Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

INDEF: Struktur Tenaga Kerja di Indonesia Rentan Diganti Teknologi

Kompas.com, 29 Desember 2025, 20:32 WIB
Manda Firmansyah,
Bambang P. Jatmiko

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Indonesia perlu mendorong integrasi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dengan ekonomi digital untuk mengakses pasar dan mendapatkan pembiayaan.

Direktur Program INDEF, Eisha Maghfiruha Rachbini mengatakan Indonesia juga perlu mengintegrasikan sektor industri dengan investasi teknologi tinggi (high-tech) dan teknologi menengah (medium-tech).

Ini dilakukan mengingat investasi teknologi informasi dan komunikasi pada sektor industri di negara-negara maju sudah melibatkan robotisasi dan internet of things (IoT).

Namun demikian, di sisi lain, pemanfaatan teknologi berpotensi menggantikan penggunaan tenaga kerja.

Baca juga: AI Jadi Ancaman Jutaan Pekerjaan di Asia, Ini Peringatan PBB

"Masalah yang kita hadapi adalah kerentanan pada struktur tenaga kerja yang masih banyak berupa lulusan sekolah, SMK, kemudian S1 atau fresh graduate yang belum dapat pekerjaan atau banyak juga yang kemudian akan tergeserkan dengan adanya penggunaan robotisasi dan teknologi yang tinggi," ujar Eisha Maghfiruha Rachbini dalam webinar, Senin (29/12/2025).

Menurutnya, kemajuan teknologi semestinya diarahkan bukan untuk menggantikan, melainkan sebagai komplementer atau sesuatu yang saling melengkapi, dengan dioperasikan oleh manusia.

Karena itu, tenaga kerja di Indonesia harus dibekali keterampilan dalam mengoperasikan teknologi tinggi agar dapat berkontribusi meningkatkan produktivitas.

Investasi ICT diprediksi akan terus meningkat di tingkat global. Bahkan, selama periode tahun 2020-2024, investasi ICT naik dua kali lipat dari 64 dolar AS, menjadi 124 dolar AS. Artificial intelligence (AI) bisa berdampak positif jika pemerintah memiliki regulasi yang memadai, serta memfasilitasi program pasar tenaga kerja untuk peningkatan keterampilan dan reskilling.

Di sisi lain, AI dapat menjadi ancaman bagi pertumbuhan ekonomi jika Indonesia tidak mampu memanfaatkannya.

"Perkembangan digital AI ini ada dampak positifnya di satu sisi. Ini meningkatkan produktivitas dan ini menjadi kunci untuk pertumbuhan di 2026 ke depan," tutur Eisha.

Tantangan Indonesia

Direktur Kolaborasi Internasional INDEF, Imaduddin Abdullah menilai, Indonesia gagal untuk berpindah dari industri bernilai tambah rendah ke industri bernilai tambah tinggi. Indonesia perlu meniru China untuk bisa perlahan-lahan bergeser ke industri dengan nilai tabah tinggi.

Sekitar 20 tahun lalu, China masih mengandalan industri bernilai tambah rendah. China enggak mempedulikan nilai tambah rendahnya, yang terpenting saat itu dapat menyerap tenaga kerja sebanyak-banyaknya. Namun, perlahan-lahan China mampu menjadi negara dengan industri bernilai tambah tinggi, karena beberapa hal.

Pertama, mengadopsi teknologi. Kedua, berinvestasi untuk recearch and develpment (R&D). Ketiga, peningkatan keterampilan sumber daya manusia (SDM).

"Mereka yang tadinya di bawah kita (pada 1998), tapi sekarang produktivitas industrinya hampir tiga kali lipat dari kita, ya karena mereka berhasil mewujudkan prasyarat-prasyarat tadi," ucapnya.

Menurut Imaduddin, ketiga hal tersebut kurang mendapatkan perhatian di Indonesia. Misalnya, industri tekstil di Indonesia memang pernah berjaya pada 1980-an dengan mengandalan produksi secara massal. Akan tetapi, industri tekstil di Indonesia tidak beranjak ke arah untuk memiliki nilai tambah tinggi.

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
INDEF: Struktur Tenaga Kerja di Indonesia Rentan Diganti Teknologi
INDEF: Struktur Tenaga Kerja di Indonesia Rentan Diganti Teknologi
LSM/Figur
Perangi Greenwashing, Industri Fashion Segera Luncurkan Paspor Produk
Perangi Greenwashing, Industri Fashion Segera Luncurkan Paspor Produk
Pemerintah
Bencana Iklim 2025 Renggut Lebih dari Rp 2.000 Triliun, Asia Paling Terdampak
Bencana Iklim 2025 Renggut Lebih dari Rp 2.000 Triliun, Asia Paling Terdampak
LSM/Figur
BNPB Catat 3.176 Bencana Alam di Indonesia 2025, Banjir dan Longsor Mendominasi
BNPB Catat 3.176 Bencana Alam di Indonesia 2025, Banjir dan Longsor Mendominasi
Pemerintah
Banjir Ekstrem akibat Lelehan Gletser Diprediksi Lebih Mematikan
Banjir Ekstrem akibat Lelehan Gletser Diprediksi Lebih Mematikan
LSM/Figur
Produksi Listrik Panas Bumi KS Orka Renewables Lampaui 1 Juta MWh
Produksi Listrik Panas Bumi KS Orka Renewables Lampaui 1 Juta MWh
Swasta
Bencana Demografi di Indonesia Makin Nyata, Kalah dari Negara Tetangga
Bencana Demografi di Indonesia Makin Nyata, Kalah dari Negara Tetangga
LSM/Figur
Hirup Udara Berpolusi Berpotensi Berdampak pada Kekebalan Tubuh
Hirup Udara Berpolusi Berpotensi Berdampak pada Kekebalan Tubuh
Pemerintah
Kebun Kelapa Sawit Tak Bisa Gantikan Fungsi Hutan, Daya Serap Karbon Rendah
Kebun Kelapa Sawit Tak Bisa Gantikan Fungsi Hutan, Daya Serap Karbon Rendah
LSM/Figur
Musim Hujan Diprediksi Terjadi di Indonesia hingga Maret 2026
Musim Hujan Diprediksi Terjadi di Indonesia hingga Maret 2026
Pemerintah
Halte Bus Hijau, Bisa Menjadi Solusi Dinginkan Area Perkotaan
Halte Bus Hijau, Bisa Menjadi Solusi Dinginkan Area Perkotaan
Pemerintah
Masa Senja Industri Kehutanan Indonesia
Masa Senja Industri Kehutanan Indonesia
Pemerintah
Update Banjir Sumatera, Tim Gabungan Masih Bersihkan Tumpukan Kayu dan Limbah
Update Banjir Sumatera, Tim Gabungan Masih Bersihkan Tumpukan Kayu dan Limbah
Pemerintah
Gelondongan Kayu di Banjir Sumatera Bukti Kerusakan Hutan Sistemik, Bukan Sekadar Anomali Cuaca
Gelondongan Kayu di Banjir Sumatera Bukti Kerusakan Hutan Sistemik, Bukan Sekadar Anomali Cuaca
LSM/Figur
Sektor FOLU Disebut Mampu Turunkan 60 Persen Emisi Nasional
Sektor FOLU Disebut Mampu Turunkan 60 Persen Emisi Nasional
Pemerintah
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Rp
Minimal apresiasi Rp 5.000
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau