Indonesia tidak mengincar pasar yang mencari tekstil dengan kualitas lebih tinggi. Imbasnya, Indonesia sekarang bersaing dengan Bangladesh, Pakistan, atau negara-negara di Afrika yang biaya tenaga kerjanya murah.
Untuk investasi R&D di Indonesia, kata dia, hanya di bawah 1 persen terhadap produk dometik bruto (PDB) atau jauh lebih rendah darpada negara-negara lain. Selain itu, kualitas tenaga kerja di Indonesia mayoritas lulusan pendidikan menengah ke bawah. Yang mempunyai keterampilan mengoperasikan teknologi tinggi relatif terbatas.
Di luar itu, Indonesia masih belum bisa menyelesaikan permasalahan dalam negeri, seperti industri dengan biaya tinggi dibandingkan negara-negara tertangga. Imbasnya, investasi berkualitas yang dapat mendorong produktivitas lebih tinggi akan lebih memilih negara-negara tertangga daripada masuk ke Indonesia.
Produktivitas industri Indonesia tertinggal dari negara-negara tertangga. Nilai tambah per pekerja yang lebih rendah daripada negara-negara tetangga menunjukkan keterbatasan efisiensi dan kapabilitas produksi industri nasional.
"Kita disusul oleh China ya, yang tahun 1998 di bawah kita dalam hal produktivitas sektor industrinya, tetapi di tahun 2023, mereka hampir dua kali lipat dari kita dalam hal produktivitas sektor industri," tutur Imaduddin.
Industrialisasi di Indonesia belum diiringi dengan pendalaman teknologi dan keterampilan. Kesenjangan produktivitas mencerminkan lemahnya adopsi teknologi, rendahnya aktivitas inovasi, serta keterbatasan peningkatan keterampilan tenaga kerja industri.
Produktivitas yang tertahan, kata dia, membatasi kenaikan upah dan daya saing. Ruang bagi peningkatan upah rill pekerja dan penguatan daya saing industri di Indonesia akan tetap sempit jika produktivitas tidak meningkat secara signifikan.
Jika kualitas produktivitas sektor industri tidak dibenahi, maka daya saing Indonesia akan semakin tertinggal di level global.
"Kita mungkin dulu bersaing dengan China, Malaysia, Filipina, Thailand misalnya ya, tetapi mungkin ke depan kita akan bersaing dengan negara-negara seperti Bangladesh, Pakistan, Ethiopia, dan sebagainya, yang mana mereka menawarkan biaya tenaga kerja yang jauh lebih murah dibandingkan kita," ucapnya.
Penciptaan lapangan kerja pada sektor manufaktur di Indonesia cenderung menurun dan fluktuatif. Kenaikan daya serap sektor manufaktur hanya bersifat sementara dan tidak struktural. Jadi, tidak menggambarkan perubahan mendasar dalam pola industrialisasi.
Selain itu, menguatnya indikasi jobless industrialisation atau pertumbuhan industri tidak sebanding dengan penyerapan tenaga kerja. Tren penurunan daya serap tersebut menunjukkan bahwa pertumbuhan sektor manufaktur semakin padat modal.
Baca juga: UN Women Peringatkan, Kekerasan Digital Berbasis AI Ancam Perempuan
"Patut kita khawatirkan adalah ada beberapa subsektor industri yang seperti tekstil dan pakaian jadi, lalu industri kayu, barang dari kayu, yang kontribusi penyerapan tenaga kerja besar. Tapi sayangnya pertumbuhannya di bawah pertumbuhan ekonomi nasional. Bahkan, industri kayu dan barang dari kayu ini pertumbuhannya di bawah nol," ucapnya.
Kendati produk domestik bruto (PDB) telah pulih pasca pandemi Covid-19, upah riil relatif tidak mengalami perbaikan atau tetap stagnan. Jumlah pekerja dengan status penuh waktu terus menyusut pasca pandemi Covid-19. Di saat bersamaan, pekerja dengan status setengah manganggur malah mengalami peningkatan.
"Pemerintah menyampaikan bahwa pengangguran terus mengalami penurunan, tapi kalau kita lihat sebenarnya ada kualitas tenaga kerja, kualitas lapangan pekerjaan yang sebenarnya tidak sebaik dari angka yang ditampilkan," ujar Imaduddin.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya