HALMAHERA SELATAN, KOMPAS.com - PT Trimegah Bangun Persada atau Harita Nickel telah memanfaatkan sisa hasil pengolahan dan pemurnian (SHPP) nikel dari smelter di Pulau Obi, Kabupaten Halmahera Selatan, Provinsi Maluku Utara, sebagai material konstruksi yang memiliki nilai keekonomian.
Salah satu material bangunan yang diproduksi adalah batako dengan kapasitas mencapai 40.000 unit per hari.
Harita memanfaatkan batako berbahan baku limbah nikel tersebut sebagai material konstruksi untuk Kawasan Permukiman Baru Desa Kawasi.
Terdapat sejumlah bangunan yang meliputi 259 unit rumah, dua tempat ibadah umat Islam, dua tempat ibadah umat Kristen, Puskesmas Pembantu, dan fasilitas lainnya.
Director Health, Safety, and Environmental Operation Department of Harita Nickel Group Tonny Gultom mengatakan, pemanfaatan slag nikel menjadi batako ini telah melalui riset dan pengembangan selama lebih kurang satu tahun.
Baca juga: Dukung Transisi Energi, Harita Akan Bangun PLTS 300 MegaWatt
Tonny menuturkan, batako yang diproduksi memiliki kekokohan (kepadatan) yang cukup baik, sehingga lebih berat dan kuat.
Hal ini karena formulasi yang membentuk batako tersebut terdiri dari slag nikel 85 persen, fly ash (abu sisa pembakaran PLTU batubara) 10 persen, dan semen 5 persen.
"Dengan kualitas premium seperti ini, angka keekonomian batako slag nikel sekitar Rp 4.000 per unit. Lebih mahal dibanding batu-bata biasa," sebut Tonny, di Pulau Obi, Sabtu (8/4/2023).
Lantas apa itu slag nikel?
Seperti diketahui, menurut USGS (2000) dan Badan Geologi (2019), Indonesia memiliki cadangan nikel terbesar di dunia sekitar 52 persen atau 72 juta ton (termasuk limonit). Ini artinya, Indonesia berperan penting dalam penyediaan bahan baku nikel dunia.
Sementara jumlah slag nikel yang diproduksi Indonesia mencapai 13 juta ton per tahun (Kementerian Perindustrian, 2020).
Oleh karena itu, slag nikel yang dihasilkan telah menimbulkan masalah tersendiri karena dari segi jumlah cukup banyak dan laju pertambahannya meningkat seiring dengan laju produksi nikel.
Bahkan dalam kasus-kasus tertentu, hal tersebut dapat menyebabkan proyek pengolahan dan pemurnian nikel menjadi tidak ekonomis.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun, slag nikel (kode limbah B403) masuk kategori limbah B3 dari sumber spesifik khusus dengan kategori bahaya dua.
Baca juga: Program PPM Harita Nickel Hasilkan Transaksi Rp 8 Miliar Per Bulan
Namun, menurut Direktur Verifikasi Pengelolaan Limbah B3 dan Limbah Non B3 Direktorat Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah dan B3 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Achmad Gunawan Widjaksono, sesuai beleid yang sama pasal 54, pemanfaatan limbah B3 dapat berupa substitusi bahan baku, substitusi sumber energi, bahan baku dan lainnya sesuai Iptek.
“Khusus untuk empat sumber limbah B3 (slag nikel, fly ash, steel slag, spent bleaching earth) diberikan kemudahan untuk bisa dikecualikan sebagai limbah B3 atau sebagai by product,” ujarnya, seperti dikutip dari laman Kementerian Perindustrian, Minggu (9/4/2023).
Penelitian dan pengembangan slag nikel, sejatinya, telah lama dilakukan oleh sejumlah instansi Pemerintah, baik kementerian dan lembaga, perguruan tinggi, dan pelaku usaha.
Contohnya, Kementerian Perindustrian melalui unit litbangnya terus berupaya untuk mencari solusi terbaik dalam penanganan slag nikel agar bisa dimanfaatkan sebagai bahan baku industri.
Upaya ini selaras dengan kebijakan pengelolaan lingkungan yang baik atau program circular economy (ekonomi berkelanjutan).
Menurut Doddy, slag nikel memiliki potensi besar untuk digunakan sebagai bahan baku semen, konstruksi, infrastruktur jalan, maupun didaur-ulang kembali sebagai bahan baku baja.
Bahkan, pada akhir 2019, telah terbit Standar Nasional Indonesia (SNI) tentang material pilihan slag nikel hasil tanur listrik (electric furnace).
SNI ini turut disusun oleh Kementerian Perindustrian untuk mendukung pengembangan standar dan sebagai solusi pengelolaan slag nikel.
“Keberadaan SNI ini juga dimaksudkan sebagai acuan untuk mengoptimalkan penggunaan slag nikel sebagai agregat, pengganti agregat alami, dan penggunaan lainnya,” imbuhnya.
Hal ini diamini oleh Direktur Bina Teknik Jalan dan Jembatan, Direktorat Jenderal Bina Marga, Kementerian Pekerjaan Umum dan Pekerjaan Rakyat (PUPR) Deded Permadi Sjamsudin.
"Slag nikel memiliki senyawa kimia yang mirip dengan senyawa kimia pada agregat alam yang umum digunakan sebagai material konstruksi sehingga berpotensi digunakan sebagai material konstruksi dan mengurangi eksploitasi alam," tuntas dia.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya