Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 12/07/2023, 13:00 WIB
Hilda B Alexander

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) atau human trafficking tidak mengenal batas negara, samudera, atau benua. Sebaliknya, TPPO bisa terjadi di mana pun.

Perdagangan manusia atau dengan kata lain perbudakan modern, terjadi baik di front domestik maupun global. Meskipun dampak langsungnya bersifat lokal, konsekuensi jangka panjangnya tersebar, dan berjangkauan luas.

Akan tetapi umumnya, korban perdagangan manusia dibeli, dijual, dan disiksa di negara mereka sendiri dan lintas batas.

Menurut Global Estimates of Modern Slavery keluaran International Labour Organization (ILO) yang dirilis pada September 2022, diperkirakan 49,6 juta orang menjadi korban kerja paksa dan pernikahan paksa pada waktu tertentu sepanjang 2021.

Baca juga: Berdayakan Perempuan di Desa Demi Cegah Perdagangan Orang

"Sekitar 6,3 juta di antaranya adalah korban eksploitasi seksual komersial paksa," tulis laporan tersebut.

Menurut data terbaru ILO, kawasan Asia dan Pasifik memiliki jumlah korban kerja paksa dan perkawinan tertinggi, terhitung lebih dari separuh total global atau 29,3 juta.

Namun, jika kita memperhitungkan ukuran populasi dan mempelajari prevalensi per seribu orang, maka negara-negara Arab memiliki tingkat eksploitasi tertinggi sebesar 10,1 persen.

Berikut daftar wilayah di dunia, jika diurutkan berdasarkan jumlah orang dalam perdagangan manusia:

  • Asia dan Pasifik: 29,3 juta
  • Afrika: 7 juta
  • Eropa dan Asia Tengah: 6,4 juta
  • Amerika: 5,1 juta
  • Negara Arab: 1,7 juta

Baca juga: Tindak Pidana Perdagangan Orang Telan 1789 Korban, Ini Upaya Pemerintah

Wilayah di dunia, diurutkan berdasarkan prevalensi (per seribu orang) perdagangan manusia:

  • Negara Arab: 10,1 persen
  • Eropa dan Asia Tengah: 6,9 persen
  • Asia dan Pasifik: 6,8 persen
  • Afrika: 5,2 persen
  • Amerika: 5 persen

Tiga Negara dengan TPPO terburuk

TPPO tak lepas dari tindak kejahatan kriminal terorganisasi. The Global Organized Crime Index atau Indeks Kejahatan Terorganisasi Global menilai tingkat kriminalitas dari 193 negara, bersama dengan ketahanan mereka terhadap kejahatan terorganisasi.

Menurut laporan tahun 2021, perdagangan manusia telah menjadi aktivitas kriminal paling menyebar di dunia.

Baca juga: Tekan Kasus TPPO, Bakamla Tambah Kapal Patroli Tercepat di Indonesia

Berdasarkan pengukuran kualitatif dan kuantitatif serta masukan para ahli, tiga negara dengan skor terburuk untuk perdagangan manusia adalah: Libya, Eritrea, Yaman.

Salah satu alasan utama Libya menempati peringkat terburuk adalah karena destabilisasi di negara itu yang dimulai dengan perang saudara tahun 2014.

Menurut Laporan Perdagangan Manusia 2022 Departemen Luar Negeri AS di Libya, sebagian besar wilayah negara itu berada di luar kendali pemerintah, dan sistem peradilan belum berfungsi sepenuhnya.

Kelompok bersenjata di luar hukum dan kelompok kriminal dilaporkan terlibat dalam perdagangan seks dan tenaga kerja, mengeksploitasi migran, pengungsi, dan pencari suaka.

Tiga dari negara dengan peringkat terburuk ini yakni Libya, Eritrea, dan Yaman, ditandai dengan konflik sipil, kurangnya aturan hukum, atau ketidakstabilan politik.

Sementara dua negara lain yang menempati peringkat empat dan lima terburuk yakni Uni Emirat Arab (UEA) dan Turkmenistan dituduh melakukan kerja paksa paksa pemerintah: di bidang pertanian di Turkmenistan dan dinas militer di Eritrea.

Baca juga: Waspada, Iklan Media Sosial Jadi Cara Baru Jerat Korban TPPO

Outlier di antara lima negara ini adalah UEA. Mayoritas tenaga kerja di UEA atau 90 persen direkrut secara global.

Banyak dari pekerja migran ini berada dalam kondisi kerja paksa, seperti penahanan paspor, tidak dapat membayar upah, dan pembatasan pergerakan.

Indonesia

Indonesia sendiri berada di peringkat 60 dengan skor 6,50. Laporan tersebut menulis, perdagangan manusia dilaporkan lazim di Indonesia, dengan perempuan dan anak-anak menjadi sangat rentan terhadap eksploitasi seksual.

Anak-anak juga menjadi sasaran eksploitasi tenaga kerja dan dipaksa bekerja lembur dengan upah yang tidak memadai.

Laki-laki bermigrasi secara internal untuk mencari pekerjaan di industri perikanan, pertambangan dan perkebunan, mereka sering menjadi korban kerja paksa, mobilitas mereka dibatasi, mengalami kekerasan fisik dan bekerja dengan bayaran kecil atau tanpa bayaran.

Korban Indonesia juga diperdagangkan ke luar negeri, kebanyakan ke Malaysia, Singapura, Maroko, Arab Saudi, Suriah dan Turki.

Pelaku diyakini beroperasi secara mandiri dan sebagai bagian dari perusahaan perekrutan tenaga kerja internasional, yang dikenal sebagai Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta.

Korupsi memfasilitasi pasar perdagangan manusia, dengan pejabat korup mengeluarkan dokumen palsu, melindungi tempat eksploitasi dan memberikan perlindungan kepada agen perekrutan.

Sebelum memperkenalkan kontrol imigrasi yang lebih ketat pada tahun 2013, Indonesia merupakan koridor transit yang signifikan bagi para migran dari Afghanistan, Sri Lanka, dan Myanmar yang ingin pergi ke Australia.

Arus penyelundupan dari Indonesia kini telah bergeser ke Malaysia, dengan tingginya tingkat migrasi tenaga kerja Indonesia ke Malaysia membuat penyelundupan lebih sering terjadi antara kedua negara.

Orang-orang yang telah diselundupkan ke Indonesia bekerja sebagai perekrut dan penyelenggara jalur penyelundupan.

Penyelundupan manusia telah menjadi cara bertahan hidup ekonomi yang layak bagi banyak penduduk setempat, itulah sebabnya para nelayan membantu pengangkutan pencari suaka dan pejabat perbatasan terlibat dalam penyuapan dan pemalsuan dokumen identitas.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) sendiri menegaskan, bahwa Pemerintah telah melakukan berbagai upaya dalam rangka memberantas TPPO.

Salah satunya dengan membentuk Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan TPPO, yang melibatkan Pemerintah Pusat dan Daerah.

Berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan TPPO Pasal 58 menyebutkan bahwa untuk mengefektifkan dan menjamin pelaksanaan pemberantasan perdagangan orang, Pemerintah Pusat dan Daerah membentuk Gugus Tugas.

Pemerintah kemudian menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 22 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 69 Tahun 2008 Tentang Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang (GT PP TPPO), yang didalamnya mengatur terkait Struktur Gugus Tugas Pusat, Tugas Gugus Tugas Pusat dan Daerah, serta Fungsi dari Gugus Tugas Pusat dan Daerah.

Berdasarkan Perpres tersebut, telah terbentuk Gugus Tugas (GT) PP TPPO Pusat yang terdiri dari 24 Kementerian/Lembaga, serta Gugus Tugas (GT) PP TPPO Daerah yang telah terbentuk di 32 Provinsi, dan 245 Kabupaten/Kota di Indonesia.

Melalui GT PP TPPO tersebut, juga telah dilakukan berbagai upaya, di antaranya yaitu, melakukan advokasi, sosialisasi, pelatihan yang melibatkan semua anggota GT PP TPPO, baik di pusat dan daerah sesuai dengan tugas, fungsi dan kewenangan yang dimiliki.

Selanjutnya, melakukan pemantauan dan evaluasi secara berkala, yang hasilnya dilaporkan setahun sekali sebagai Laporan Tahunan dan 5 (lima) tahun sebagai Laporan Lima Tahunan.

 

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau