INDONESIA sebentar lagi pada September 2023, memasuki era baru, yakni era perdagangan karbon yang ditandai dengan pembukaan bursa karbon di Bursa Efek Indonesia.
Berbagai perangkat dan instrumen regulasi telah disiapkan pemerintah untuk mendukung perdagangan karbon.
Mulai dari undang-undang (UU) no. 7 tahun 2021 tentang harmonisasi peraturan perpajakan, peraturan presiden (Perpres) no. 98 tahun 2021 tentang penyelenggaraan nilai ekonomi karbon (NEK) untuk pencapaian target yang ditetapkan secara nasional (NDC) dan pengendalian emisi gas rumah kaca (GRK) dalam pembangunan nasional, Peraturan Menteri (Permen) Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 21 tahun 2022 tentang Tata Laksana NEK.
Perdagangan karbon diartikan sebagai skema di mana terjadi aktivitas penyaluran dana dari negara penghasil emisi karbon kepada negara yang memiliki potensi sumber daya alam yang mampu melakukan penyerapan emisi karbon alami, seperi negara-negara tropis yang mempunyai hutan alam tropika basah seperti Indonesia, Brasil dan seterusnya.
Negara-negara berkembang yang masih memiliki banyak karbon kredit dibandingkan negara industri bisa menjual karbon kreditnya kepada negara yang memproduksi emisi.
Jadi sebenarnya ini hanyalah jual beli di atas kertas belaka. Ini adalah sistem pay of performance, bukan sistem jual beli di mana ada komitmen uang langsung ada.
Negara yang membeli karbon kredit dari Indonesia akan melihat apakah dalam beberapa tahun yang dikomitmenkan benar-benar dapat menurunkan emisi karbon.
Indonesia sudah mulai membidik potensi perdagangan karbon antarnegara. Menurut Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Pandjaitan terdapat potensi besar dalam perdagangan karbon yang nilainya berkisar antara 82 miliar dollar AS sampai 100 miliar dollar AS.
Angka ini didapat karena Indonesia 75-80 persen carbon credit dunia dari hutan tropis, mangrove, gambut, rumput laut hingga terumbu karang.
Sebelum perangkat regulasi perdagangan karbon disiapkan, Indonesia telah mencoba kerjasama dengan pemerintah Kerajaan Norwegia semacam imbal beli karbon dalam bentuk Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (Reducing Greenhouse Gas Emissions from Deforestation and, Forest Degradation/REDD+) pada 2010 selama 10 tahun.
Indonesia dijanjikan imbal beli atau result base payment (RBP) sebesar total satu miliar dollar AS (6 miliar kroner Norwegia/NOK) sebagaimana yang tertulis dalam kerjasama Pernyataan Kehendak (Letter of Intent/LoI) antara dua negara tersebut.
Dengan berbagai persyaratan yang diminta oleh pemerintah Norwegia di antaranya menghentikan sementara penerbitan izin baru di hutan primer dan lahan gambut (moratorium) dan membentuk Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) sebagai institusi pengelola dana RBP REDD+ di daerah.
Semua permintaan tersebut sudah dipenuhi oleh pemerintah Indonesia. Namun sampai batas waktu akhir perjanjian tersebut; faktanya pemerintah Norwegia tidak pernah memenuhi janji untuk membayar dana yang dimaksud.
Padahal dana kompensasi tersebut sangat diperlukan untuk mendukung aksi-aksi Indonesia mendorong rehabilitasi hutan dan penanggulangan degradasi dan deforestasi hutan di lapangan.
Oleh sebab itu dengan berat hati pada 10 September 2021, pemerintah Indonesia secara sepihak mengakhiri kerja sama dengan pemerintah Kerajaan Norwegia tentang perdagangan karbon karena tidak ada kejelasan realisasi pembayaran tahap pertama yang dijanjikan.
Dalam skala kecil dan terbatas pengalaman menarik diperoleh dari masyarakat yang mendiami desa-desa sekitar kawasan hutan lindung Bukit Panjang Rantau Bayur (biasa disebut Bujang Raba) seluas 5.339 hektare yang dikelola warga lima desa di Kabupaten Bungo.
Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi tahun 2018, mendaftarkan Bujang Raba ke dalam pasar karbon sukarela (voluntary carbon market) melalui skema Plan Vivo.
Dari perhitungan KKI Warsi, pada zona lindung hutan desa yang merupakan hutan primer, penyerapan emisi atau cadangan karbon rata-ratanya sebesar 287 ton per hektare atau 1,052 ton setara CO2 per hektare.
“TUI Airways hanya membeli 6.000 ton. TUI Airways, perusahaan penerbangan di Eropa. Perusahaan ini membayar 36.000 dollar AS (sekitar Rp 400 juta) untuk 6.000 ton cadangan karbon (carbon sink) dari kawasan hutan lindung Bukit Panjang Rantau Bayur (biasa disebut Bujang Raba).
Dalam Peraturan 21/2022, emisi yang diperdagangkan adalah emisi gas rumah kaca yang dihitung dengan pengukuran yang disepakati.
Pada dasarnya, perdagangan emisi dalam peraturan ini ada empat: perdagangan karbon, pembayaran berbasis kinerja (result-based payment), pungutan atas karbon, dan mekanisme lain sesuai perkembangan ilmu dan teknologi.
Ada dua jenis perdagangan emisi yang diakui oleh peraturan ini :
A. Cap and trade, yakni perdagangan karbon antar dan lintas sektor para pelaku usaha. Ada lima sektor yang ditetapkan sesuai dengan NDC: energi, kehutanan dan penggunaan lahan, pertanian, limbah, serta industri dan proses produksi.
Menteri tiap sektor menetapkan batas emisi (cap) yang boleh diproduksi oleh tiap pelaku usaha.
Mereka yang memproduksi emisi lebih dari batas itu, wajib membeli kelebihannya kepada mereka yang memproduksi emisi lebih rendah dari batas tersebut.
B. Carbon offset. Offset adalah pengimbangan. Pengimbangan emisi untuk sektor yang tak memiliki kuota.
Mereka yang memproduksi emisi lebih besar dari baseline, bisa membeli kelebihan emisi tersebut kepada mereka yang menyediakan usaha penyerapan karbon.
Offset emisi bisa dilakukan melalui bursa karbon atau perdagangan langsung antar penjual dan pembeli.
Menurut Peraturan Tata Laksana Ekonomi Karbon, semua pembayaran terkait perdagangan emisi harus melalui Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH).
Jika ada surplus pengurangan emisi yang tidak diperdagangkan pada tahun tertentu, pelaku usaha bisa menyimpannya untuk diperdagangkan dalam dua tahun berikutnya.
Semua produksi dan pengurangan emisi harus tercatat, terdokumentasi, dan terverifikasi oleh pemerintah atau pihak ketiga yang independen.
Verifikasi ini menjadi basis kualitas pengurangan dan penyimpanan karbon sebagai angka yang disepakati untuk diperdagangkan di pasar karbon.
Dengan begitu, perdagangan karbon bisa dikuantifikasi menjadi transaksi komoditas baru yang berdampak tak hanya pada lingkungan, juga ekonomi.
Meskipun perdagangan karbon tidak nyata karena jual beli di atas kertas, tapi ada dan nampaknya menjanjikan keuntungan ekonomi bagi negara.
Namun bukan berarti tidak ada kritik dari berbagai pihak tentang rencana implementasinya.
Knownledge Management Manager Madani Berkelanjutan Anggalia Putri menyebut bahwa semua pihak perlu mempertanyakan kembali tujuan dari penerapan perdagangan karbon.
Implementasi perdagangan karbon akan kurang tepat jika hanya untuk mendapatkan agregasi profit atau mengumpulkan keuntungan finansial (Kompas, 2/08/2023).
Laporan IPCC (Panel Lintas Pemerintah untuk Perubahan Iklim) berkali-kali mengingatkan untuk menurunkan emisi global.
Jadi perdagangan karbon harus selalu ditempatkan dan memprioritaskan penurunan emisi karbon global, baru sisanya batas atas secara nasional (offset cap) dapat dipikirkan dan dialokasikan untuk dijual dalam bursa karbon.
Berbagai upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim yang selama ini telah dilakukan tetap harus mengedepankan dan memprioritaskan keadilan iklim.
Artinya, masing-masing negara harus pegang komitmen terhadap penurunan emisi karbon yang telah disepakatai bersama dan dituangkan dalam NDC masing-masing negara.
Bilamana terdapat kelebihan nilai karbon setelah dihitung dengan target NDC yang ada, maka silahkan kelebihan kuota tersebut dapat dialokasikan untuk dilepas kebursa karbon atau dijual langsung sebagaimana yang tertuang dalam mekanisme perdagangan karbon.
Selain itu, Anggalia mengingatkan bahwa dalam perdagangan karbon harus dipastikan penyelenggaraannya dilakukan secara transparan, akuntabel dan melibatkan partisipasi semua pihak.
Transparasi ini khususnya dalam hal penetapan harga karbon, perizinan dan pengembangan aset, serta transaksi karbon hingga pelaksanaan bursa karbon.
Dari kalangan akademisi, yakni Guru Besar Perencanaan Hutan dan Ekonomi Sumber Daya Hutan Universitas Pattimura Ambon (Maluku), Agustinus Kastanya memandang bahwa perdagangan karbon dapat menjadi salah satu upaya untuk mengurangi emisi karbon jika diiringi dengan penghentian atau pengurangan secara signifikan indistri ekstratif.
Selama industri ekstraktif masih berjalan dan melepaskan banyak emisi, penurunan karbon di atmosfer bumi juga akan sulit dikurangi.
Pengalaman negara maju seperti negara Amerika Serikat, Belanda, Jepang dan Korea yang telah melaksanakan perdagangan karbon beberapa tahun lalu, menjadi bahan empiris bagi pemerintah Indonesia untuk menyelenggarakan perdagangan karbon yang lebih baik lagi.
Pengendalian dan pemantauan penyelenggaraan perdagangan karbon akan lebih mudah lagi kalau implementasi pajak karbon dapat segera diberlakukan.
Sayang kondisi ekonomi global maupun nasional tidak sedang baik-baik saja akibat dilanda pandemi Covid 19, sehingga ditunda pemberlakuan hingga 2025 sambil menunggu perekonomian nasional pulih secara total.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya