Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 14/08/2023, 09:00 WIB
Aisyah Sekar Ayu Maharani,
Hilda B Alexander

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Kualitas udara di Kota Jakarta terpantau buruk dalam beberapa waktu belakangan ini.

Tidak hanya bisa dilihat dari tampilan langit yang kelabu, kualitas udara buruk juga tercatat di laman resmi IQAir pada Minggu (13/8/2023) pagi.

Indeks kualitas udara kota Jakarta pagi ini menembus angka 172, dengan polutan utama PM 2,5 serta nilai konsentrasi 96,8 mikrogram per meter kubik.

Hal tersebut yang membuat Kota Jakarta tercatat sebagai kota paling berpolusi di dunia pada Minggu pagi ini.

Meski isu ini sudah mencuat, namun langkah nyata dari Pemerintah untuk menangani masalah serius tersebut masih terlihat minim.

Bahkan masyarakat juga masih terlihat santai akan masalah polusi udara yang lambat laun membahayakan kesehatan tersebut.

Beberapa solusi yang terus ditawarkan untuk mengatasi masalah ini adalah dengan memindahkan ibu kota negara dari Kota Jakarta ke Ibu Kota Nusantara (IKN) atau beralih ke kendaraan listrik.

Sebagaimana disampaikan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) beberapa waktu lalu bahwa polusi di Jakarta bakal berkurang ketika sebagian beban Jakarta dipindahkan ke IKN yang terletak di Kalimantan.

"Salah satu solusinya adalah mengurangi beban Jakarta sehingga sebagian nanti digeser ke Ibu Kota Nusantara," kata Jokowi seusai meresmikan Indonesia Arena di Kawasan Gelora Bung Karno (GBK) Senayan, Jakarta, Senin (7/8/2023).

Baca juga: Proyek PLTU Suralaya Gunakan Teknologi Ramah Lingkungan, Hasilkan Sedikit Polusi

Selain itu, sejumlah insentif telah diberikan untuk masyarakat yang beralih ke kendaraan listrik, salah satunya tertuang dalam Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) Nomor 6 Tahun 2023 tentang Pedoman Pemberian Bantuan Pemerintah untuk Pembelian Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai Roda Dua.

Insentif senilai Rp 7 juta itu ditujukan untuk 200.000 unit pembelian motor listrik baru sepanjang 2023.

Terkait hal ini, Juru Kampanye Energi dan Iklim Greenpeace Indonesia Bondan Andriyanu berpendapat, apabila solusi mengatasi masalah polusi udara Jakarta hanya dengan beralih ke kendaraan listrik, maka sama saja dengan memindahkan asap knalpot ke cerobong Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).

"Karena listrik yang digunakan untuk mengisi kendraan listrik kita masih berasal dari PLTU batu bara," ujar Bondan saat dihubungi Kompas.com.

Selain itu, peralihan ke kendaraan listrik juga tidak menyelesaikan masalah kemacetan yang menjadi salah satu penyumbang polusi udara Jakarta.

"Yang ada akan tambah macet jalanan di Jakarta dengan bertambahnya kendaraan listrik pribadi," imbuh Bondan.

Jelas Bondan, sumber pencemaran udara di Jakarta berasal dari banyak hal, terutama dari transportasi dan industri.

Langkah termudah yang bisa diambil saat ini adalah dengan membuat early warning system untuk memberikan peringatan kepada masyarakat ketika polusi udara sedang tidak sehat, sehingga warga bisa melindungi diri dari paparan polusi udara.

Setelah itu, Pemerintah harus mengambil langkah nyata yang bisa diukur keberhasilannya dalam upaya mengendalikan pencemaran udara dari masing-masing sumber pencemar.

Kemudian, Bondan berharap Pemerintah tidak mengambil langkah banding atas gugatan warga terkait polusi udara yang telah dimenangkan penggugat pada 2021 lalu.

Sebagai informasi, Koalisi IBUKOTA telah meraih kemenangan gugatan warga negara atau citizen law suit (CLS) mengenai Hak Udara Bersih atas Pemerintah yang terdiri dari Presiden, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Kesehatan, Menteri Dalam Negeri, Gubernur DKI Jakarta, Gubernur Jawa Barat, dan Gubernur Banten di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 16 September 2021.

Namun demikian, baru pada Jumat (11/8/2023) kemarin, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta menyampaikan rencana Peraturan Gubernur (Pergub) mengenai Strategi Pengendalian Pencemaran Udara yang akan ditandatangani Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono dalam waktu dekat.

"Harapannya, Pergub ini tidak hanya bagus dalam tulisan, tetapi juga implementasinya. Kita harus melihat bagaimana nanti implementasinya dan bagaimana publik bisa memantau keberhasilan implementasinya, tentunya dengan data-data," ucap Bondan.

Senada dengan Bondan, Program Manager Transformasi Energi Institute for Essential Services Reform (IESR) Deon Arinaldo mengatakan, Indonesia tidak bisa hanya mengandalkan kendaraan listrik untuk mengurangi emisi.

Pasalnya, transisi energi dari konvensional ke terbarukan harus menyasar perubahan sistem energi secara keseluruhan agar efektif mengurangi pemanasan global.

"Jadi kalau kita ngomong kendaraan listrik berarti kita mengubah kendaraan yang sekarang berbasis bahan bakar minyak ke listrik. Nah sekarang listriknya dari apa?" kata Deon menjawab Kompas.com dalam Media Luncheon IESR di Jakarta, Kamis (4/5/2023).

Lanjutnya, hampir 90 persen listrik Indonesia saat ini masih menggunakan energi fosil. Sehingga apabila transisi ke kendaraan listrik tidak diikuti dengan perubahan seluruh sistem, maka langkah ini hanya akan menjadi pemindahan emisi.

Oleh karenanya, transisi kendaraan konvensional ke kendaraan listrik akan efektif mengurangi pemanasan global apabila diiringi dengan transisi sektor energi lainnya yang harus dimulai dari dekade ini.

"Jadi ketika bauran energi terbarukannya lebih besar maka listrik yang digunakan akan jauh lebih rendah emisi. Secara sistem kita bisa melihat penurunan emisi," tambah Deon.

Sementara jika membahas transportasi, ada transportasi jarak jauh seperti kapal yang membutuhkan solusi transisi energi lain karena tidak mampu ditopang oleh listrik.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau