JAKARTA, KOMPAS.com - Bencana banjir di Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Aceh dinilai mirip seperti konflik agraria, menurut Sekretaris Majelis Pakar Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Iwan Nurdin.
Bencana yang merenggut nyawa 1.059 orang itu disebut sebagai respons alam terhadap kerusakan lingkungan akibat eksploitasi berlebihan. Sementara itu, pada konflik agraria, masyarakat menanggapi perampasan atas tanah mereka.
Baca juga:
Kedua hal tersebut memiliki akar yang sama yaitu praktik-praktik yang merugikan lingkungan dan masyarakat.
"Bencana alam itu kayak konflik agraria. Konflik agraria itu kan kita semua ini merespon. Ada tanah milik kita, perladangan kita, diberikan kepada HGU (hak guna usaha), kita respon, makanya konflik. Kalau banjir kemarin itu, alam yang respon," kata Nurdin di Jakarta, Jumat (19/12/2025).
Ia mengkritik tanggapan negara terhadap kerusakan lingkungan di balik banjir bandang yang sering kali terkesan bersifat normatif dan mengabaikan akar masalah.
Hal itu mencerminkan penanganan yang tidak efektif dan kurangnya tanggung jawab terhadap kerusakan lingkungan.
"Kenapa bisa ada kayu-kayu gelondongan di hulu-hulu itu terbawa itu? Ya, karena ada kekuasaan, nasib (kawasan) hulu-hulu itu ditebang. Sama dengan HGU-HGU itu ada kekuasaan, nasib tanah-tanah kita kok dijadikan HGU. Jadi statusnya itu sama, beda hanya yang disoalkan itu," jelas Nurdin.
Menurut Nurdi, kesejahteraan masyarakat tidak akan dapat terwujud jika alam dalam keadaan rusak. Keberlanjutan ekologis menjadi kunci untuk kesejahteraan masyarakat yang berkelanjutan.
"Tidak ada orang bisa bicara kesejahteraan di tempat alam yang rusak. Itu percuma," ucap dia.
Baca juga:
Foto udara kendaraan melewati Jembatan Bailey Awe Geutah yang baru selesai dibangun setelah sebelumnya putus akibat bencana banjir bandang di Bireuen, Aceh, Kamis (18/12/2025). Kementerian Pekerjaan Umum bersama jajaran TNI Kodam Iskandar Muda telah menyelesaikan pembangunan Jembatan Bailey yang menghubungkan Bireuen dengan Aceh Utara melintasi Sungai Peusangan sehingga akses transportasi kembali tersambung dan dapat memperlancar bantuan kemanusiaan serta memulihkan ekonomi daerah terdampak bencana. Reformasi agraria, kata Nurdin, bukan sekadar persoalan administrasi, seperti pelepasan kawasan hutan. Lebih dari itu, reformasi agraria adalah persoalan politis, yang melibatkan perubahan kepemilikan dan pengelolaan hutan.
Tujuannya adalah mengalihkan kepemilikan dan pengelolaannya dari negara ke masyarakat adat, petani, serta masyarakat lokal lainnya, bukan menghilangkan hutan.
"Di mana partisipasi soal pengelolaannya, penguasaannya, perlindungannya ditentukan secara partisipatif oleh rakyat, bukan oleh semata-mata penguasa, ya. Karena reformasi agraria, hutan jadi sumber kesejahteraan, bukan kesejahteraan 'orang-orang', tetapi kesejahteraan banyak orang," ujar Nurdin.
Baca juga:
Sebelumnya, Kepala Departemen Kampanye dan Manajemen Pengetahuan KPA, Benny Wijaya mengatakan, konflik agraria dan krisis ekologis di Aceh, Sumatera Utara, serta Sumatera Barat sebenarnya sudah terjadi sejak lama.
Namun, konflik agraria dan krisis ekologi tersebut dibiarkan pemerintah.
Di sisi lain, pemerintah disebut memperparah konflik agraria dan krisis ekologis tersebut dengan "bagi-bagi" izin dan konsensi. Khususnya, untuk sektor pertambangan, perkebunan, serta hutan tanaman industri (HTI).
"Kami memang melihat bahwa Sumatera itu merupakan episentrum letusan atau konflik agraria yang akibat praktik bagi-bagi izin dan konsesi tadi terutama di tiga sektor tersebut," ujar Benny dalam konferensi pers virtual, Rabu (3/12/2025).
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya