Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kejar Prevalensi Stunting 14 Persen, Protein Energy Ratio Penting Diperhatikan

Kompas.com - 18/09/2023, 09:55 WIB
Hilda B Alexander

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Gangguan tumbuh kembang anak berupa stunting masih menjadi masalah kesehatan Nasional yang perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah.

Hal ini menyusul hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2022, prevalensi stunting di Indonesia masih berada pada angka 21,6 persen.

Meski telah mengalami penurunan dari 24,4 persen tahun 2021, namun angka prevalensi stunting ini masih belum memenuhi standar WHO yang semestinya tidak lebih dari 20 persen.

Pemerintah sendiri menargetkan penurunan stunting hingga ke angka 14 persen pada 2024. Untuk mengejar target ini, penting diperhatikan Protein Energy Ratio (PER) tata laksana stunting.

Panduan ini dapat digunakan untuk optimalisasi kekurangan energi dan protein pada kondisi under-nutrisi sehingga terpenuhi sebagai terapi nutrisi untuk tumbuh kejar (catch up growth) dan bisa ditoleransi dengan baik.

Menurut dokter spesialis anak yang juga konsultan nutrisi anak dan penyakit metabolik Departemen Ilmu Kesehatan Anak RS Dr. Soetomo, Dr Nur Aisiyah Widjaja, Sp.A (K), dengan berpedoman pada PER, dapat diketahui bagaimana menaikkan berat badan dengan cepat yaitu antara 10-20g/kgBB/hari diperlukan asupan makanan dengan rasio protein energi sebesar 8,9-11,5 persen.

Baca juga: Peningkatan Layanan Kontrasepsi Penting Cegah Stunting

"Sedangkan untuk penambahan berat badan yang lebih besar, bisa diberikan makanan dengan PER 10-15 persen,” jelas Nur Aisiyah yang akrab disapa Nuril saat Webinar Nasional Asupan Hewani Untuk Tatalaksana Stunting pada Rabu (30/8/2023).

Untuk menaikkan berat badan 10-20g/kgBB/hari diperlukan PER 8,9-11,5 persen yang dapat dipenuhi dari Pangan Olahan untuk Keperluan Medis Khusus (PKMK) jika direkomendasikan oleh dokter.

Sedangkan untuk melengkapi kebutuhan PER harian 10-15 persen, tetap harus dikombinasikan dengan protein hewani dalam makanan padat seperti telur, daging, ayam, dan ikan.

Sementara pada anak yang mengalami kekurangan nutrisi kronis seperti stunting, Nuril mengatakan harus dilakukan deteksi penyakit penyerta (red flag) dan pemberian makanan padat dengan protein hewani yang perlu disertai dengan PKMK, yaitu susu dengan kandungan kalori tinggi.

“Pemberian PKMK sifatnya individual, yang membutuhkan penilaian dan pemantauan Dokter karena harus disesuaikan dengan kondisi status gizi anak,” ujar Nuril.

Dia juga menekankan pentingnya memperhatikan asupan gizi anak pada masa pemberian Makanan Pendamping ASI (MPASI). Hal ini karena, penyebab stunting yang sering ditemukan adalah pemberian MPASI yang tidak adekuat.

Tak mengherankan, jika 60,6 persen stunting terjadi saat lahir sampai usia dua tahun, dan 28 persen di antaranya terjadi antara usia dua hingga lima tahun.

Baca juga: Penanganan Stunting Perlu Dilakukan dari Hulu

Menurut Nuril, setelah anak berusia enam bulan, konsumsi ASI saja (eksklusif) tak lagi mampu mencukupi kebutuhan gizinya. Selain itu, kandungan zat gizi makro terutama protein, lemak, dan karbohidrat pada ASI akan mengalami penurunan.

"Ketika anak berusia 6-8 bulan kandungan gizi ASI berkurang 30 persen, lalu pada usia 9-11 bulan berkurang lagi hingga 50 persen, dan selanjutnya terus berkurang hingga 70 persen. Kandungan zat gizi mikro seperti zat besi dan zinc di dalam ASI juga mengalami penurunan hingga 95-97 persen setelah anak berusia 6 bulan,” papar Nuril.

Selain itu, terdapat temuan bukti data bahwa balita weight faltering yang tidak segera diintervensi menyebabkan penurunan status gizi akut (BB kurang/sangat kurang) dan kronis (stunting).

Untuk meningkatkan kualitas MPASI, langkah penting yang dapat dilakukan adalah meningkatkan konsumsi protein hewani. Mencukupi asupan protein hewani dipercaya efektif untuk mencegah kondisi stunting pada anak.

Sebagaimana diketahui, dibandingkan protein nabati, konsumsi protein hewani seperti telur, daging sapi, daging ayam, ikan, susu, dan sebagainya, mengandung lebih banyak lemak (sekitar 30-40 persen), vitamin B12, vitamin D, DHA, zat besi, dan zinc yang diperlukan anak untuk mendukung pertumbuhan anak.

Konsumsi protein hewani penting untuk pertumbuhan anak. Sebab, di dalam tubuh kita ada sensor pertumbuhan yang bernama mammalian target of rapamycin (mTOR).

Sensor ini akan menyala apabila kadar asam amino esensial di dalam darah cukup tinggi. Ketika sensornya sudah menyala, tubuh akan mampu melakukan proses sintesa protein dan sintesa lemak secara baik sehingga pertumbuhan anak berlangsung normal.

Baca juga: 6 Daerah Sabet Penghargan Penanganan Stunting dan Layak Anak

"Jenis asam amino esensial yang diperlukan untuk menyalakan sensor ini hanya bisa diperoleh dari konsumsi protein hewani,” cetus Nuril.

Sayangnya, hingga saat ini konsumsi protein hewani di Indonesia masih sangat rendah, yaitu hanya 9,58 gram untuk kelompok ikan/udang/cumi/kerang, 4,79 gram untuk kelompok daging, dan 3,37 gram untuk kelompok telur/susu.

Agar bisa memenuhi target pertumbuhan normal, porsi konsumsi protein hewani perlu diberikan secara tepat sesuai dengan usia dan kondisi anak.

Misalnya pada anak sehat berusia 6-11 bulan yang rata-rata memerlukan kenaikan berat badan antara 200-400 gram per bulan, kebutuhan protein hewani hariannya adalah sekitar 15 gram yang bisa diperoleh dari konsumsi 1 butir telur (6 gram) dan 1 ekor ikan lele (11 gram).

Begitu pula pada anak usia 1-2 tahun membutuhkan 20 gram protein dan usia 3-5 tahun 25 gram protein, sehingga juga dibutuhkan konsumsi protein hewani yang cukup.

Pangan olahan

Sementara itu terkait PKMK, Nuril menjelaskan, merupakan pangan olahan yang diproses atau diformulasi secara khusus untuk manajemen medis yang dapat sekaligus sebagai manajemen diet bagi anak dengan penyakit tertentu.

Pada tatalaksana stunting, PKMK diberikan atas rekomendasi dokter spesialis anak. Jika hanya diberikan makanan padat saja, akan cukup sulit menemukan jenis makanan dengan nilai PER tinggi.

Baca juga: Pemangku Kepentingan Harus Melek Data untuk Turunkan Stunting

Proses toleransi penghabisan makanan padat juga memerlukan usaha yang lebih besar dibandingkan makanan cair. Selain itu, ada pula penelitian yang menyatakan bahwa proses penyerapan makanan cair lebih tinggi dibandingkan makanan padat.

“Penelitian juga menemukan bahwa MPASI protein hewani saja tidak bisa memenuhi kejar tumbuh batita stunting. Protein hewani dan susu formula berkorelasi positif dengan kadar serum IGF-1. Volume susu 200-600 ml/hari dapat meningkatkan 30 persen sirkulasi IGF-1 sehingga dapat memenuhi kejar tumbuh batita stunting,” ungkapnya.

Pada akhirnya, upaya pencegahan tetap jauh lebih penting dibandingkan penanganan stunting. Untuk memastikan anak tumbuh dengan baik, harus diupayakan pemenuhan kebutuhan gizi sejak masa kehamilan.

Setelah anak lahir, berikan ASI eksklusif selama enam bulan sambil tetap memonitor kenaikan berat badan, tinggi badan, dan lingkar kepalanya.

"Lanjutkan dengan pemberian MPASI yang adekuat dan monitor terus laju pertumbuhannya secara berkala,” tuntas Nuril.

 

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau