Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Pramono Dwi Susetyo
Pensiunan

Pemerhati masalah kehutanan; penulis buku

Polemik Tambang dalam Kawasan Hutan Lindung

Kompas.com - 13/08/2023, 16:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

EKSPLOITASI tambang mineral dan batubara (minerba) di Tanah Air saat ini sedang menjadi sorotan dunia internasional.

Sejak ditetapkannya aturan hilirisasi dan industrialisasi beberapa jenis tambang minerba oleh Presiden Joko Widodo, negara Uni Eropa yang keberatan kemudian mengajukan gugatan ke WTO (World Trade Oogranization/Organisasi Perdagangan Sedunia).

Bahkan IMF (Internasional Money Fund/Dana Keuangan Internasional) pun ikut-ikutan memberikan peringatan pemerintah Indonesia membuka kembali ekspor minerba dalam bentuk bentuk mentah (raw material) yang jelas-jelas ditolak oleh pemerintah Indonesia.

Presiden Jokowi, dalam pengukuhan Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) periode 2023-2028 di Jakarta, Senin (31/7/2023), menyebut bahwa hilirisasi tidak terbatas pada jenis tambang nikel saja.

Hilirisasi tambang akan dilanjutkan kehilirisasi tembaga, bauksit, dan timah.

Menurut Presiden, hilirisasi nikel meningkatkan nilai tambah ekspor dan meningkatkan lapangan kerja berlipat kali.

Sebelum hilirisasi nikel di Sulawesi Tengah, hanya 1.800 pekerja yang terserap di pengolahan nikel. Setelah hilirisasi, setidaknya 71.500 tenaga kerja terserap di Sulteng.

Hal serupa terjadi di Maluku Utara. Sebelum hilirisasi nikel, hanya 500 pekerja yang terserap di pengolahan nikel, setelahnya menjadi 45.600 pekerja.

Nilai ekspornya juga meningkat dari 2,1 miliar dollar AS pada 2014-2015 menjadi 33,8 miliar dollar AS atau Rp 510 triliun pada 2022.

Wajar apabila ekspansi nikel besar-besaran akan dikembangkan pemerintah Indonesia.

Perizinan pertambangan nikel hingga 2023 berada di urutan kedua setelah emas dengan luas hampir 900.000 hektar (ha). Entitas pertambangan nikel menjadi yang terbanyak dengan jumlah 319 perizinan.

Masalahnya adalah ekspansi tambang secara besar-besaran khususnya nikel dikhawatirkan akan memicu laju deforestasi baru di tengah upaya pemerintah menekan emisi gas rumah kaca (GRK) dan menurunkan emisi karbon melalui program FOLU Net Sink 2030.

Celakanya lagi, ekspansi tambang dalam kawasan hutan hingga saat ini masih diizinkan tidak hanya dilakukan di dalam kawasan hutan produksi saja, tetapi juga dapat dilakukan di dalam kawasan hutan lindung.

Dalam undang-undang (UU) No. 26/ 2007 tentang penataan ruang, kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan.

Bersama-sama dengan kawasan hutan konservasi, kawasan hutan lindung masuk dalam lima kriteria kawasan lindung yang dimaksud dalam UU penataan ruang tersebut.

Hutan lindung bersama dengan kawasan bergambut dan kawasan resapan air; masuk dalam kawasan lindung dengan kriteria kawasan yang memberikan pelindungan kawasan bawahannya.

Lain halnya dengan kawasan hutan produksi yang dalam UU No. 26/2007 masuk dalam kawasan budidaya yang dampak lingkungannya tidak signifikan dibanding dengan kawasan lindung apabila terjadi kerusakan lingkungan.

Kenapa kegiatan pertambangan diizinkan dilakukan di hutan lindung?

Dukungan regulasi dan polemik dalam hutan lindung

Dalam UU No.5/1967 tentang ketentuan-ketentuan pokok kehutanan, tidak disebutkan secara tersurat (eksplisit) bahwa kegiatan pertambangan dapat diizinkan dilakukan dalam kawasan hutan.

Baru pada UU No. 41/1999 tentang kehutanan, secara tersurat dalam pasal 38 ayat (1) disebutkan bahwa penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan di dalam kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung.

Kegiatan pembangunan nonkehutanan yang dimaksud adalah kegiatan untuk tujuan strategis yang tidak dapat dielakkan, antara lain kegiatan pertambangan, pembangunan jalan, pembangunan jaringan listrik, telepon, dan instalasi air, kepentingan religi, serta kepentingan pertahanan keamanan.

Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pertambangan dilakukan melalui pemberian izin pinjam pakai oleh menteri dengan mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu serta kelestarian lingkungan.

Pada kawasan hutan lindung dilarang melakukan penambangan dengan pola pertambangan terbuka.

Begitu strategisnya kegiatan pertambangan di kawasan hutan dalam memberikan dan menyumbang pendapatan negara, sampai–sampai pada 2004, Presiden Megawati Soekarnoputri menganulir UU No. 41/1999 dengan Perpu Nomor 1/2004 pada 11 Maret 2004, untuk menyelesaikan tumpang-tindih areal pertambangan dengan hutan lindung sekaligus mengakomodasi izin tambang bagi 13 perusahaan untuk melanjutkan kegiatan produksinya.

Perpu ini dibuat dalam rangka memberi kepastian kepada investor karena pada 2004 merupakan tahun investasi.

Perpu tersebut menambah ketentuan baru dalam UU 41/1999, terutama pasal 83a. Dalam pasal itu disebutkan semua perizinan atau perjanjian di bidang pertambangan di kawasan hutan yang telah ada sebelum berlakunya UU 41/1999, tetap berlaku sampai berakhirnya izin atau perjanjian tersebut.

Dari UU No. 41/1999 diturunkan dalam peraturan pemerintah (PP) No. 24/2010 tentang penggunaan kawasan hutan dan diatur dalam pasal 5 ayat (1b) yang menyebut bahwa dalam kawasan hutan lindung hanya dapat dilakukan penambangan dengan pola pertambangan bawah tanah dengan ketentuan dilarang mengakibatkan: 1) turunnya permukaan tanah; 2) berubahnya fungsi pokok kawasan hutan secara permanen; dan 3) terjadinya kerusakan akuiver air tanah.

Ketentuan lebih lanjut mengenai penambangan bawah tanah pada hutan lindung diatur dengan Peraturan Presiden (Perpres) No. 28/2011 tentang penggunaan kawasan hutan lindung untuk penambangan bawah tanah.

Dalam Perpres ini dijelaskan bahwa penambangan bawah tanah di hutan lindung adalah penambangan yang kegiatannya dilakukan di bawah tanah (tidak langsung berhubungan dengan udara luar) dengan cara terlebih dahulu membuat jalan masuk berupa sumuran (shaft) atau terowongan (tunnel) atau terowongan buntu (adit) termasuk sarana dan prasarana yang menunjang kegiatan produksi di hutan lindung.

Yang menarik dalam Perpres yang ditandatangani Presiden SBY adalah pasal 6 ayat (5) yang menyebutkan bahwa dalam hal pemohon yang mendapat persetujuan prinsip pinjam pakai kawasan hutan lindung dengan kompensasi lahan bagi pinjam pakai kawasan hutan pada provinsi yang luas kawasan hutannya di bawah 30 persen (tiga puluh per seratus) dari luas daerah aliran sungai dan/atau pulau, menyediakan dan menyerahkan kompensasi lahan dengan ratio paling sedikit 1:2.

Ketentuan ini juga diulang dan dipertegas kembali dalam Peraturan Menteri (Permen) Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) No. P. 27/2018 tentang pedoman pinjam pakai kawasan hutan dalam pasal 5 ayat (2).

Sayangnya, dalam PP No. 23/2021 tentang penyelenggaraan kehutanan yang merupakan turunan UU no. 11/2020 tentang Cipta kerja bidang kehutanan; ketentutan lahan pengganti sebagai kompensasi dari provinsi yang luas kawasan hutannya di bawah 30 persen (tiga puluh per seratus) dari luas daerah aliran sungai dan/atau pulau dengan ratio paling sedikit 1: 2, nampaknya dihapus dan ditiadakan.

Ketentuan itu diganti dengan hanya membayar PNBP kompensasi, bagi pemegang persetujuan penggunaan kawasan hutan pada provinsi yang kurang kecukupan luas kawasan hutannya.

Penggantian lahan kompensasi dengan PNBP kompensasi pada kegiatan penambangan bawah tanah di hutan lindung oleh para pihak dan pengamat lingkungan dituding tidak adil dan tidak pro lingkungan.

Polemik yang terjadi adalah kenapa lahan kompensasi dihargai terlalu murah dengan PNBP pengganti yang hitung-hitungan ekonomis tidak seberapa jumlahnya.

Pertanyaan berbagai kalangan tersebut sampai saat ini belum dapat dijawab secara memuaskan oleh KLHK.

Mengutip data Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan (PKTL) KLHK periode tahun 1984-2020, luas IPPKH pertambangan yang diterbitkan oleh pemerintah sejak orde baru seluas 529.966 hektar.

Rinciannya era Soeharto 53.101 ha, era Habibie 21.196 ha, era Gus Dur 32.110 ha, era Megawati 1.474 ha, era SBY 305.070 ha, dan era Jokowi 11.106 ha.

Tidak diperinci dengan jelas berapa luas tambang yang berada di kawasan hutan lindung dan berapa luas tambang yang berada di kawasan hutan produksi.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com