KOMPAS.com - Cuaca ekstrem yang dipicu krisis iklim disebut akan semakin parah ke depannya jika pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) tidak segera dilakukan. Khususnya, pengurangan emisi GRK dengan menghentikan penggunaan energi berbahan bakar fosil.
Rentetan bencana akibat kerusakan alam oleh ulah aktivitas manusia telah mewarnai tahun 2025. Misalnya, banjir dan tanah longsor di Sumatera Utara, Aceh, dan Sumatera Barat
Baca juga:
Pertambangan batu bara atau "solusi palsu" energi terbarukan lainnya, seperti penggunaan biomassa atau bahan bakar nabati, dinilai memperburuk kerentanan di tingkat lokal karena justru berkontribusi terhadap deforestasi.
Foto udara warga menyeberangi sungai dengan jembatan darurat di wilayah Tenge Besi, Kecamatan Pintu Rime Gayo, Kabupaten Bener Meriah, Aceh, Sabtu (20/12/2025). Akses warga pejalan kaki masih harus melintasi jembatan darurat dari batang kayu dan kendaraan roda dua harus menyeberangi arus sungai saat debit air surut, sementara roda empat tidak dapat melintas, akibat jalan dan jembatan penghubung antara Bener Meriah menuju Takengon, Kabupaten Aceh Tengah putus diterjang banjir bandang pada Rabu (26/11). Namun, dalam sektor energi dan ketenagalistrikan, dampak ganda itu disebut masih diabaikan pemerintah yang tercermin dari kebijakannya. Di antaranya, solusi co-firing yang direncanakan bersamaan dengan perpanjangan umur pakai PLTU batubara dalam Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) 2025-2060.
Berdasarkan data Trend Asia, selama periode 2014-2024, Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat telah kehilangan jutaan hektar hutan alam akibat industri ekstratif atau pengeruk sumber daya alam (SDA).
Di tiga provinsi tersebut, terdapat 31 izin Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH), yang beroperasi di lahan seluas 1 juta (1.019.287) hektar.
Alih fungsi hutan alam menjadi hutan tanaman energi (HTE) dinilai akan semakin masif kalau pemerintah memasukkan co-firing biomassa sebagai sumber tenaga listrik.
Baca juga: Satelit Biomassa Diluncurkan untuk Hitung Karbon Hutan
Petugas Kementerian Kehutanan dan Dinas Kehutanan Provinsi Aceh mengambil sampel kayu gelondongan yang terbawa arus luapan Sungai Tamiang, di area pasantren Islam Terpadu Darul Mukhlishin, Desa Tanjung Karang, Aceh Tamiang, Aceh, Jumat (19/12/2025). Kemenhut telah mengirim tim verifikasi dan membentuk tim investigasi gabungan bersama Polri untuk menelusuri asal-usul kayu gelondongan yang ditemukan pascabencana banjir di Sumatera Barat, Sumatera Utara dan Provinsi Aceh. Berbagai bencana yang disebabkan cuaca ekstrem beberapa tahun belakangan baiknya menjadi peringatan keras dari alam untuk menghentikan ketergantungan pada batubara dan energi fosil lainnya.
Di sisi lain, transisi ke energi terbarukan seharusnya diiringi dengan upaya memutus mata rantai ekstraktif. Namun, Indonesia masih ingin menggunakan energi fosil yang dapat ditinjau dari dokumen RUKN 2025-2060 dan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025-2034.
"Transisi energi di dalam perencanaan masih mengandalkan energi fosil lain sebagai pengganti energi fosil yang akan di-phase down, dari energi fosil satu ke energi fosil lainnya yang tidak menjawab krisis iklim. Tidak jelas target kapan PLTU batubara satu persatu akan dipensiunkan," ujar Pengkampaye Tata Ruang dan Infrastruktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Dwi Sawung dalam keterangan tertulis, Selasa (23/12/2025).
Baca juga: PLTU Paiton Didorong Terapkan Co-firing Biomassa hingga CCS
Tim advokasi Bersihkan Indonesia menggugat RUKN ke pengadilan tata usaha negara (PTUN) Jakarta pada Jumat (26/9/2025) lalu.
RUKN dinilai memaksakan perpanjangan PLTU hingga 2060 melalui co-firing biomassa dan menggantungkan pengurangan emisi GRK dari teknologi penangkapan karbon (Carbon Capture and Storage/CCS).
RUKN juga dianggap menambah ketergantungan pada gas dan merencanakan pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN).
Biaya investasi energi untuk mencapai Net Zero Emission (NZE) 2060 versi RUKN disebut terlalu boros, yang berpotensi berdampak pada harga listrik ke masyarakat.
Baca juga: Teknologi PLTU di Indonesia Mampu Serap Target Co-firing Biomassa
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya