JAKARTA, KOMPAS.com - Toilet bersih pada bangunan atau area publik dapat mewakili citra dari budaya sebuah bangsa. Bersih toilet publiknya, maka bersih pula bangsanya.
Demikianlah perumpamaan yang kerap digaungkan para pegiat toilet bersih, Asosiasi Toilet Indonesia (ATI), maupun World Toilet Organization (WTO).
Hal ini mengingat toilet merupakan salah satu fasilitas yang dibutuhkan masyarakat, tak terkecuali bagi penyandang disabilitas.
Namun faktanya, menemukan toilet bersih pada bangunan publik dengan intensitas penggunaan tinggi, tidak mudah. Sering ditemui toilet yang kotor, basah, dan dirancang asal-asalan atau sembarangan.
Jangan bicara toilet publik untuk kalangan penyandang disabilitas, untuk masyarakat non-difabel pun tak banyak tersedia toilet representatif dan memenuhi standar.
Baca juga: Central Market PIK, Fasilitas Ritel Pertama Peraih Sertifikat Bangunan Hijau
Oleh karena itu, penting diperhatikan standar pembuatan toilet, terutama secara teknis agar ramah penyandang disabilitas.
Kriteria teknis sejatinya telah ada dalam Peraturan Menteri PUPR Nomor 14/PRT/M/2017 tentang Persyaratan Kemudahan Bangunan Gedung.
Untuk penyandang disabilitas, luas ruang di dalamnya paling sedikit berdimensi 152,5 centimeter x 227,5 centimeter dengan mempertimbangkan ruang gerak pengguna kursi roda.
Kemudian, lebar bersih pintu toilet untuk penyandang disabilitas paling sedikit 90 centimeter.
Sementara untuk daun pintu toilet, pada dasarnya membuka ke arah luar dan memiliki ruang bebas sekurang-kurangnya 152,5 centimeter antara pintu dengan permukaan terluar kloset.
Namun jika daun pintu toilet membuka ke arah dalam, maka harus memberikan ruang bebas yang cukup untuk pengguna kursi roda melakukan manuver berputar 180 derajat dan membuka atau menutup daun pintu.
Lalu, pintu toilet penyandang disabilitas perlu dilengkapi dengan plat tendang di bagian bawah pintu untuk pengguna kursi roda dan penyandang disabilitas netra.
Selain itu, pintu toilet baiknya juga dilengkapi dengan engsel yang dapat menutup sendiri.
Kemudian, pada bagian atas luar pintu toilet tersedia lampu alarm (panic lamp) yang akan diaktifkan oleh pengguna toilet.
Caranya dengan menekan tombol bunyi darurat atau menarik tuas yang tersedia di dalam ruangan apabila terjadi keadaan darurat.
Di sisi lain, tuas di dalam toilet penyandang disabilitas harus diletakkan pada tempat yang mudah dijangkau oleh penyandang disabilitas.
Toilet penyandang disabilitas juga harus dilengkapi dengan pegangan rambat untuk memudahkan pengguna kursi roda berpindah posisi dari kursi roda ke atas kloset ataupun sebaliknya.
Perihal standar toilet bagi penyandang disabilitas juga tertera dalam Buku Pedoman Standard Toilet umum Sederhana Area Publik oleh ATI.
Adapun lantai toilet disabilitas harus dibuat rata atau menggunakan ramp kecil untuk pengguna kursi roda.
Selanjutnya, tinggi kloset minimal 44-45 centimeter dari lantai. Sebaiknya, toilet disabilitas juga menggunakan sensor untuk menggantikan fungsi flush manual.
Di samping itu, juga tersedia jet spray di samping kanan kloset dan grab bar dengan ketinggian 73-75 centimeter yang horizontal berjarak 25-35 centimeter dari bibir kloset.
Lalu, tinggi wastafel berkisar 78-80 centimeter agar kaki pengguna dengan kursi roda bisa masuk. Serta, dilengkapi dengan keran sensor atau swivel dengan bukaan putar.
Tak hanya itu, disediakan pula hand dryer dan cermin yang dicondongkan ke depan untuk mempermudah pengguna kursi roda.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya