KOMPAS.com - Stunting tidak terjadi secara tiba-tiba, melainkan sebuah proses yang terjadi bahkan sejak ibu masih muda.
Hal tersebut disampaikan Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat (Dirjen Kesmas) Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Maria Endang Sumiwi dalam acara Publikasi Data Intervensi Spesifik & Sensitif Bidang Kesehatan untuk Percepatan Penurunan Stunting Triwulan II Tahun 2023
"Usahakan jangan sampai anak itu stunting. Itulah kenapa penting kita tidak hanya mencari anak stunting, tapi kita juga cari anak yang berpotensi stunting, jangan sampai dia stunting," kata Maria sebagaimana dilansir dari Antara, Rabu (6/9/2023).
Baca juga: Bonus Demografi Jadi Sia-sia Jika Stunting Tak Ditangani Maksimal
Maria berujar, menurut Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2022 ada sekitar 560.000 kasus stunting baru pada anak usia nol hingga satu tahun.
Selain itu, ada sekitar 450.000 kasus stunting baru pada anak usia satu hingga dua tahun. Apabila digabung, ada sekitar satu juta kasus stunting baru.
"Nah kasus stunting baru ini kita gak mau ada, kita menurunkan (kasusnya) dengan cara jangan sampai ada kasus stunting baru," ucap Maria.
Maria menyampaikan, stunting dapat menghambat perkembangan otak pada anak, bahkan dimulai sejak dalam kandungan.
Baca juga: Indonesia Berbagi Pengalaman Penurunan Stunting dengan Laos
Kemudian mencapai 25 persen saat baru dilahirkan, lalu mencapai 70 persen pada usia satu sampai tiga tahun, serta mencapai 92 persen pada usia tiga hingga lima tahun.
"Tinggi badan kan casing-nya, adanya di luar. Tapi yang kita jaga adalah proses selama menuju stunting, sehingga otaknya berada dalam pembentukan yang maksimal," paparnya.
Maria menyebutkan, upaya pengentasan stunting tidak akan efektif jika hanya menyasar pada anak stunting.
Bayi di bawah lima tahun (balita) yang berada dalam kategori waisting atau berat badan kurang juga perlu diperhatikan.
Baca juga: Percepat Penurunan Stunting, BKKBN dan HIPMI Kerja Sama
Hal tersebut dikarenakan pertumbuhan otaknya tidak dapat tumbuh dengan maksimal jika penanganan hanya dilakukan ketika balita telah dinyatakan stunting.
"Mungkin pertumbuhan tinggi dan berat badan bisa mengejar, tapi tidak dengan otaknya. Kita tidak bisa kembalikan perkembangan otak sampai beberapa tahun sebelumnya," ucapnya.
Maria berucap, Kementerian Kesehatan memiliki program khusus intervensi spesifik percepatan penurunan stunting.
Program ini terbagi ke dalam tiga kategori yakni intervensi untuk remaja putri dan ibu hamil (sebelum melahirkan), intervensi untuk balita (setelah kelahiran), serta intervensi lintas siklus hidup.
Baca juga: Pola Pengasuhan hingga Makanan Instan Picu Tingginya Stunting di Sambas
Program-program tersebut menyasar hingga ke hulu permasalahan stunting, yang dimulai dengan pencegahan terhadap anemia pada remaja putri.
Sehingga ketika menikah dan hamil, remaja putri yang menjadi calon ibu tersebut memiliki gizi cukup dan tidak tergolong ke dalam ibu hamil kurang energi kronik (KEK) dan bisa melahirkan anak yang tidak stunting sejak dalam kandungan.
"Kita mengejar apa? Kualitas SDM (sumber daya manusia) dan itu dibentuk tiap fase. Kita tidak bisa menunggu angka stunting turun, karena proses yang sudah dilalui tidak bisa dikembalikan," ucap Maria.
Baca juga: 1.000 Hari Pertama Kehidupan Bayi Penting Cegah Stunting, Ini Alasannya
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya