KOMPAS.com - Kebijakan domestic market obligation (DMO) untuk batu bara perlu dievaluasi oleh pemerintah.
Sebab, kebijakan tersebut membuat harga batu bara lebih rendah sehingga berpengaruh terhadap pengembangan energi terbarukan.
Hal tersebut disampaikan Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa dalam acara "Bloomberg CEO Forum at ASEAN" pada Rabu (6/9/2023).
Baca juga: Menuju Transisi Energi Berkeadilan, Perlu Mitigasi di Daerah Penghasil Batu Bara
Fabby menyebutkan, evaluasi kebijakan DMO juga perlu dibicarakan hingga ke tataran legislatif agar ruang bagi pengembangan energi terbarukan menjadi lebih besar.
Selain itu, dia juga menyebutkan tarif listrik dari pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara yang relatif lebih rendah dibandingkan energi terbarukan.
Hal ini membuat perusahaan pelat merah penyedia listrik, PLN, memiliki pilihan yang terbatas untuk mendorong pemanfaatan energi terbarukan.
Menurutnya, tarif listrik yang setara antara energi fosil dan energi terbarukan akan membuat perusahaan penyedia listrik mempunyai cukup modal untuk berinvestasi di energi terbarukan.
Baca juga: Dukung Net Zero Emission 2050, AIA Group Divestasi Batu Bara
Dari sisi pembiayaan, Fabby menuturkan Indonesia membutuhkan investasi yang untuk mempercepat pembangunan energi terbarukan.
"Untuk mencapai target JETP (Just Energy Transition Partnership) yakni 34 persen bauran energi terbarukan pada 2030, setidaknya Indonesia perlu membangun sekitar 40 GW (gigawatt) kapasitas energi terbarukan," terang Fabby dilansir dari situs web IESR.
Menurut Fabby, Indonesia sangat membutuhkan instrumen pembiayaan yang tepat. Dia berpendapat, Indonesia membutuhkan pembiayaan lunak dengan bunga yang rendah.
Selain itu, Fabby turut menyoroti penyusunan perencanaan dan kebijakan investasi komprehensif atau comprehensive investment and policy plan (CIPP) dalam JETP.
Baca juga: Penelitian: Co-firing Bukan Solusi Efektif Pangkas Emisi dan Polusi PLTU Batu Bara
Dia berucap, ketersediaan data yang terbatas menjadi salah satu kendala dalam penyusunan dokumen CIPP, terutama mengenai PLTU captive atau pembangkit yang dioperasikan perusahaan tertentu guna menyuplai pasokan listriknya sendiri.
"Dalam dua tahun terakhir, Indonesia mendorong kebijakan hilirisasi batu bara yang akhirnya meningkatkan jumlah industri yang membangun fasilitas pengolahan mineral atau smelter, sehingga memperbanyak pembangkit PLTU batu bara captive untuk melistriki smelter tersebut," ungkap Fabby.
"Sementara saat JETP disepakati pada 2022, data yang digunakan masih menggunakan data tanpa penambahan PLTU captive tersebut," sambungnya.
Baca juga: Nasib Daerah Penghasil Batu Bara di Era Transisi Energi
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya