Selain itu, terdapat temuan bukti data bahwa balita weight faltering yang tidak segera diintervensi menyebabkan penurunan status gizi akut (BB kurang/sangat kurang) dan kronis (stunting).
Untuk meningkatkan kualitas MPASI, langkah penting yang dapat dilakukan adalah meningkatkan konsumsi protein hewani. Mencukupi asupan protein hewani dipercaya efektif untuk mencegah kondisi stunting pada anak.
Sebagaimana diketahui, dibandingkan protein nabati, konsumsi protein hewani seperti telur, daging sapi, daging ayam, ikan, susu, dan sebagainya, mengandung lebih banyak lemak (sekitar 30-40 persen), vitamin B12, vitamin D, DHA, zat besi, dan zinc yang diperlukan anak untuk mendukung pertumbuhan anak.
Konsumsi protein hewani penting untuk pertumbuhan anak. Sebab, di dalam tubuh kita ada sensor pertumbuhan yang bernama mammalian target of rapamycin (mTOR).
Sensor ini akan menyala apabila kadar asam amino esensial di dalam darah cukup tinggi. Ketika sensornya sudah menyala, tubuh akan mampu melakukan proses sintesa protein dan sintesa lemak secara baik sehingga pertumbuhan anak berlangsung normal.
Baca juga: 6 Daerah Sabet Penghargan Penanganan Stunting dan Layak Anak
"Jenis asam amino esensial yang diperlukan untuk menyalakan sensor ini hanya bisa diperoleh dari konsumsi protein hewani,” cetus Nuril.
Sayangnya, hingga saat ini konsumsi protein hewani di Indonesia masih sangat rendah, yaitu hanya 9,58 gram untuk kelompok ikan/udang/cumi/kerang, 4,79 gram untuk kelompok daging, dan 3,37 gram untuk kelompok telur/susu.
Agar bisa memenuhi target pertumbuhan normal, porsi konsumsi protein hewani perlu diberikan secara tepat sesuai dengan usia dan kondisi anak.
Misalnya pada anak sehat berusia 6-11 bulan yang rata-rata memerlukan kenaikan berat badan antara 200-400 gram per bulan, kebutuhan protein hewani hariannya adalah sekitar 15 gram yang bisa diperoleh dari konsumsi 1 butir telur (6 gram) dan 1 ekor ikan lele (11 gram).
Begitu pula pada anak usia 1-2 tahun membutuhkan 20 gram protein dan usia 3-5 tahun 25 gram protein, sehingga juga dibutuhkan konsumsi protein hewani yang cukup.
Sementara itu terkait PKMK, Nuril menjelaskan, merupakan pangan olahan yang diproses atau diformulasi secara khusus untuk manajemen medis yang dapat sekaligus sebagai manajemen diet bagi anak dengan penyakit tertentu.
Pada tatalaksana stunting, PKMK diberikan atas rekomendasi dokter spesialis anak. Jika hanya diberikan makanan padat saja, akan cukup sulit menemukan jenis makanan dengan nilai PER tinggi.
Baca juga: Pemangku Kepentingan Harus Melek Data untuk Turunkan Stunting
Proses toleransi penghabisan makanan padat juga memerlukan usaha yang lebih besar dibandingkan makanan cair. Selain itu, ada pula penelitian yang menyatakan bahwa proses penyerapan makanan cair lebih tinggi dibandingkan makanan padat.
“Penelitian juga menemukan bahwa MPASI protein hewani saja tidak bisa memenuhi kejar tumbuh batita stunting. Protein hewani dan susu formula berkorelasi positif dengan kadar serum IGF-1. Volume susu 200-600 ml/hari dapat meningkatkan 30 persen sirkulasi IGF-1 sehingga dapat memenuhi kejar tumbuh batita stunting,” ungkapnya.
Pada akhirnya, upaya pencegahan tetap jauh lebih penting dibandingkan penanganan stunting. Untuk memastikan anak tumbuh dengan baik, harus diupayakan pemenuhan kebutuhan gizi sejak masa kehamilan.
Setelah anak lahir, berikan ASI eksklusif selama enam bulan sambil tetap memonitor kenaikan berat badan, tinggi badan, dan lingkar kepalanya.
"Lanjutkan dengan pemberian MPASI yang adekuat dan monitor terus laju pertumbuhannya secara berkala,” tuntas Nuril.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya