KOMPAS.com – Layanan aduan kekerasan terhadap perempuan melalui hotline Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129 meningkat lebih dari dua kali lipat.
Pada 2021, aduan yang masuk ke hotline SAPA 129 tercatat 1.010 aduan kasus. Sedangkan pada 2022, jumlah aduannya mencapai 2.346 kasus.
Pada Januari hingga Juli 2023, hotline SAPA sudah menerima aduan kekerasan terhadap perempuan sebanyak 949 kasus.
Baca juga: Penyintas Kekerasan Seksual Harus Dapat Pendampingan dan Perlindungan
Sekretaris Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Pribudiarta Nur Sitepu mengatakan, data tersebut harus menjadi perhatian yang serius bagi semua Pihak.
“Apalagi, angka-angka ini hanyalah angka laporan. Artinya, di lapangan jumlah kasus yang terjadi jauh lebih banyak,” kata Pribudiarta dalam keterangan tertulis, Jumat (4/8/2023).
Pribudiarta menyampaikan, kasus kekerasan terhadap perempuan seperti fenomena gunung es. Kasus yang tidak dilaporkan jauh lebih besar karena berbagai alasan.
Beberapa alasan tersebut seperti malu, tabu, atau bahkan dipengaruhi faktor kepastian hukum yang belum jelas sehingga menyebabkan banyak perempuan tidak melaporkan kasus yang menimpa mereka.
Baca juga: 4,4 Juta PMI Bekerja Tidak Resmi, Rawan Jadi Korban Kekerasan
“Tingginya kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak ini tentunya menjadi perhatian kita bersama,” ujar Pribudiarta.
Dia meminta aparat penegak hukum benar-benar menegakkan keadilan dan pemulihan bagi korban.
“Serta memberikan hukuman yang tegas bagi pelaku menggunakan instrumen hukum yang tepat bersifat lex specialis yakni Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS),” tutur Pribudiarta.
Untuk memperkuat penyediaan layanan rujukan akhir bagi perempuan korban kekerasan, Kementerian PPPA memerlukan koordinasi di berbagai tingkatan.
Baca juga: Pemerintah Tawarkan Konsep Pesantren Ramah Anak Bebas Kekerasan
Salah satu upayanya adalah penguatan antarlembaga yang melibatkan aparat penegak hukum seperti kepolisian dan kejaksaan.
Pribudiarta mendorong implementasi UU TPKS dalam menyelesaikan kasus-kasus kekerasan seksual yang berpihak pada korban dapat dimaksimalkan oleh aparat penegak hukum.
“Dengan tingginya angka dan pelaporan kasus kekerasan, kita perlu juga memperkuat sinergitas dan kolaborasi penanganan, perlindungan, dan pemenuhan hak perempuan korban kekerasan,” ucap Pribudiarta.
Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kementerian PPPA Ratna Susianawati menyampaikan, UU TPKS telah mengatur mandat pemerintah daerah dan aparat penegak hukum dalam menyelesaikan kasus-kasus kekerasan seksual yang menimpa perempuan dan anak di Indonesia.
Baca juga: Penyusunan Aturan Pelaksana UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual Dipercepat
Untuk mendukung hal tersebut, peraturan turunan berupa Peraturan Presiden dan Peraturan Pemerintah tengah diupayakan dan terus didorong agar pengesahannya dapat dipercepat.
“Pada proses hukum mulai dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan, sampai dengan proses peradilan pidana yang komprehensif kepada korban bisa dilaksanakan dengan baik,” papar Ratna.
“Selain itu, akomodasi yang layak dalam penanganan perkara yang aksesibel dan inklusif bagi penyandang disabilitas dan penegakan hukum kepada para pelaku juga perlu kita upayakan,” tambahnya.
Baca juga: Hotline 129, Kanal Resmi Aduan Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak Selama Mudik
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya