dampak, dan solusi yang tepat.
Tidak hanya itu, Indonesia dinilai perlu segera menerapkan prinsip-prinsip environmental, social, and governance (ESG) secara radikal dan terukur sebagai tanggapan atas bencana banjir bandang di Sumatera.
Ia memprediksi tahun 2026 akan menjadi "neraka bencana". Hal ini mengingat penyusutan kawasan hutan kerap beriringan dengan membesarnya risiko bencana.
Leonard juga mengingatkan sektor perbankan untuk tidak membiayai berbagai proyek perusak alam dan lingkungan, yang biasanya mampu meraih keuntungan dalam jangka pendek.
Ekonomi linier yang bersifat ekstrakif, eksploitatif, dan tidak berkelanjutan dinilai masih menjadi urat nadi perekonomian Indonesia saat ini.
Baca juga: Gelondong Bernomor Di Banjir Sumatera
Foto udara kondisi jalan yang putus akibat banjir bandang di Desa Aek Garoga, Kecamatan Batang Toru, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, Minggu (30/11/2025). Bencana banjir bandang yang terjadi pada Selasa (25/11) lalu menyebabkan rumah warga rusak, kendaraan hancur, jalan dan jembatan putus.Sebagai lawan strategisnya, ekonomi sirkuler sangat penting untuk diarusutamakan di Indonesia. Namun, implementasinya di lapangan terhambat berbagai kepentingan ekonomi politik.
"Circular (economy), renewable energy (energi terbarukan), bahkan SNDC (Second Nationally Determined Contribution) semua jargon-jargonnya hebat. Cuman kan pelaksanaannya kalah sama uang, sama godaan uang, sama ambisi kekuasaan, ya, oligarki, akhirnya memperkosa alam. Ya, itu tidak bisa lagi karena alam sudah, sudah keras ini," jelas Leonard.
Sebagai informasi, dilaporkan oleh Kompas.com, Jumat (19/12/2025), sebelumnya sudah ada beberapa penjelasan di balik penolakan Indonesia terhadap bantuan asing.
Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian mengklarifikasi pernyataannya terkait bantuan dari Malaysia. Dalam sebuah podcast, Tito menyebut bantuan medis yang dikirim dari Malaysia senilai kurang Rp 1 miliar tidak seberapa dibandingkan dengan sumber daya penanggulangan bencana yang dilakukan Indonesia.
"Saya ingin mengklarifikasi apa yang saya jelaskan pada saat podcast saya dengan Pak Helmy Yahya. Jadi saya sama sekali tidak bermaksud untuk mengecilkan dukungan bantuan dari saudara-saudara kita yang dari Malaysia. Sama sekali tidak bermaksud itu ya," ucap Tito.
Sementara itu, Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution merespons dikembalikannya bantuan 30 ton beras dari Uni Emirat Arab (UEA) untuk korban banjir di Kota Medan.
"Nah, kemarin Pak Wali sudah menerima secara langsung. Nanti kita akan cek. Kalau ini Government to Government (G2G), tentunya baiknya negara ke negara ya. Biar negara nanti yang membagikan. Artinya apakah nanti memang seluruhnya untuk Sumut (Sumatera Utara). Apakah ada untuk Aceh, Sumbar (Sumatera Barat), biar pemerintah pusat," ucap Bobby, dilaporkan oleh Kompas.com, Jumat (19/12/2025).
Baca juga:
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya